Rene Descartes/ Foto: Istimewa |
DIA adalah Renatus Cartesius, atau biasa dikenal dengan nama Rene Descartes. Seorang filsuf, matematikawan, dan ilmuwan asal Prancis yang menjadi sosok penting dalam sejarah kebangkitan filsafat Barat.
Mendapat predikat sebagai Bapak Filsafat Modern, Descartes berhasil menjadi pembuka gerbang rasionalitas Eropa di tengah kejumudan berpikir karena pengaruh dominasi Gereja pada Abad Pertengahan. Dia juga mampu membawa corak baru dalam khazanah filsafat dan ilmu pengetahuan yang memiliki kontribusi luar biasa bagi peradaban manusia sampai hari ini.
Descartes lahir di La Hayee, Touraine, pada 31 Maret 1596. Anak ketiga dari seorang anggota dewan di Parlemen Brittany. Ia menempuh pendidikan tinggi di La Fleche yang didirikan oleh raja Henri IV dari Prancis. Di perguruan tinggi inilah, ia mempelajari logika, filsafat, dan matematika hingga tahun 1612, sebelum kemudian belajar hukum di Universitas Poitiers sampai tahun 1616.
Baca Juga: Sejarah Singkat Perkembangan Filsafat (dari Yunani Kuno hingga Modern)
Setelah itu, selama dua tahun, 1617-1619 hidup di Belanda dan membangun korespodensi dengan para pemikir besar Eropa lainnya, seperti Hobbes, Moore, dan Arnauld. Descartes meninggal dunia pada Februari 1650 dengan meninggalkan karya monumental berjudul Discourse and Method serta Meditations on First Philosophy yang berpengaruh besar bagi perkembangan filsafat selanjutnya.
Buku berjudul Meditations on First Philosophy ialah salah satu karya penting Rene Descartes. Buku berupa semi autobiografi ini berhasil mengubah wajah dan corak filsafat Barat dari Abad Pertengahan menjadi Modern. Maka jika seseorang ingin belajar filsafat modern, tidak akan lengkap tanpa mengulas buku ini.
Di sini saya akan mengajak Anda memasuki pembahasan dalam buku Meditations on First Philosophy untuk mengetahui bagaimana pondasi filsafat Descartes. Pada bagian pertama buku ini, Descartes mengajak kita untuk mulai berfilsafat dengan meragukan kebenaran dan pengetahuan yang kita miliki sebelumnya.
Ia mengatakan, “Beberapa tahun yang lalu, di masa kecil, aku dilanda sejumlah kesalahan yang aku anggap sebagai kebenaran, dan pada bangunan besar keraguan itu aku bersandar. Aku menyadari hal itu perlu, paling tidak satu kali dalam perjalanan pengetahuan hidupku. Namun aku harus menghancurkan segala sesuatu secara total dan memulai lagi tepat dari fondasi itu jika aku ingin membangun ilmu pengetahuan yang kuat dan mungkin yang terakhir.”
Baca Juga: Biografi dan Pemikiran Filsafat Plato
Metode Keraguan
Pada kalimat pembuka tersebut, Descartes menyiratkan proyek besar filsafatnya. Visi utamanya yaitu menemukan pengetahuan yang pasti, mendasar, dan fondasional. Namun uniknya, demi tujuan kepastian itu, fondasinya bukanlah kepastian, melainkan keraguan yang sebenarnya berkontradiksi dengan kepastian. Namun di sini, bagi Descartes, keraguan menjadi metode pencarian pengetahuan dan kebenaran yang mutlak.
Metode keraguan ini seringkali dianalogikan sebagai alegori "apel busuk". Di mana untuk mencapai kepastian bahwa semua apel di dalam keranjang tidak busuk, maka langkah yang harus dilakukan yaitu mengeluarkan semua apel di dalamnya terlebih dahulu. Selanjutnya barulah diperiksa satu persatu bagaimana kondisinya. Hasilnya, apel yang tidak busuk dimasukkan lagi ke dalam keranjang, sementara yang busuk harus dibuang atau dieliminasi.
