Ticker

6/recent/ticker-posts

Relasi Kekuasaan dan Pengetahuan Michel Foucault dalam Kajian Postmodernisme

DALAM perkembangannya, beragam pemikiran-pemikiran dari tokoh intelektual mempengaruhi ilmu pengetahuan, termasuk menambah kekayaan warisan pengetahuan dunia. Juga dalam setiap pergantian zaman tentunya akan mewarisi pemikiran dari tokoh-tokohnya. Banyak karya-karya yang lahir dari tokoh-tokoh intelektual yang mewarnai dinamika kehidupan masyarakat.

Michel Foucault, merupakan salah satu dari sekian banyak tokoh intelektual postmodernisme. Foucault memiliki nama lengkap Paul Michel Foucault, ia lahir di Kota Poitiers, Prancis pada 15 Oktober 1926. Selain dikenal sebagai filsuf, ia dikenal juga sebagai sejarawan, ahli teori sosial, dan kritikus sastra.

Foucault dibesarkan di lingkungan keluarga yang cenderung ketat dalam pendidikan, meskipun keluarganya cenderung memprioritaskan nilai-nilai tradisi daripada nilai-nilai agamanya. Dalam dunia filsafat Foucault dikenal banyak orang sebagai tokoh intelektual postmodernisme yang sangat aktif, produktif dalam melakukan penelitian dan menghasilkan suatu karya. 

Baca Juga: Sejarah Singkat Perkembangan Filsafat (dari Yunani Kuno hingga Modern)

Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh sebelumnya, seperti Friedrich Nietzsche, Karl Marx, Sigmund Freud, dan masih banyak lagi. Namun karyanya tergolong karya orisinil, karena masih sangat baru dan belum tersentuh oleh tokoh pemikir lainnya. Alasannya menciptakan karya dengan konsep kajian “terbaru”, karena ia melihat tokoh yang sangat dikaguminya yakni Nietzsche, sebab menurutnya pemikiran Nietzsche sangat orisinil. 

Konsep Relasi Kuasa

Kajian mengenai kekuasaan menurut Foucault begitu kompleks. Foucault memandang kekuasaan bukanlah suatu hal yang dapat diperoleh, kemudian berhenti di tengah jalan. Akan tetapi, kekuasaaan harus dijalankan dalam berbagai relasi sosial dan memiliki sifat dinamis. Berarti kekuasaan disini dapat terus konsisten dinamis, tidak stagnan.

Kekuasaan yang selama ini dipahami di masyarakat acapkali bersifat represif atau memaksa. Foucault menolak hal tersebut, menurutnya kekuasaaan bersifat reproduktif, regulatif, dan strategis. Ia pun mengemukakan ide yang lebih maju mengenai kekuasaan daripada pemikir terdahulunya yang membatasi kekuasaan hanya sebatas hukum, politik, ekonomi.

Selain itu, kekuasaan menurut Foucault tidak berpusat pada satu subjek atau lembaga, tetapi dapat tersebar menyeluruh disetiap relasi sosial. Ini membuktikan bahwa sifat dari kekuasaan menurutnya tidak sentral, karena kekuasaan harus menyebar sejauh jangkauan individu menjangkau individu lainnya.


Kemudian Foucault menganggap bahwa kekuasaan tidak hanya mengatur cara bertindak, tetapi lebih besar dari itu, yakni kekuasaan menjadi suatu sistem di masyarakat. Dengan adanya sistem tersebut membuat masyarakat dihegemoni oleh kekuasaan, tanpa sadar telah atau sedang dikuasai. Sehingga masyarakat akan patuh terhadap sistem yang berlaku dalam bentuk kuasa.

Maka inovasi pandangan yang ditawarkan oleh Foucault dalam melihat sifat kekuasaan pada masyarakat modern berupa Disciplinary Power, yakni kekuasaan diyakini bekerja untuk menormalisasi perilaku di berbagai relasi sosial, bukan mengadopsi bentuk kekuasaan yang berdasarkan otoritas dengan kontrol secara represif atau Sovereign Power. 

Mungkin definisi singkat dari Disciplinary Power, yaitu kekuasaan yang dijalankan terhadap anggota atau individu warganya. Namun dengan “cara” membentuk warga atau individu untuk patuh dan bermanfaat terhadap kekuasaan. Bagaimana mengetahui kepatuhannya, dengan hanya melihatnya melalui efek-efek dari kekuasaan tersebut.


Berbicara tentang Disciplinary Power tentu akan membahas tentang Governmentality. Governmentality dapat diartikan sebagai perluasan dari kekuasaan yang berbentuk Disciplinary Power. Sehingga apa yang dibahas di dalam Governmentality merupakan model rasionalisasi dari seperti apa bentuk kekuasaan itu dijalankan negara, dengan tujuan kekuasaan tersebut bisa mendapatkan pengakuan secara sah atau legitimasi.

Selanjutnya dapat diketahui bahwa melalui praktik-praktik Governmentality, kekuasaan dapat diinternalisasikan dalam kehidupan masyarakat. Governmentality ini seringkali disebut sebagai Conduct of Conduct. Disini hal tersebut bermakna bahwa negara yang mengatur segala tindakan atau perilaku sosial masyarakat dengan cara melakukan internalisasi penundukan, supaya masyarakat berproses menjadi populasi maupun sumber daya yang patuh dan taat aturan. 

