Ticker

6/recent/ticker-posts

Kebenaran (Al-Haq) dalam Perspektif Al-Qur'an

Sumber: Artikula.id

DISKURSUS dan konsep tentang kebenaran dalam Al-Qur’an ditunjukkan dengan beberapa istilah sesuai dengan konteksnya masing-masing. Misalnya kata haq (kebenaran) yang sering digunakan dalam konteks ontologi, sawab (ketepatan) dalam ijtihad dan proses epistimologi, sahih (validitas) dalam proses epistimologi dan status hukum, dan sidq (benar) dalam konteks pernyataan lisan. 

Namun dari sekian term tersebut, kata haq lebih menyeluruh karena tidak hanya merujuk pada pernyataan, tetapi juga tindakan, perasaan, kepercayaan, penilaian, serta peristiwa atau kejadian.

Dalam kamus Al-Munawwir, kata al-haq memiliki beberapa arti, yaitu nyata, pasti, tetap, menetapkan dan memastikan, yang ada secara pasti, yang cocok dan sesuai dengan yang sebenarnya, yang ada dengan tanpa keraguan, yang bermanfaat, tidak sia-sia dan binasa. 

Sedangkan term haq merujuk pada Al-Qur’an, maknanya lebih menyeluruh karena bukan hanya berkaitan dengan hal-hal fisik, melainkan juga metafisika. Maka dari itu term haq dalam kajian Islam juga merujuk kepada al-haq sebagai sumber kebenaran, yaitu Allah yang sifatnya metafisika. 

Baca Juga: Tahapan Menafsirkan Al-Qur'an Menurut Ibnu Katsir

Jika ditinjau secara etimologi, term al-haq yang terdapat dalam Al-Qur’an bermakna sesuatu yang wajib dinyatakan dan wajib ditetapkan, sedangkan akal tidak tidak akan mampu mengingkarinya. Dalam Enskilopedia Al-Qur’an, makna dari kata al-haq berkisar pada kemantapan sesuatu dan kebenarannya. Sesuatu yang terjangkau oleh akal dan dibenarkan olehnya juga disebut haq, meskipun sifatnya relatif, pasalnya bersumber dari pemilik akal (manusia) yang juga relatif.  

Makna di atas terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 26: 

إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَسْتَحْىِۦٓ أَن يَضْرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوضَةً فَمَا فَوْقَهَا ۚ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ فَيَعْلَمُونَ أَنَّهُ ٱلْحَقُّ مِن رَّبِّهِمْ ۖ وَأَمَّا ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ فَيَقُولُونَ مَاذَآ أَرَادَ ٱللَّهُ بِهَٰذَا مَثَلًا ۘ يُضِلُّ بِهِۦ كَثِيرًا وَيَهْدِى بِهِۦ كَثِيرًا ۚ وَمَا يُضِلُّ بِهِۦٓ إِلَّا ٱلْفَٰسِقِينَ

Artinya: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpaman berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan: “Apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?” Dengan perumpamaan itu banyak yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik.”

Ayat di atas mengandung makna bahwa orang beriman memiliki keyakinan bahwa tidak sekali-kali Allah mendatangkan perumpamaan demikian selain ada hikmah dan maslahat yang ada di dalamnya. Yakni untuk menetapkan bahwa semua yang benar dan mengalamkan kebenaran itu. 

Baca Juga: Bijak dalam Memaknai Ayat Poligami

Allah menyatakan bahwa hal-hal yang masih samar dapat menjadi lebih jelas dengan cara mengungkapkan hal-hal maknawi dengan hal-hal yang dapat diindera. Ataupun merinci suatu masalah yang masih global supaya dapat dijelaskan secara spesifik.

Dalam ayat tersebut juga digambarkan kondisi orang kafir yang sudah terbiasa menentang kebenaran yang telah dijelaskan sesuai dengan hujjah dan bukti kebenaran. Mereka mempertanyakan apa yang dikehendaki Allah dengan menampilkan perumpamaan yang rendah, yaitu melalui hal-hal yang remeh seperti lalat dan nyamuk. 

Ketika mereka menyadari hikmah di dalam perumpamaan tersebut, sudah jelas tidak akan berpaling atau menantang. Pada prinsipnya ialah bahwa perkataan paling baik yaitu yang dapat mengungkapkan kenyataan sesuatu. Maka seorang pendengar akan mengetahui secara baik, di sisi mengambil petunjuk ke arah kebenaran.

