Ticker

6/recent/ticker-posts

Bijak dalam Memaknai Ayat Poligami


PERDEBATAN tentang hukum pologami tidak pernah berakhir. Permasalahan poligami menjadi tema yang sering diangkat dan dibahas dalam berbagai kajian, diskusi, maupun majelis lain. Sebagian orang ada yang setuju dengan alasan karena diperbolehkan Alquran. Sebagian lagi menolaknya karena memandang kesetaraan gender dan hanya merugikan kaum perempuan. 

Sebenarnya hukum poligami telah diatur dalam Alquran. Allah berfirman dalam surat An Nisa ayat 3 yang artinya 

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Ayat tersebut sering dijadikan dalih bagi kaum lelaki untuk menikahi lebih dari satu perempuan atau berpoligami. Tujuan utama mereka tidak untuk beribadah, tetapi untuk memuaskan hasrat seksual.  Dan bahkan banyak lelaki yang berpoligami menikahi janda kaya raya namun niatnya hanya untuk mencari dan menguras harta wanita itu. 

Menjadi ironis jika seseorang memahami ayat tersebut secara tekstual. Pemaknaan tersebut hanya akan menghasilkan kedangkalan nalar. Maka yang terjadi kita akan berpikiran bahwa poligami diperbolehkan dalam Islam. Tetapi bukan begitu hal yang sebenarnya. 

Dalam memahami ayat Alquran, kita tidak boleh memaknainya secara tekstual saja. Karena ayat Alquran masih bersifat global dan perlu ditafsirkan lebih dalam lagi. Maka dari itu kita harus bijak dalam memaknai ayat Alquran, mendekatinya dengan perspektif Ulumul Qur’an. 

Salah satu teori yang digunakan dalam penafsiran Alquran adalah teori Fazlur Rahman tentang hermeneutika double movement.  Rahman menyebutkan bahwa dalam memaknai ayat Alquran, harus secara kontekstual, menyesuaikan kondisi dan situasi. Dalam teori ini, Alquran kita harus mendekati Alquran melalui sosial-historis-antropologis. Dalam konteks ini, memaknai ayat tentang pologami harus menyertakan sejarah atau asbabun nuzul, kondisi serta situasi masyarakat zaman dahulu dan sekarang, juga sosial kebudayaan dalam suatu daerah. 

Jika kita lihat dalam asbabun nuzul-nya, ayat ini turun setelah Islam kalah pada Perang Uhud. Dan pada saat perang terjadi, banyak sahabat yang gugur dan meninggalkan anak serta istrinya. Kemudian rasul mengutus para sahabat untuk mengurus dan mengelola anak yatim, tetapi sebagian sahabat tidak menjalankan amanah dengan baik. Mereka malah memakan dan menukar harta anak yatim. Dan para sahabat ada juga yang tertarik menikahinya hanya karena kecantikan dan hartanya.

Seharusnya masyarakat harus memahami asbabun nuzul atau sebab diturunkannya ayat ini. Tidak bisa dimaknai secara tekstual. Karena situasi dan kondisi sangat berbeda pada zaman dahulu. 

Satu hal lagi yang menjadi ironi adalah sebagian masyarakat memaknai ayat ini tidak sampai selesai. Jadi hanya sebagian saja dalam mengambil hukumnya. Padahal pada ayat ini dijelaskan bahwa syarat berpoligami yaitu dapat berlaku adil. Jika takut tidak bisa adil, maka lebih baik satu istri saja cukup. 

Muhammad Abduh dalam tafsir Al- Manar mengungkapkan bahwa poligami itu hukumnya jelas haram pada saat khawatir tidak bisa berbuat adil. Sementara itu, Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsir Al- Munir membahas tentang poligami. Bahwa permasalahan hati (menikah) tidak bisa dibagi secara adil kepada perempuan. Jadi pada intinya beristri satu lebih baik karena dapat berbuat adil. 

Pada intinya, dalam memahami ayat tentang poligami tidak bisa langsung secara tekstual. Hal ini lantaran Alquran masih perlu ditafsirkan agar kita mendapatkan pemahaman yang bijak. Kita perlu tahu bahwa Alquran tidak turun di ruang hampa. Ia turun dalam sekat ruang dan waktu tertentu dengan seperangkat tatanan social-budaya-politik yang dikandungnya. 

Syeikh Muhammad Shalih Al- Utsmani menjelaskan bahwa Alquran itu diturunkan untuk tiga tujuan: beribadah dengan membacanya, memahami makna-maknanya dan mengamalkannya. Memahami Alquran itu ibarat menyelami lautan. Kita tidak mungkin menyelami lautan tanpa persiapan. Kita harus terlebih dahulu berenang, membawa pelampung, membawa oksigen dan perlengkapan lainnya. Hal ini supaya kita dapat menemukan sudut pandang yang bijak, seperti halnya dalam memaknai ayat poligami ini. 

Poligami memang diperbolehkan dalam agama Islam dengan dasar An Nisa ayat 3. Tetapi kita harus memahami ayat ini secara kontekstual. Karena kondisi saat ini berbeda dengan kondisi di mana ayat ini turun. Jadi dalam memaknai ayat tentang polgami ini, kita harus memperhatikan situasi dan kondisi sosial-budaya masyarakat terlebih dahulu. 

(A.M)


Reactions

Post a Comment

0 Comments