Ticker

6/recent/ticker-posts

Kebudayaan Bangsa Arab Sebelum Datangnya Islam


PADA MULANYA
bangsa Arab menganut agama monoteisme yang dibawa Nabi Ibrahim as. Seiring berjalannya waktu, perubahan demi perubahan terjadi dalam kepercayaan yang kemudian menimbulkan penyimpangan-penyimpangan dalam ajaran ketuhanan mereka. Sehingga mereka membuat berhala-berhala untuk disembah. 

Berhala di sini adalah obyek berbentuk makhluk hidup atau benda yang didewakan, disembah, dipuja dan dibuat oleh tangan manusia. Seperti halnya mendewakan patung, pohon, dan bahkan jin. Sehingga banyak kepercayaan-kepercayaan penyembahan berhala yang banyak macamnya yang mereka lakukan.

Selain menyembah berhala, orang-orang Arab pada masa itu juga menyembah dewa-dewa. Dewa yang mereka anggap benar-benar ada keberadaannya. Seperti dewa-dewa masyarakat Mekkah dan Madinah yakni Latta dan Uzza misalnya, yang lebih populer. Kepercayaan menyembah dewa-dewa adalah salah satu dari sekian dari kepercayaan bangsa Arab pada saat itu. Ini mengartikan bahwa penyembahan terhadap dewa-dewa, cukup mengambil bagian di tanah Hijaz, sehingga mereka membuat tempat-tempat sakral untuk pemujaan dewa yang mereka sembah tersebut. 

Baca Juga: Kebiasaan Buruk Masyarakat Arab Jahiliyah

Penyembahan terhadap matahari dan bulan juga terjadi pada saat zaman jahilliah. Kepercayaan penyembahan terhadap benda-benda langit tersebut terjadi di jazirah Arab jauh sebelum Islam hadir. Seperti misalnya orang-orang Badui yang kepercayaannya berpusat kepada bulan. Tradisi penyembahan bulan mengisyaratkan sebuah masyarakat penggembala ternak, sementara tradisi penyembahan matahari menggambarkan tahap berikutnya, yaitu masyarakat pertanian. Ini berarti masyarakat penggembala ternak dan masyarakat pertanian menyembah benda-benda langit sebagai sesembahan mereka adalah sebuah kebiasaan yang sering mereka lakukan. Kepercayaan penyembahan tersebut menjadi suatu keragaman dalam bentuk keyakinan yang pernah ada di jazirah Arab.

Bangsa jahiliah juga bangsa yang gemar berperang, dan mereka telah terlatih dalam hal tersebut. Pengetahuan dalam berperang juga dibutuhkan untuk menjaga bila mana terjadi peperangan antar suku. Peperangan antar suku sering terjadi dijazirah Arab, sehingga orang-orang Arab akan berjaga-jaga dan menyiapkan pasukannya jika suku mereka diserang oleh suku lain. Seperti misalnya mereka mempelajari cara-cara dalam menggunakan pedang, cara memanah dan kelihaian menunggang kuda. Bahkan cara-cara untuk berperang dijadikan ajang perlombaan untuk menunjukkan kesombongan mereka. 

Baca Juga: Tradisi Masyarakat Arab Pra- Islam

Bangsa Arab sejak dahulu sudah mengenal pengetahuan tentang ilmu astronomi. Keadaan mereka yang hidup di gurun pasir dan kecintaan mereka terhadap bintang-bintang, membuat mereka hobi dalam mempelajari ilmu perbintangan. Contohnya untuk mengetahui terbit dan terbenamnya matahari, juga untuk mengetahui pergantian musim. Bangsa Kaidan (Babilon) adalah guru dunia bagi ilmu astronomi. 

Pada waktu tentara Persia menyerbu negeri Babilon, sebagian dari mereka termasuk ahli ilmu astronomi mengungsi ke negeri-negeri Arab, dari merekalah orang Arab mempelajari ilmu astronomi.  Pengaruh dari bangsa lain juga dapat diterima orang-orang Arab, khususnya dalam ilmu astronomi. Sehingga menjadikan kebiasaan dari bangsa Babilon tersebut mempengaruhi orang-orang Arab untuk mempelajarinya.

Masyarakat Arab sangat menghargai orang-orang yang pandai dalam mengarang syair-syair. Dalam mengarang dan mendengarkan syair-syair yang dilantunkan, telah menjadi kebiasaan dari masyarakat Arab. Misalnya menceritakan tentang masyarakat pedalaman, kisah-kisah orang dahulu ataupun syair-syair pujian. 

Baca Juga: Tahapan Dakwah Rasulullah Periode Madinah

Puncak kebudayaan Arab justru berangkat dari kemampuannya yang tidak bersifat kekerasan, yakni berbahasa lisan. Kepandaian dalam mengadu bicara dapat menggantikan peperangan secara fisik, yakni mereka saling berlomba-lomba mengarang dan membuat syair-syair. Supaya dapat dihargai dan dihormati orang-orang Arab, sehingga menjadikan mereka terbiasa bersaing dalam mengarang syair-syair yang bagus.

Nilai sastra dan keindahan dalam melantukan syair sangat dihargai orang Arab. Mereka mengukur kecerdasan seseorang dari seberapa indah dan menarik dalam melantunkan syair. Penyair selain menjadi juru bicara kaumnya, juga sangat memahami dongeng-dongeng rakyat, di samping itu juga sebagai pengkaji perkembangan sosial, penuntun dan sebagai operator. Oleh karena itu terdapat sebuah pepatah mengatakan, “Puisi merupakan catatan publik (diwan) orang-orang Arab”. 

Baca Juga: Sikap Penduduk Madinah Menyambut Kedatangan Nabi Muhammad

Penyair selain disebut sebagai sejarahwan juga disebut sebagai ilmuan dan penyampai berita. Syair-syair masyarakat Arab merupakan ingatan-ingatan akan suatu kisah, yang dilantunkan ke publik, sehingga menjadi sebuah catatan akan suatu peristiwa yang telah terjadi. 

Tradisi orang Arab jahiliah yang gemar dalam membuat patung, merupakan salah satu seni rupa yang dimiliki bangsa Arab pada saat itu. Dalam membuat patung berhala, orang Arab membuatnya bukan hanya sebagai untuk mereka sembah saja, melainkan juga memang suka dalam pembuatan patung. Orang-orang Arab pada saat itu memang dikenal pintar dalam membuat patung, bahkan setiap kabilah memiliki patung berhala mereka masing-masing untuk mereka sembah. Berhala tersebut biasanya terbuat dari batu dan kayu. 

Sebagian penduduk tanah Arab tidak menganggap berhala tuhan, tetapi sebagai perantaraan. Terdapat percampuradukan antara mereka menyembahnya atau hanya sebagai kegemaran mereka dalam membuat patung, sehingga dikatakan menjadi sebuah perantaraan. Sehingga banyaknya patung-patung yang mereka biarkan begitu saja, tanpa mereka fungsikan menjadi berhala sesembahan mereka. 

(A.M)

Reactions

Post a Comment

0 Comments