Ticker

6/recent/ticker-posts

Meluruskan Kesalahan Orientalis dalam Studi Islam (Resensi buku Islam yang Disalahpahami)

Judul Buku: Islam yang Disalahpahami
Penulis: M. Quraish Shihab
Penerbit: Lentera Hati
Tahun Terbit: Cetakan II, September 2019
Tebal: viii + 370 halaman
ISBN: 978-602-7720-86-2


Islam bukanlah suatu agama yang semata-mata dijalankan atas dasar keimanan dan sakralitas belaka. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan juga turut membawa dinamika dalam kehidupan Islam yang  menempatkan dirinya dalam ranah ilmiah dan rasionalitas. Hingga dunia Islam pun menjadi objek kajian tersendiri dalam ruang akademik. Posisi itu membuatnya masuk ke dalam bermacam diskursus yang terbuka terhadap kritik dan paradigma baru.

Dalam kajian antropologi budaya, diskursus keislaman tidak hanya disentuh oleh kalangan muslim. Melainkan telah menjadi mimbar terbuka yang bebas tafsir, dapat dikaji oleh siapa pun, tidak terkecuali para intelektual Barat. Banyak dari mereka yang sejatinya bukan dari kalangan muslim namun mempelajari dan mendalami khazanah keislaman. Para intelektual Barat yang berminat melakukan kajian terhadap Islam maupun kebudayaan Timur inilah disebut orientalis. 

Tidak dapat dipungkiri bahwa inisiatif dan usaha para orientalis dalam mendalami masalah-masalah keislaman ini dikarenakan kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan. Sehingga tidak heran jika banyak dari mereka yang menghabiskan separuh waktunya untuk melakukan kajian dan riset, serta memiliki sikap dan pandangan tersendiri terhadap Islam.

Baca Juga: Motif Orientalis dalam Studi Islam

Namun sebagai umat Islam kita mesti berhati-hati ketika berhadapan dengan hasil pemikiran orientalis. Pasalnya tidak semua memiliki tujuan yang sama dalam mempelajari Islam. Di antara mereka terdapat orang yang tulus mencari kebenaran dan menemukannya, namun ada juga yang tulus tetapi tidak menemukannya akibat kedangkalan pengetahuan dan keterbatasan penelitian. Di sisi lain banyak pula di antara orientalis yang memiliki misi tertentu dengan tujuan mencari kelemahan Islam. Sehingga pandangannya sangat berbahaya lantaran selain mengada-ada, juga melontarkan tuduhan-tuduhan palsu terhadap Islam. 

Beberapa fokus kajian yang sering ditelaah kaum orientalis menyangkut Nabi Muhammad, Al-Qur’an, dan hadis. Namun banyak orientalis yang bersikap sinis, sehingga pandangannya jauh berseberangan dengan doktrin dan ajaran Islam sendiri. Hal ini tidak mengherankan karena sejak awal sebagian dari mereka bertujuan memperburuk khazanah Islam dan Timur dalam peradaban dunia. Dalam cultural studies, hal tersebut termasuk neo-imperialisme berkedok pengetahuan, di mana Barat sebagai pusat peradaban, memproduksi wacana-wacana keislaman yang bisa diamini oleh masyarakat yang bermental ilmiah lemah. 

Baca Juga: Mengenal Quraish Shihab, Mufasir Kebanggaan Tanah Air

Apabila hasil kajian orientalis yang diselubungi suatu kepentingan namun dianggap sebagai ajaran Islam yang sebenarnya tentunya akan berakibat fatal. Melihat hal tersebut, cendekiawan muslim Indonesia, M. Quraish Shihab dalam buku Islam yang Disalahpahami, berusaha menguraikan kesalahan-kesalahan para orientalis Barat dalam memandang Islam. Kesalahan itu disebabkan karena kedangkalan pengetahuan dan ketidakobjektifan, sehingga pandangannya cenderung mendiskreditkan Islam. 

Al-Qur’an Bukan Karya Muhammad

Dalam buku ini, Quraish Shihab menjelaskan beberapa contoh kesalahan yang terjadi. Sebagian kaum orientalis menyatakan bahwa ajaran Islam bersumber dari pandangan dan pendapat pribadi Nabi Muhammaad, atau Muhammadanisme. Tentu itu sangat bertentangan dengan prinsip Islam sendiri. Pasalnya Muhammad adalah utusan yang bertugas menyampaikan wahyu dari Allah. Hanyalah perantara yang menjalankan perintah Tuhan untuk menyebarkan ajaran demi kebaikan seluruh umat manusia. 

Lebih lanjut, penulis Tafsir Al-Misbah tersebut juga menampik pandangan H.A.R. Gibb yang menyatakan bahwa Al-Qur’an ialah hasil pemikiran dan karya Muhammad. Pendapat tersebut tidaklah benar dengan melihat bahwa nabi sendiri tidak pernah mengklaim kalau Al-Qur’an ialah miliknya. Quraish Shihab lantas menukil surat Yunus ayat 10-15, yang menyatakan, Rasulullah tidak memiliki wewenang untuk mengganti Al-Qur’an, serta ia hanya menjalankan apa yang diwahyukan oleh Allah kepadanya. 


Menurut Quraish Shihab, jika kita memperhatikan ayat-ayat Al-Qur’an tidak mungkin kalau itu hasil karya manusia. Pasalnya Al-Qur’an memiliki keindahan dan ketelitian dalam susunan redaksinya serta tiada seorang penyair pun yang sanggup menandinginya. Sedangkan dari segi kandungannya, Al-Qur’an semakin terbukti kebenaran ilmiahnya seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tidak sedikit pula ayat-ayat Al-Qur’an yang menggambarkan tentang sains dan fenomena alam. 

