Ticker

6/recent/ticker-posts

Prinsip Hidup Bijaksana Menurut Filsuf Stoa

FILSUF STOA ROMAWI, Seneca menilai bahwa kondisi filsafat pada zamannya telah mengalami pergeseran. Filsafat bukan lagi sebagai wahana mengembangkan jiwa, tetapi akal manusia. Studi tentang kebijaksanaan telah menjadi filologi, atau studi tentang bahasa. Sehingga filsafat kehilangan pandangan tentang pertanyaan paling penting, yakni bagaimana menjalani hidup ini.

Dan inilah yang menjadi proyek filsafat Seneca, yang disebut sebagai stoisisme. Stoisisme memiliki prinsip bahwa seorang individu tidak terpengaruh oleh emosi negatif. Namun kaum Stoic sebenarnya bukanlah pribadi yang menjalani kehidupan tanpa semua emosi. Melainkan berupaya melepaskan diri dari emosi negatif serta meningkatkan kekuatan batin. Kebahagiaan Stoic terpancar dari bagaimana ia memposisikan dirinya, tidak mempedulikan kondisi eksternal yang sedang dialami. 

Doktrin Stoisisme begitu populer di zaman modern seperti sekarang ini. Pasalnya Stoic memiliki cita-cita tercapainya ketenangan di tengah perjuangan dan kebahagiaan di tengah kesulitan. Dua hal ini sangat penting dimiliki masyarakat di tengah euforia internet dan media sosial yang menghadirkan sikap narsisme dan mengejar popularitas. Bahkan prinsip filsuf Stoa Kuno kini membentuk dasar terapi perilaku kognitif, dengan pandangan bahwa pendekatan psikoterapi merupakan salah satu cara pendekatan paling efektif untuk mengatasi berbagai penyakit mental.

Baca Juga: Sejarah Singkat Perkembangan Filsafat (dari Yunani Kuno hingga Modern)

Stoisisme pertama kali diperkenalkan Zeno. Ia dilahirkan di Citium, kota di Siprus dan kemudian sekitar 300 SM pindah ke Athena untuk belajar filsafat. Ia mendirikan sekolah filsafat di Athena, dengan model belajar di 'serambi yang dicat' ( Stoa Poikile), sehingga murid-muridnya disebut Stoic. Stoisisme yang lahir di Yunani Kuno mencapai puncak pengaruhnya beberapa abad kemudian di Kekaisaran Romawi. Tokoh dari Stoa Romawi selain Seneca yaitu Epictetus, seorang budak dan Marcus Aurelius, sang Kaisar Roma.

Pokok filsafat stoisisme terbagi menjadi tiga, yaki logika, fisika, dan etika. Namun, perhatian utamanya ialah etika yang terlibat dalam alam, terutama untuk memperkuat pandangan mereka. Kaum Stoa berpandangan bahwa kebahagiaan dapat diraih dengan mencapai kebajikan, atau keunggulan karakter, yang diperoleh dengan prinsip 'hidup selaras dengan alam'. Maka filsuf Stoa menilai perlu memahami karakter alam semesta untuk menentukan cara hidup. 

Alam semesta bagi kaum kaum Stoa, berjalan secara harmonis. Dinamika yang terjadi di dunia tidak lain pasti ada keterkaitannya dengan prinsip ilahi (Tuhan) yang meliputi seluruh alam semesta. Masing-masing manusia adalah bagian dari seluruh kosmos sebagai satu tubuh yang besar. Di dalam tubuh itu, kaum Stoa menilai bahwa semua peristiwa eksternal ditentukan oleh peristiwa sebelumnya, dan segala hal yang terjadi sebelumnya telah ditentukan palu besi nasib.

Baca Juga: Filsafat Hellenisme, Filsafat Praktis untuk Kehidupan

Meskipun demikian, filsuf Stoa tidak menganjurkan sikap pengunduran diri atau manarik diri dari kehidupan. Sebaliknya, mereka mengajukan teori yang sekarang disebut determinisme lunak, sebuah gagasan yang memberikan ruang bagi kebebasan di alam semesta deterministik. Nalar manusia menurut Epictetus adalah 'dewa di dalam diri' yang benar-benar menjadi diri sejati. 

