Ticker

6/recent/ticker-posts

4 Tradisi dan Perkembangan Teori Komunikasi Massa

Ilustrasi komunikasi massa

Bab 2 dari buku Mass Communication Theory yang ditulis oleh Stanley J. Baran dan  Dennis K. Davis menjelskan tentang empat teori komunikasi massa yang digagas oleh para ahli,  peneliti, dan intelektual dalam bidang komunikasi. Bagian ini memaparkan bagaimana pokok pikiran atau gagasan utama dari masing-masing teori, kondisi sosial yang melatarbelakangi  munculnya teori, dan bagaimana teori tersebut akhirnya runtuh. 

Buku tersebut ingin berbicara tentang eksistensi dan pengaruh media massa dalam kehidupan mayarakat serta bagaimana  respon masyarakat dalam menyikapi kehadiran media di tengah-tengah kehidupan. Dijelaskan pula perbedaan pendapat dari berbagai peneliti dalam melihat dan memposisikan media massa. 

Melalui buku tersebut, kita dapat mengetahui bahwa teori komunikasi massa terus  mengalami transformasi selama dua abad terakhir. Dalam bagian dalam buku ini dijelaskan jenis teori komunikasi massa dibangun, tujuan dicetuskannya, dan kekuatan dan keterbatasannya. Disebutkan pula bagaimana tujuan teori ini disajikan serta alasan direvisi dan diabaikan oleh pakar komunikasi massa lainnya. 

Dalam sejumlah kasus, teori ditolak ketika tidak dapat divalidasi oleh penelitian ilmiah atau argumen logis. Bukti empiris bertentangan dengan gagasan utama atau sulit dipertahankan. Sehingga tidak relevan dengan perubahan media dan masyarakat. 

Di sini disebutkan bahwa teori komunikasi secara kronologis-historis terdiri dari empat teori. Gagsan pertama yaitu era masyarakat massal dan budaya massal yang dicetuskan pada paruh abad ke-19 di mana revolusi industri bergulir Munculnya pabrik-pabrik dan aktivits produksi memanggil masyarakat pedesaan untuk datang ke kota-kota besar. Pada saat bersamaan dengan industrialisasi dan urbanisasi ini, mesin percetakan turut mempengaruhi pesatnya perkembangan surat kabar. 

Baca Juga: Pengembangan Literasi Digital Berbasis Dongeng Sains

Di sinilah para pakar atau ahli teori komunikasi terpecah menjadi dua kubu dengan  perspektif yang berbeda. Sebagian pakar optimis tentang masa depan yang akan diciptakan oleh industrialisasi, urbanisasi, dan dan kebangkitan media cetak. Pandangan lainnya pesimis karena revolusi industri mengganggu perdamaian, masyarakat desa berhamburan datang ke kota hanya untuk menjadi tenaga kerja. Sikap pesismis para ahli juga dikarenakan rasa kekhawatiran pada kota yang menjadi tempat kejahatan, keragaman budaya, dan sistem politik yang tidak stabil. 

Dalam hal ini, ada dua gagasan yang saling bertentangan untuk memahami bagaimana yang terjadi dengan adanya industrialisasi di perkotan. Satu pihak ingin mempertahankan tatanan sosial-politik yang lama dengan memandang industrialisasi dan urbanisasi memperburuk masa depan masyarakat karena kehilangan individualitas dan menjadi pelayan mesin. Satu pihak lagi ingin menciptakan revolusi dan perubahan radikal. Banyaknya konflik yang ditimbulkan dari hal ini sangat mempengaruhi pemikiran tentang media massa dan turut membentuk perkembangan teori masyarakat massa. 