Sementara itu, Nabi Muhammad sendiri hidup pada zaman di mana ilmu pengetahuan dan penelitian ilmiah belum maju seperti saat ini. Terlebih lagi nabi merupakan seseorang yang tidak bisa membaca dan menulis. Quraish Shihab mengatakan, siapa pun yang bersikap objektif dalam menilai Al-Qur’an, maka tidak mungkin berpendapat bahwa Al-Qur’an ialah buah pemikiran dan karya dari seseorang yang tidak bisa membaca dan menulis, (halaman 14).

Perihal Autentitas Al-Qur’an

Kesalahan lainnya yang dilakukan orientalis yaitu pendapat bahwa Al-Qur’an yang dibaca umat Islam dewasa ini tidak lagi autentik. Selain kekurangan dan kelebihan, terdapat pula kesalahan dan ketiadaan akurasi dalam penulisannya. Pendapat ini segera dibantah oleh Quraish Shihab. Meskipun kemampuan menulis masyarakat Arab serta alat-alat tulis pada masa itu belum cukup memadai, namun bukan berarti tidak ada sahabat yang pandai tulis-menulis.

Ia mengatakan bahwa Al-Qur’an sebenarnya ditulis sejak zaman Nabi Muhammad. Begitu nabi menerima wahyu dari malaikat Jibril, langsung meminta beberapa sahabat agar menuliskannya di media seadanya, seperti pelepah kurma, tulang, batu-batu, serta kulit-kulit binatang. Kemudian ayat-ayat yang selesai ditulis disimpan di rumah Rasulullah. Sementara para sahabat juga menyalin dan menyimpannya di rumah masing-masing untuk diri sendiri dan keluarga mereka.


Setelah melintasi masa khalifah Abu Bakar, banyak penghafal Al-Qur’an yang gugur dalam Perang Yamamah. Umar bin Khattab mengusulkan untuk menulis ulang Al-Qur’an. Meskipun sempat ditolak, usulan itu disetujui dan Abu Bakar mengutus Zaid bin Tsabit sebagai pemimpin tim yang bertugas menulis ulang naskah-naskah yang pernah ditulis pada masa rasul. Dalam menjalankan tugas ini sahabat berpedoman pada dua hal, yaitu hafalan orang banyak dan kesesuaiannya dengan teks yang ditulis di hadapan nabi. Setelah itu barulah naskah asli ditulis ulang dalam materi penulisan dan bentuk yang seragam. 

Selanjutnya memasuki khalifah Utsman bin Affan, terjadi banyak perbedaan dalam membaca Al-Qur’an di antara umat muslim. Kondisi itu apabila tidak segera diatasi akan menimbulkan perpecahan. Akhirnya Utsman mengutus para sahabat untuk menulis ulang Al-Qur’an dengan seragam agar memudahkan pembaca. Kesepakatan ini terjadi karena pada mulanya Al-Qur’an turun dengan dialek Quraisy dan oleh karena itu para sahabat menulisnya sesuai dengan dialek Quraisy. Sekian mushaf yang tertulis lalu dikirim ke pusat-pusat masyarakat Islam agar dijadikan rujukan yang seragam dalam membaca Al-Qur’an sehingga tidak menimbulkan perpecahan. 

Dengan demikian, proses penulisan dan kodifikasi Al-Qur’an pada masa Utsman bin Affan tidaklah melakukan perubahan, tidak pula pengurangan atau penambahan. Akan tetapi tidak mencantumkan lagi teks-teks yang awalnya diajarkan nabi agar memudahkan para pembaca yang tidak mahir menggunakan dialek Quraisy. Adapun para pemilik mushaf pribadi yang berbeda sekian kata dengan mushaf Utsmani bersedia membakarnya demi menghindari kesalahpahaman dan kesimpangsiuran.


Maka dengan ini, pandangan orientalis yang meragukan autentitas Al-Qur’an ialah suatu kesalahan besar. Para orientalis yang objektif pastinya akan mengakui bahwa Al-Qur’an saat ini tidaklah berbeda sedikit pun dengan pada masa Nabi Muhammad. Allah sendiri berjanji akan memelihara Al-Qur’an sampai kapan pun, (QS. Al-Hijr: 9). Hal ini dibuktikan dengan tradisi hafalan di zaman nabi yang terus terwariskan oleh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Hingga saat ini tidak terhitung orang-orang, bahkan anak-anak kecil yang menghafalkan Al-Qur’an. 

Secara garis besar, buku Islam yang Disalahpahami ini memuat beragam persoalan yang dinisbahkan kepada ajaran Islam, tetapi pada hakikatnya terjadi akibat kesalahpahaman. Seperti yang dilakukan sebagian orientalis yang memang sengaja ingin memperburuk wajah Islam. Buku ini berupaya mengurai berbagai kesalahpahaman secara logis dengan memaparkan penjelasan para pakar masa lalu dan kontemporer untuk mendudukkan persoalan di tempatnya yang tepat. 

Melalui buku ini, Quraish Shihab mengajak kita untuk lebih cermat dan behati-hati dalam belajar agama Islam. Hal paling utama yaitu meningkatkan pengetahuan dan budaya Islam, termasuk budaya nasional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Apalagi di zaman modern ini banyak cara berpikir dan budaya asing yang masuk dan meredupkan kejernihan akal dan pikiran umat Islam. Dengan pengetahuan dan budaya Islam inilah kita mampu hidup damai, terarah, dan sesuai tuntutan, serta niscaya dapat meraih kembali masa kejayaan Islam di masa depan.

[Mahfud]

*) Artikel ini pernah dimuat di laman Harakatuna
Reactions

Post a Comment

0 Comments