PADA saat pertama kali wahyu diturunkan jumlahnya masih sedikit, dan kemungkinan belum ada kebutuhan untuk menuliskannya, apalagi mengkoodifikasikannya. Namun situasi itu berubah ketika wahyu tuhan yang diturunkan semakin sering, dan dengan rentetan kalimat yang panjang-panjang, terlebih setelah Nabi Muhammad wafat (11 H/632 M).
Di satu sisi, para sahabat komunitas nabi saat dihadapkan pada persoalan kepemimpinan agama dan politik disisi lain, salah satu isu sentral yang mengemuka adalah bagaimana melestarikan Al Quran, mulai dari penyampaian, penghafalan, penulisan, standarisasi dan pencetakan.
Pada saat nabi masih hidup hingga wafat, sejumlah sahabat telah memiliki catatan-catatan wahyu Al Quran dalam bentuk suhuf. Di antara mereka adalah Ibn Mas’ud, Ubay Ibn ka’ab, Ali Bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Abu Musa Al Asy’ari, Hafsah, Zayd Ibn Tsabit, Aisyah dll. Mereka menulis diatas media yang beragam, seperti kulit binatang dan daun lontar.
Baca Juga: Komunitas Oral dan Tradisi Menghafal Al- Qur’an
Setelah wafatnya nabi pada 11 H/632 M terlihat jelas sejarah pemeliharaan Al Quran. Sekalipun sejumlah sarjana muslim meragukan adanya kumpulan Al Quran dalam bentuk mushaf pada saat itu, paling tidak mereka memandang bahwa seluruh bagian Al Quran telah dipelihara dalam bentuk fragmen-fragmen tertulis diatas bahan-bahan yang ada, sebagaimana telah diuraikan diatas dan terutama sekali dalam bentuk hafalan. Menurut sudut pandang ini, Rasulullah juga telah membuat semacam aransemen ayat-ayat dalam tiap-tiap surat yang diketahui dan diikuti secara luas oleh pengikutnya. Pada masa ini pengumpulan tersebut masih bersifat pribadi atau personal bukan resmi.
Pengumpulan Al Quran secara resmi (atas perintah khalifah) baru dilakukan pada masa Abu Bakar. Masa pengumpulan Al Quran yang dilakukan oleh Zayd sangat singkat. Sebagaimana diketahui, Abu Bakar hanya memerintah kekhalifahan Islam ketika itu selama kurang lebih dua tahun mulaai dari rabiul Awal 11 H sampai Jumada Ats Tsani 13 H. Semenjak Zayd memulai tugasnya, menurut riwayat diatas setelah peperangan yamamah (bulan ketiga tahun 12 H). Hal ini mengindikasikan bahwa waktu yang tersisa.
Baca Juga: Etika yang Perlu Diperhatikan Saat Menghafalkan Al- Qur’an
Bagi Zayd untuk melaksanakan pekerjaannya yang “seberat memindahkan gunung” demikian komentar Zayd. Dalam proses pengumpulan ini, Zayd Ibn Tsabit sangat hati-hati. Iya mencurahkan seluruh konsentrasinya terhadap Isnad dan kemutawatiran Al Quran. Tidak satupun bagian Al Quran yang merupakan khabar wahid_riwayat terisolasi yang hanya diukung mata rantai periwayatan tunggal.
Penulisan atau pengumpulan mushaf-mushaf Al Quran dilakukan lagi pada masa Usman bin Affan telah meluas sampai ke wilayah luar jazirah Arab, sehingga mekanisme kontrol juaga semakin luas, termasuk dalam hal kesejahteraan Al Quran. Motif utama konkordasi (pedoman penggunaan) Al-Qur’an pada masa ini adalah terjadinya perbedaan bacaan. Pada wilayah-wilayah di sekelilingi madinah juga terjadi perbedaan bacaan ang berakibat insecure, seperti syam yang mengikuti bacaan ‘Ubay ibn Ka’ab, kufah mengikuti bacaan ‘Abd R-Rahman ibn Ma’ud dan sebagian mengikuti bacaan Musa al-Asy’ari. Jika saja hal ini tidak berpotensi menimbulkan perselisihan dan kekacauan, barangkali tetap ditolelir oleh utsman.
0 Comments