Kaum Stoic percaya bahwa dengan mengolah pikiran manusia dapat menentukan kebebasan batin yang tidak terganggu oleh 'palu besi' nasib. Kebebasan batin artinya seseorang secara bebas dan sadar merespon dan bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi dan mengendalikan dampaknya terhadap kebahagiaan seseorang. 

Dalam menjalani kehidupan, setiap orang pasti menjumpai banyak peristiwa. Kebanyakan hal tersebut tidak tergantung atau berada di luar kendali kita. Misalnya opini dan sikap orang lain, kesehatan dan reputasi kita, serta harta, jabatan, dan popularitas kita. Adapun yang dapat kita kendalikan yaitu hal-hal yang bersumber dari pikiran kita, seperti pendapat, keyakinan, keinginan, dan tujuan. 

Baca Juga: Peran Filsafat dalam Kehidupan Manusia

Menurut filsuf Stoa, orang mengalami penderitaan karena membuat kebahagiaan bergantung pada hal-hal yang pada akhirnya berada di luar kendali mereka. Dan di situlah orang memperbudak diri mereka sendiri. Untuk melepaskannya, kita harus mencoba bersikap acuh terhadap semua hal yang di luar kontrol, dan membuat kebahagiaan bergantung hanya pada hal-hal  yang berada dalam kendali kita. 

Namun dalam fenomena masyarakat, sebagian besar orang memilih mengejar orientasi eksternal seperti kekuasaan, kekayaan, atau kepuasan seksual. Padahal mengejar hal itu bukan menjadi jaminan hidup lebih baik. Apabila kita menggantungkan kebahagiaan pada hal-hal di luar kontrol kita, akan ada dua dampak. Ketika merasa kurang kita menjadi sengsara dan ketika memilikinya kita sering cemas karena takut kehilangannya. 

Filsuf Stoa tidak menganjurkan seseorang untuk menghindari segala hal yang tidak berada di bawah kendali kita. Melainkan barang eksternal seperti kesehatan, kekayaan, jabatan, popularitas, makanan dan minuman yang baik, cinta dan kesenangan seksual, adalah hal-hal yang dinikmati Stoic jika mereka hadir. 

Baca Juga: Relasi Kekuasaan dan Pengetahuan Michel Foucault dalam Kajian Postmodernisme

Namun berbeda dengan orang lain, Stoic tidak tergantung pada mereka dan tidak menjadikannya sebagai sumber kebahagiaan. Artinya, barang eksternal tadi meskipun tidak dimiliki, kaum Stoic masih menjalani kehidupan dengan penuh ketenangan. Dan ketika datang, dia dapat menikmati hal-hal di luar kendali itu tanpa sikap ketergantungan dan khawatir kehilangan. 

Tetapi bagaimana jika kita menghadapi kesulitan yang besar dalam hidup kita? Misalnya kehilangan orang yang dicintai, runtuhnya karir, dipecat dari pekerjaan, harta kekayaan habis. Lalu bagaimana filsuf Stoa menyikapi hal tersebut? Jawabannya ialah, seperti yang dikemukakan Epictetus, "Bukan hal-hal yang terjadi pada kita yang membuat kita menderita, tetapi apa yang kita pikirkan tentang hal-hal tersebut." 

Kunci utama untuk keluar dari kesulitan yang dihadapi yaitu bagaimana kita melihat penderitaan dengan sudut pandang baru dan mengambil sikap yang berbeda dari biasanya. Dengan berpikir positif, kita dapat mengambil pelajaran dari setiap masalah yang kita hadapi. Justru masalah yang datang bertubi-tubi akan menjadi benteng yang membuat kita semakin tangguh dalam menjalani kehidupan. 

Filsuf Stoa menjadikan filsafat sebagai alat yang dapat digunakan manusia untuk membantu membentuk karakter individu yang tangguh. Menjadikan kesulitan sebagai benteng kokoh yang tidak tertembus serta mampu menahan penderitaan dengan ketenangan dan kekuatan. Filsafat adalah seni kehidupan yang membuat manusia tidak sekadar hidup, melainkan mampu menjalani kehidupan dengan bijaksana. Sebagaimana kata Kaisar Roma, Marcus Aurelius, "Seni hidup lebih seperti gulat daripada menari."

[Mahfud]

Reactions

Post a Comment

0 Comments