Kaum revolusoner maupun elite tradisional memiliki pandangan berbeda tentang media massa. Elite tradisional memandang bahwa media telah menumbangkan dan mengganggu tatanan sosial yang ada. Sebaliknya, para revolusioner justru melihat media sebagai solusi potensial untuk kekacauan di masyarakat. Media dapat berfungsi sebagai alat yang ampuh yang dapat digunakan untuk memulihkan tatanana lama atau melembagakan tatanan baru. Namun hal tersebut ditentang oleh elit tradisional dengan melawan elit perkotaan yang kekuasaannya semakin bertumpu pada industrialisasi dan urbanisasi. 

Baca Juga: Tantangan Jurnalis dalam Menghadapi Transformasi Teknologi Digital

Dari perdebatan ini, yang paling berkuasa adalah para pemodal yang menguasai pabrik pabrik industri atau yang disebut sebagai kapitalis. Mereka menyambut segala bentuk perkembangan teknologi, termasuk media massa. Hal ini karena teknologi dipandang baik karena memfasilitasi kontrol atas lingkungan fisik, memperluas produktivitas manusia, dan menghasilkan bentuk baru kekayaan materi.

Teknologi diyakini akan mengakhiri permasalahan sosial dan mengarah pada pengembangan dunia sosial yang ideal. Namun sampai tahap ini, kaum revolusioner maupun tradisional yang menginisiasi terbentuknya gagasan masyarakat massa terlalu memposisikan media memiliki kekuatan besar untuk mempengaruhi keadaan, termasuk merusak tatanan sosial. 

Selanjutnya teori kedua yaitu perspektif ilmiah menuju perspektif efek terbatas. Teori ini muncul pada Perang Dunia, di mana media menjadi bagian dari gerakan politik negara-negara Eropa. Misalnya di tahun 1930-an, para politikus mulai mengoptimalkan penggunaan media. Seperti Nazi Jerman yang mengeksploitasi media massa surat kabar, film, dan radio untuk propaganda.

Baca Juga: Kesiapan Pendidikan Indonesia Menuju Era Society 5.0

Di seluruh Eropa, para pemimpin totaliter seperti Hitler, Stalin, dan Musollini memilliki kekuasaan dan mampu memegang kendali penuh atas masyarakat melalui propaganda media massa. Di antaranya menggunakan media yang populer di kalangan masyarakat seperti surat kabar, film, dan radio. Tujuannya yaitu agar semua kendali masyarakat berada di tangan pemimpin dan politikus. Dalam hal ini, media dianggap memiliki pengaruh dan efek yang besar terhadap tatanan sosial masyarakat. Namun di lain pihak, pakar komunikasi bernama Paul Lazarsfeld berpendapat, asumsi pengaruh besar media massa tidaklah benar. 

Menurutnya, media tidak begitu berpengaruh terhadap kehidupan sosial masyarakat, pasalnya masyarakat punya hak untuk memilih media mana yang akan dikkonsumsi, dipercaya, dan dijadikan acuan. Pada teori yang kedua ini sudah mulai menggunakan perspektif ilmiah di mana penelitian sosial empiris digunakan untuk membuktikan validitas teori. Paul Lazarsfeld memandang bahwa media tidak sekuat yang ditakuti dan diharapkan. Bahwa orang memiliki beragam cara untuk melawan pengaruh media dan sikap mereka dibentuk oleh banyak faktor, seperti keluarga, sahabat, dan komunitas keagamaan. 

Perspektif ilmiah inilah yang kemudian memicu munculnya teori efek tebatas. Media memiliki peran yang terbatas dan tidak cukup kuat dalam kehidupan masyarakat luas. Salah satu gagasan teori efek terbatas yaitu munculnya teori pluralisme elit, yang memandang masyarakat demokratis terdiri dari kelompok pluralistik yang saling terkait dan dipimpin oleh para pemimpin opini yang mengandalkan media untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan dunia politik dan sosial. Para pemimpin opini ini memiliki informasi yang baik meskipun para pengikutnya apatis. 