Begitu juga dengan mendapatkan semua pengetahuan yang kita miliki bernilai pasti. Maka setiap orang harus mengeluarkan semua pengetahuan yang sudah mapan dengan cara meragukannya. Kemudian memeriksa kepastiannya hingga pada akhirnya berhasil menemukan kepastian yang fundamental, untuk dijadikan fondasi dan pijakan bagi pengetahuan lain berikutnya.
Baca Juga: Relasi Kekuasaan dan Pengetahuan Michel Foucault dalam Kajian Postmodernisme
Keraguan sebagai metode menggapai kepastian sebenarnya sudah dibicarakan Descartes pada karya sebelumnya, Discourse and Method. Salah satu poin penting dalam buku ini yang berkaitan metode keraguan, yaitu empat prinsip yang mesti ditempuh dalam pemeriksaan pengetahuan.
Prinsip pertama, tidak menerima apapun sebagai kebenaran kecuali mengetahuinya secara jelas bahwa itu memang benar. Kedua, dengan melakukan pemilahan sedetail mungkin untuk memudahkan penyelesaian pengetahuan. Ketiga, memikirkan secara sistematis dari hal-hal yang paling sederhana dan mudah hingga hal yang rumit dan kompleks. Prinsip terakhir yaitu melakukan perincian dari pemeriksaan yang telah dilakukan untuk mendapat keputusan bahwa suatu pengetahuan bernilai pasti.
Adagium "Aku Berpikir, Maka Aku Ada"
Rene Descartes sangat terkenal dengan adagium yang berbunyi "Cogito ergo sum" dalam bahasa Latin. Atau jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti "Aku berpikir, maka aku ada."
"Aku berpikir, maka aku ada" merupakan ungkapan yang dimaksudkan Descartes bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri.
Baca Juga: Prinsip Hidup Bijaksana Menurut Filsuf Stoa
Melalui penjelasan kalimat tesebut, Descartes ingin mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal. Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekelilingnya, bahkan meragukan keberadaan dirinya sendiri.
Ia berpikir bahwa dengan cara meragukan semua hal, termasuk dirinya sendiri, dia telah membersihkan segala prasangka dalam dirinya yang mungkin dapat menuntunnya ke jalan yang salah. Ia khawatir bahwa mungkin saja pikiran manusia pada hakikatnya tidak membawa menuju kebenaran.
Tetapi sebaliknya, pikiran manusia justru dapat membawanya kepada kesalahan. Artinya, ada semacam kekuatan tertentu yang lebih besar dari dirinya yang mengontrol pikirannya dan selalu mengarahkan pikirannya ke jalan yang salah.
Sampai dalam tahap ini, Descartes tiba-tiba sadar bahwa meskipun pemikirannya tentang sesuatu salah, pikirannya tertipu oleh suatu matriks, tetapi ada satu hal yang pasti, yaitu fakta bahwa ia adalah subjek yang berpikir. Eksistensi pikiran manusia adalah sesuatu yang absolut dan tidak dapat diragukan. Dengan begitu, Descartes sampai pada kesimpulan bahwa ketika manusia berpikir, maka berarti manusia itu ada.
Baca Juga: Motivasi Hidup dari Filsuf Socrates
Oleh sebab itu, ia membedakan antara pikiran manusia dan tubuh fisik manusia. Pikiran sendiri bagi Descrates ialah suatu benda berpikir yang bersifat mental atau dalam bahasa Latin disebut res cogitans, bukanlah bersifat fisik atau material. Dari prinsip awal bahwa pikiran itu ada, ia melanjutkan filsafatnya untuk membuktikan bahwa Tuhan dan benda-benda materal itu ada.
