Ticker

6/recent/ticker-posts

4 Tahapan Menafsirkan Al-Qur'an Menurut Ibnu Katsir

Berbicara mengenai penafsiran Al-Qur'an, tentunya akan kurang ketika tidak menyinggung nama Ibnu Katsir. Seorang pemikir Muslim dan ulama tafsir yang menulis salah satu kitab paling populer, yakni Tafsir Al-Qur’an al-Azim atau yang biasa disebut Tafsir Ibnu Katsir. 

Ibnu Katsir menyukai disiplin keilmuan Al-Qur'an sejak kecil, tepatnya pada usia 11 tahun. Bahkan di usia ini ia berhasil mengafalkan Al-Qur'an. Setelah memahami ilmu Al-Qur'an, ia juga mendalami ilmu qira'at, studi tafsir, dan ilmu tafsir dari gurunya yang bernama Ibnu Taimiyah. 

Tafsir Al-Qur’an al-Azim merupakan karya monumentalnya yang sering dijadikan sebagai rujukan utama umat Islam di seluruh penjuru dunia hingga saat ini. Kitab yang berjumlah 10 jilid ini diterbitkan pertama kali di Kairo, Mesir pada tahun 1342 H atau 1933 M. 

Baca Juga: Tafsir Al- Misbah, Karya Terbesar Quraish Shihab

Dalam kitab ini, Ibnu Katsir menggunakan metode tahlili, yakni menjelaskan ayat-ayat Al-Qur'an secara analitis dan terperinci. Adapun kitab ini tergolong dalam corak tafsir bil ma'tsur, atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan riwayat nabi maupun para sahabat. 

Di dalam Tafsir Al-Qur’an al-Azim, terdapat empat tahapan menafsirkan Al-Qur'an menurut Ibnu Katsir. Pertama, menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan ayat-ayat lainnya. Menurutnya, tafsir yang paling utama yaitu tafsir Al-Qur'an dengan Al-Qur'an sendiri. Pasalnya makna dan maksud dari suatu ayat berhubungan dan dapat ditemukan dalam ayat-ayat lainnya. 

Tahapan yang kedua yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan hadis atau informasi yang bersumber dari Nabi Muhammad. Ketika tidak ditemukan makna dan penafsiran Al-Qur'an secara jelas dari ayat-ayat lain, maka selanjutnya Al-Qur'an harus ditafsirkan dengan penjelasan hadis nabi. Hal ini karena fungsi hadis nabi sendiri yaitu sebagai bayan at-tafsir atau penjelas isi kandungan Al-Qur'an. 

Baca Juga: Sejarah Singkat Penulisan dan Kodifikasi Al- Qur'an 

Apabila dengan dua langkah tersebut masih belum menemukan makna suatu ayat, selanjutnya Al-Qur'an harus ditafsirkan dengan perkataan (ijtihad) para sahabat. Pasalnya para sahabat Nabi Muhammad ialah orang yang hidup di masa nabi dan yang paling mengetahui konteks sosial-historis turunnya ayat-ayat Al-Qur'an.

Keempat, yaitu menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat dari para tabiin ketika ketiga tahapan di atas tidak didapatkan. Empat metode dalam menafsirkan Al-Qur'an ini harus dilakukan secara bertahap dan sistematis, dan juga tetap menguasai kaidah-kaidah bahasa Arab. 

Di antara warisan pengetahuan yang lainnya, empat tahapan menafsirkan Al-Qur'an inilah warisan berharga dari Ibnu Katsir. Maka tidak heran jika Tafsir Al-Qur’an al-Azim dengan tebal 10 jilid tersebut tetap menjadi kitab induk dalam memahami ayat-ayat Al-Qur'an. 

(AM)

Reactions

Post a Comment

0 Comments