Pada intinya, bagi Foucault kekuasaan bukan merupakan sesuatu yang dapat dimiliki, bahkan oleh para kaum dominan sekali pun. Jika melihat hubungan antara subjek dan kekuasaan bukan sekedar hanya merepresentasikan subjek sebagai pelaku atau aktor dan kekuasaan sebagai produknya, melainkan lebih dari itu, manusia disini dipengaruhi oleh kekuasaan, bukan sebaliknya.

Dalam kajian mengenai kekuasaan tidak terlepas dari sosiologi politik yang akan membahas tentang hegemoni. Hegemoni menurut Foucault merupakan suatu konsep model dari kekuasaan yang beroperasi dan dapat dilihat dari sudut pandang strategi politik, legitimasi, dan kepemimpinan intelektual yang kemudian terorganisir terhadap relasi kekuasaan.

Dialektika Kekuasaan dan Pengetahuan

Foucault berpendapat bahwa kekuasaan tidak dapat dipisahkan dengan pengetahuan. Sebab diantara keduanya terdapat dialektika yang berkesinambungan. Jalur hubungannya adalah kekuasaan yang mampu menghasilkan pengetahuan, dan pengetahuan dibentuk oleh kekuasaan, maka keduanya memiliki peranan yang setara.


Secara episteme, yakni syarat-syarat untuk menentuhkan kebenaran dari wacana-wacana yang muncul, tentunya kerap terselubung kepentingan di dalamnya. Hingga melahirkan istilah baru, yaitu pengetahuan sebagau episteme. Artinya bahwa bentuk pengetahuan yang bersifat otoritatif telah disempurnakan sebagai pemaknaan dalam menghadapi sitausi tertentu pada zamannya.

Dialektika lain diantara keduanya dapat dimanifestasikan dalam realitas sosial. Misalnya, pada era postmodern ini, dibalik institusi pendidikan terdapat kekuasaan yang mengatur konstruksi pengetahuan. Sederhananya, dibalik pengetahuan terdapat cara untuk menjadi penguasa atau menguasai, dan juga dibalik kekuasaan terdapat pengetahuan yang dimiliki.

Adapun konsep pemikiran lainnya mengenai kekuasaan dan pengetahuan adalah kekuasaan yang selama ini berperan menjustifikasi suatu hal dapat dikatakan benar atau salah. Padahal kebenaran merupakan produk dari kekuasaan dan pengetahuan manusia. Dalam konstruksi kekuasaan acapkali menghasilkan kebenaran subyektif, tetapi dengan melibatkan aspek pengetahuan maka akan menghasilkan kebenaran disipliner.

Sehingga garis besar yang hendak disampaikan oleh Foucault adalah masyarakat dalam arti ini relasi sosial memiliki politik kebenarannya masing-masing. Pembaharuan mengenai sudut pandang kekuasaan disimpulkan oleh Foucault dengan kekuasaan sebenarnya bersumber dari dalam diri personal masing-masing. Bagaimana cara manusia memandang kehidupannya.

Hal tersebut berkaitan erat dengan kajian postmodern, yang memperkenalkan diri sebagai identitas baru, yang menolak adanya “narasi besar” atau kebenaran mutlak yang digiring oleh para ilmuwan dan pemikirnya seperti Karl Marx dengan konsep kapitalismenya. Implementasi dari pemikiran Foucault adalah perjuangannya untuk mentransformasikan konsep universalitas modernisme menjadi konsep multiversalitas, paham yang mengakui adanya diversitas dalam masyarakat.


Diversitas atau biasa disebut dengan kemajemukan adalah terobosan terbaru yang dibawa oleh “penganut” postmodern, yang menolak adanya prinsip-prinsip yang menyatakan kebenaran secara mutlak dan menganggap yang tidak sejalan dengan kata salah. Lebih lanjut kompleksitas postmodern memang membawa pengaruh yang begitu besar bagi dunia intelektual.

Dunia postmodern adalah dunia tanpa titik batas, mungkin erat kaitannya dengan globalisasi. Dimana tidak ada titik pusat yang mengontrol segala sesuatu yang berdinamika di dalamnya. Mungkin yang paling identik dengan istilah postmodern adalah dunia tanpa standar umum yang pada masyarakat modern digunakan sebagai tolak ukur atau kriteria untuk menilai dan mengevaluasi kehidupan di dalamnya dengan kata benar atau salah.

Ide-ide baru yang merupakan wacana yang “ditemukan” oleh Foucault menimbulkan kebenaran dan pengetahuan. Pengetahuan memproduksi efek kuasa atau dengan istilah lain menciptakan hegemoni kekuasaan. Kemudian kekuasaan memobilisasi lahirnya pengetahuan, dalam setiap pengetahuan terdapat kekuasaan, pun sebaliknya.

Terakhir, memang secara implisit Foucault ingin menyampaikan bahwa rezim wacana itu merupakan bentuk dari efek kuasa. Sehingga dalam pandangan Foucault yang terinspirasi oleh pandangan “panutannya” Nietzsche, bahwa dalam dunia seharusnya tidak ada suatu kebenaran atau pengetahuan benar yang final dan bersifat universal atau menyeluruh untuk diyakini benar oleh seluruh masyarakat.

Penulis: Abi Priambudi, Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Walisongo Semaranga
Reactions

Post a Comment

0 Comments