Ticker

6/recent/ticker-posts

Kebiasaan Buruk Masyarakat Arab Jahiliyah

Kebiasaan Buruk Masyarakat Arab Jahiliyah

MASYARAKAT ARAB, sebelum kelahiran dan kerasulan Nabi Muhammad SAW dikenal dengan sebutan jahiliyah. Jika merujuk pada arti kata jahiliyah (yang berasal dari bahasa Arab dari kata jahala yang berarti bodoh), maka secara harfiyah bisa disimpulkan bahwa masyarakat jahiliyah adalah masyarakat yang bodoh. Jahiliyyah biasanya dikaitkan dengan masa sebelum Rasulullah S.A.W lahir. Sesungguhnya kata Jahiliyyah sendiri adalah mashdar shina’iy yang berarti penyandaran sesuatu kepada kebodohan.

Kebodohan menurut Manna’ Khalil al-Qathtan ada tiga tiga makna. Pertama, tidak adanya ilmu pengetahuan (makna asal). Kedua, meyakini sesuatu secara salah. Ketiga, mengerjakan sesuatu dengan menyalahi aturan atau tidak mengerjakan yang seharusnya dia kerjakan.

Masyarakat jahiliyah tidak merujuk pada kurun waktu tertentu, melainkan suatu kondisi masyarakat. Dalam pengetahuan dan peradaban, masyarakat Arab tidak bisa disebut jahiliyyah (bodoh) dalam pengertian barbar dan primitif. Justru banyak perilaku dan pengetahuan positif yang dihasilkan mereka, yang kemudian dipelihara oleh Islam, misalnya dalam penghormatan tamu, kedermawanan, tepat janji, bersahaja. Yang dimaksud masyarakat jahiliyah sebelum datangnya Islam adalah keseluruhan masyarakat yang menjauhi nilai-nilai fitrah, yang sudah dibawa oleh para Rasul pembawa risalah tauhid. 
   
Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab dalam Masail Al-Jahiliyyah mengatakan, bahwa agama mereka (orang-orang jahiliyah) terbangun oleh beberapa pondasi yang menjadi akar dan pijakan. Yang terbesar diantaranya ialah taqlid, yaitu sebuah sistim yang besar yang selalu menjadi tumpuan semua orang-orang kafir, sedari dahulu kala hingga akhir zaman. Sebagaimana Allah SWT berfirman di berbagai ayat di dalam Al-Qur’an:

وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُون

Artinya: “Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesunguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka” (QS.Az-Zukhruf: 23).

Sebutan jahiliyah ini perlu mendapat penjelasan lebih lanjut, jika masyarakat jahiliyah kita artikan sebagai masyarakat bodoh dalam pengertian primitif yang tak mengenal pengetahuan atau budaya; tentu sulit dipertanggungjawabkan, karena berdasarkan data sejarah, masyarakat Arab waktu itu juga telah memiliki nilai-nilai peradaban sesederhana pun peradaban itu. . Seorang ahli sejarah Islam terkenal Ahmad Amin mendefinisikan kata-kata “Arab Jahiliyah” yaitu orang-orang Arab sebelum Islam yang membangkang kepada kebenaran, mereka terus melawan kebenaran, sekalipun mereka telah mengetahui bahwa itu benar.   

Pada zaman itu wanita dapat mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa saja menyulut api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita. Sedangkan kelas masyarakat yang lainnya beraneka ragam dan memiliki kebebasan hubungan antara laki-laki dengan wanita. Para wanita dan laki-laki bebas bergaul, malah untuk berhubungan lebih dalam pun tidak ada batasan. Dan yang lebih mengerikan laagi adalah, seorang wanita bisa bercampur dengan lima atau bahkan lebih laki-laki sekaligus. Perzinaan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Yang pada masa itu perzinaan dianggap suatu hal yang biasa, tidak dianggap aib yang mengotori keturunan. 

Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar wajar, antara lain: 
1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita itu, lalu dia dapat menikahi wanita itu seketika itu pula setelah menyerahkan mas kawin.
2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita wanita sesuka hatinya, yang disebut wanita pelacur.
3. Pernikahan istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain.
4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagai medan pertempuran. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.

Hal-hal yang menyimpang diluar kewajaran selain itu adalah Poligami tanpa ada batasannya. Menikahi janda bapak mereka sendiri. 

Ada pula yang sangat pantas jika mereka disebut masyarakat jahiliyyah, yakni mengubur hidup-hidup anak perempuan mereka karena malu. Atau ada juga yang membunuh anak laki-laki mereka, apabila anak laki-laki mereka itu dinilai mempunyai watak penakut dan atau pengecut. Karena  adanya kepercayaan bahwa akan kelaparan dan mengalami kemiskinan.
 
Walaupun adat seperti itu tidak dapat dibenarkan, namun untuk dapat memahaminya perlu dilihat motivasi-motivasi yang mendorong adanya adat seperti itu. Biarpun masyarakat arab pra-Islam juga memiliki rasa iba dan kasih sayang kepada anak kandungnya. Akan tetapi sifat-sifat keprimitifan mereka sebagai suku-suku pengembara, terlampau berlebihan dalam mendewa-dewakan harga diri, kehormatan dan nama baik keluarga dan kabilahnya. 

Mereka sangat takut kalau-kalau di kemudian hari anak perempuannya akan mencemarkan nama baik keluarga dan kabilahnya, mengingat tata sosial pada masa itu tatkala kaum wanita hanya berkedudukan sebagai pemuas nafsu kaum pria belaka. Dan tidak memiliki hak apapun dalam menentukan nasibnya sendiri.

Dari realita di atas tampak adanya beberapa masalah yang saling bertentangan antara rasa kaih sayang sebagai orang tua kepada anaknya dengan rasa takut menghadapi hari depan. Sedangkan tingkat berpikir primitif  orang arab tidak mampu menemukan pemecahan yang tepat dan baik, maka diambillah cara yang paling mudah, walaupun hal itu berlawanan dengan rasa kemanusiaan dan hati nuraninya sendiri sebagai manusia. Dalam hal ini jelas bahwa  segi-segi negatif  yang ada pada tabiat dan adat istiadat orang Arab mengalahkan segi-segi positifnya. 

Akan tetapi dalam hal lain ada pula segi-segi positif sifat dan tabiatnya yang mampu mengalahkan segi-segi negatifnya. Seperti kepekaan mereka apabila harga diri, kehormatan dan kebebasannya diganggu orang, kedermawanan mereka terhadap tamu, keberanian berkorban untuk sesuatu yang dianggapnya benar, menjunjung tinggi prinsip-prinsip persamaan dan demokrasi, semuanya itu merupakan sifat-sifat yang patut dipuji.

Referensi: 
Ismail Faisal, Sejarah dan Kebudayaan Islam
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam

Reactions

Post a Comment

0 Comments