Baca Juga: Sejarah Singkat Penulisan dan Kodifikasi Al- Qur'an

Makna serupa tentang haq juga termaktub dalam Surat An-Nisa ayat 171: 

يٰٓاَهْلَ الْكِتٰبِ لَا تَغْلُوْا فِيْ دِيْنِكُمْ وَلَا تَقُوْلُوْا عَلَى اللّٰهِ اِلَّا الْحَقَّۗ اِنَّمَا الْمَسِيْحُ عِيْسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُوْلُ اللّٰهِ وَكَلِمَتُهٗ ۚ اَلْقٰهَآ اِلٰى مَرْيَمَ وَرُوْحٌ مِّنْهُ ۖفَاٰمِنُوْا بِاللّٰهِ وَرُسُلِهٖۗ وَلَا تَقُوْلُوْا ثَلٰثَةٌ ۗاِنْتَهُوْا خَيْرًا لَّكُمْ ۗ اِنَّمَا اللّٰهُ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ ۗ سُبْحٰنَهٗٓ اَنْ يَّكُوْنَ لَهٗ وَلَدٌ ۘ لَهٗ مَا فِى السَّمٰوٰتِ وَمَا فِى الْاَرْضِۗ وَكَفٰى بِاللّٰهِ وَكِيْلً

Artinya: “Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sungguh, Al-Masih Isa putra Maryam itu adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) roh dari-Nya. Maka berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan,“(Tuhan itu) tiga,” berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan Yang Maha Esa, Mahasuci Dia dari (anggapan) mempunyai anak. Milik-Nyalah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan cukuplah Allah sebagai pelindung.”

Ibnu Katsir mengatakan, dalam ayat ini Allah telah melarang para ahli kitab untuk tidak bersikap melampaui batas dan menyanjung secara berlebihan. Sebagaimana orang-orang Nasrani yang melampaui batas perihal Nabi Isa, sehingga mengingkari Allah dengan memposisikan Isa di atas kedudukan yang diberikan Allah kepadanya. Bahkan sampai memindahkkannya dari tingkat kenabian dan menjadikannya sebagai Tuhan selain Allah yang mereka sembah sebagaimana mereka menyembah Dia. 

Hal tersebut juga dilakukan oleh para pengikut dan golongan setelahnya, yakni dari orang-orang yang mengakui bahwa dirinya berada dalam agama Isa. Sesungguhnya mereka bersikap berlebihan juga, lalu mengakui dirinya terpelihara dari kesalahan. 

Baca Juga: Metode Mudah untuk Menghafalkan Al- Qur’an

Lantas para pengikutnya pun mengikuti semua yang dikatakannya, baik haq maupun bathil, baik sesat ataupun benar, baik jujur ataupun dusta. Dalam hal ini mereka telah membuat kedustaan dan mengingkari kebenaran dari Allah lantaran menjadikan Isa sebagai anak-Nya dan Maryam sebagai istri-Nya. 

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa dalam menentukan kebenaran, harus terjadi korelasi antara konsep dan realita. Sehingga dari persesuaian tersebut, kebenaran tidak bisa diingkari oleh akal. Maka sikap yang ditunjukkan yaitu seharusnya menerima kebenaran tanpa menyanggahnya. 

Namun yang ditunjukkan orang-orang Nasrani justru malah sebaliknya. Bahkan mereka mengingkari kebenaran dengan melebih-lebihkan Isa dan Maryam, yang mana hal tersebut tidak sesuai dengan bukti sebenarnya dan tidak rasional. 

Dalam hubungannya dengan rasionalitas, kebenaran selalu dikaitkan dengan akal budi atau pikiran. Kebenaran dapat diartikan adanya keterkaitan dengan pikiran yang mengetahuinya, yang menyatakan dan berbicara sendiri pada pikiran. Dengan begitu, konsep kebenaran seperti ini termasuk adequatio rei et intellectus, yakni kesesuaian antara realitas dengan intelek. 

Baca Juga: Etika dalam Menghafalkan Al- Qur’an

Ciri khusus konsep kebenaran dalam Islam yaitu korelasinya dengan realitas. Oleh karena itu, penggunaan term haq dalam menunjukkan kebenaran bukan hanya berarti kebenaran, melainkan juga realitas. Dalam memahami kebenaran, kata haq dapat diartikan sebagai realitas (al-haqiqah) sekaligus kebenaran (al-haq). Kata haq di sini bermaksud kesesuaian yang mengandung keadilan, kebijaksanaan, ketetapan, bahkan kepantasan dalam moral. 

Dengan menggunakan kekuatan akal budi, manusia akan memperoleh kebenaran. Allah telah menganugerahkan kepada manusia berupa alam, akal budi, dan wahyu. Dengan akal budinya manusia seharusnya dapat memahami wahyu dan alam untuk kebahagiaan hakiki. Akal merupakan pemberian spesial Allah kepada manusia yang harus digunakan dalam menjalani proses kehidupan supaya mendapatkan petunjuk kebenaran. 

Meskipun kebenaran dari akal relatif, bukan berarti harus ditinggalkan. Melainkan harus dimanfaatkan dengan berpegang pada sifat kerelatifannya. Maka seseorang harus siap meninggalkan kebenaran tersebut ketika ditemukan hasil yang lebih benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara bukti dan akal.

Penulis: Mahfud Al-Buchori

Reactions

Post a Comment

0 Comments