Bagi Rene Descrates, realitas terdiri dari tiga hal. Yakni benda material yang terbatas, mencakup objek-objek fisik seperti meja, kursi, tubuh manusia, dan sebagainya. Lalu benda mental-nonmaterial yang terbatas, yaitu pikiran dan jiwa manusia. Serta benda mental yang tak terbatas, yaitu Tuhan.
Revolusi Pemikiran Eropa
Langkah revolusioner Descartes inilah yang membangun dasar bagi modernitas Eropa dengan pembebasan umat manusia dari dogma Kristen dan doktrin Gereja. Di mana manusia membuat hukumnya sendiri dan mengambil pendiriannya sendiri. Penjamin kebenaran bukan lagi pihak otoritas gereja, melainkan manusia yang masing-masing memiliki akal dan pikirannya sendiri.
Baca Juga: Berhala Pembelenggu Kebebasan Berpikir
Menurut Martin Heidegger, tokoh filsafat fenomenologi, revolusi filosofis Rene Descartes juga memberikan dasar bagi semua antropologi selanjutnya dan telah memicu antroposentrisme dan subjektivisme modern. Suatu gagasan yang menetapkan akal manusia sebagai subjek otonom dan memberikan dasar bagi emansipasi Pencerahan Eropa.
Pengaruh Lain
Meskipun lebih dikenal dengan pemikiran filsafatnya, Descartes juga memiliki warisan besar dan berharga dalam bidang matematika. Ia ialah pencipta sistem koordinat Kartesius, yang memengaruhi perkembangan ilmu kalkulus modern. Ia memberikan dasar untuk kalkulus yang dikembangkan oleh Newton dan Leibniz, yang kemudian memungkinkan terjadinya evolusi cabang ilmu matematika modern.
Selain itu, ia adalah salah satu ilmuwan pertama yang percaya bahwa jiwa harus tunduk pada penyelidikan ilmiah. Dia menentang pandangan orang-orang sezamannya bahwa jiwa itu urusan ilahi. Dengan pandangan itu, wajar jika ia mendapatkan kecaman dan dianggap berbahaya oleh otoritas keagamaan.
Baca Juga: Peran Filsafat dalam Kehidupan Manusia
Karya dan pemikiran Descartes kemudian menjadi dasar bagi teori-teori tentang emosi dan bagaimana evaluasi kognitif diterjemahkan ke dalam proses afektif. Menurutnya, otak manusia menyerupai mesin yang bekerja. Tidak seperti banyak intelektual sezamannya, Descartes percaya bahwa matematika dan mekanika dapat menjelaskan proses pikiran yang paling rumit sekalipun.
Sedikitnya ada warisan penting terkait gagasan Rene Descartes yang memiliki pengaruh besar terhadap jalan pikiran peradaban Eropa di abad modern. Kelima poin tersebut yaitu pandangan mekanis mengenai alam semesta, sikap positif terhadap penjajakan ilmiah, tekanan dan pendekatan pada penggunaan matematika dalam ilmu pengetahuan, pembelaan terhadap dasar awal sikap skeptis, serta penitikpusatan perhatian terhadap epistemologi.
Peradaban Eropa yang saat ini menjadi kiblat ilmu pengetahuan dunia, jika melihat sejarahnya, tidak dapat dilepaskan dari pengaruh besar Rene Descartes. Di mana kehadiran Descartes menandai era baru, yaitu era Modern yang telah menemukan orientasi proyeksinya melalui kecemerlangan pemikirannya yang menginspirasi generasi filsuf setelahnya.
Descartes dengan rasionalisme-nya, juga berhasil mempelopori kehadiran aliran filsafat khas modernisme setelahnya, seperti empirisisme, kritisisme, idealisme, materialisme, pragmatisme, dan positivisme. Sementara itu, pemikiran dan karya-karyanya pada abad ke-15, di saat Eropa memulai gerakan Renaissance, merupakan suatu warisan berharga bagi sejarah peradaban manusia di dunia saat ini yang semakin maju dengan sains, ilmu pengetahuan, dan juga teknologi.
Mahfud AM
0 Comments