Baca Juga: Pustaka Digital Sekolah, Aplikasi E-Book Gratis dengan Materi Lengkap

Selanjutnya pada 1950-an dan 1960-an, para pendukung teori sebelumnya tentang masyarakat massa semakin mendapat pertentangan dari para ahli teori efek terbatas karena dianggap tidak ilmiah. Ahli teori efek terbatas berargumen bahwa rata-rata orang terlindungi dengan baik dari pengaruh media oleh opini dari pemimpin yang dapat dipercaya untuk menyaring propaganda Komunis sebelum sampai ke telinga mereka. Namun pada pertengahan tahun 1960-an, banyak ilmuwan komunikasi berhenti meneliti efek media karena diyakini tidak akan pernah menghasilkan temuan baru. Dalam kondisi inilah teori efek terbatas mendapatkan tantangan dari beberapa bidang, terutama psikolog dan sosiolog terkait pengaruh media dalam skala besar. 

Memasuki teori yang ketiga yaitu teori komunikasi massa perspektif budaya yang mencoba menentang teori sebelumnya. Ahli komunikasi yang mencukung teori ini memandang perspektif budaya dalam komunikasi massa sebagai reduksionisme, atau proses mereduksi fenomena sosial dan proses komunikasi yang rumit menjadi konsep yang lebih sempit dari penelitian dalam skala kecil. Para akademisi, terutama di negara Eropa tidak sepakat dengan pengaruh Amerika setelah Perang Dunia II. Meskipun beberapa ada yang menyambut dan memperjuangkan gagasan tentang efek media, namun yang lain menolaknya karena empirisme Amerika dianggap terlalu sederhana dan hampa secara intelektual. 

Baca Juga: Akhir Perjalanan AI

Dalam tahap ini, teori komunikasi massa kemudian beralih menjadi studi kritis dan budaya Eropa yang dipelopori oleh kelompok sayap kiri Neo-Marxis yang merupakan ahli teori sosial dan budaya. Mereka berasumsi bahwa media memungkinkan elit sosial dominan untuk menciptakan dan mempertahankan kekuasaan. Media menyediakan sarana promosi yang nyaman, halus, namun sangat efektif untuk mendukung kepentingan kaum elit. Sehingga mereka bisa memenangkan wacana di masyarakat. Dalam teori ini, upaya untuk mengkaji institusi media dan menafsirkan konten media menjadi prioritas utama. 

Dalam perspektif budaya, media massa memiliki peran dalam mempromosikan pandangan dunia dan sebagai alat kaum elit untuk menghegemoni masyarakat. Namun sebagian masyarakat yang mengonsumsi media mampu bersikap kritis dengan menghidupkan pertanyaan-pertanyaan penting tentang potensi kekuatan media. Sebagian memiliki kemampuan sebagai masyarakat aktif yang menolak hegemoni media. Kondisi inilah yang membedakan dengan gagasan tentang efek terbatas, di mana pakar media Amerika mengabaikan skeptisisme tentang kekuatan media dan berasumsi bahwa masyarakat sebagian besar pasif. 

Memasuki teori komunikasi massa keempat yaitu perspektif penciptaan makna. Gagasan ini muncul dipicu teori efek terbatas yang tenggelam setelah mendapatkan tekanan dari perspektif budaya dan munculnya teori baru lainnya. Teori ini menawarkan perspektif baru dalam melihat media dan media media mengubah cara masyarakat berpikir tentang efek media.

Baca Juga: Media Sosial dan Hasrat Irasional

Gagasan dalam perspektif penciptaan makna dalam komunikasi massa ini menitiktekankan mengenai khalayak aktif yang menggunakan konten media untuk menciptakan pengalaman yang bermakna. Dalam perspektif ini, khalayak atau pembaca media menjadi subjek yang penting karena media harus dipandang sebagai sebuah proes pemaknaan. Setiap pengguna media memiliki makna tersendiri atas apa yang ia konsumsi. 

Adapun poin utama dalam perspektif ini yakni gagasan tentang khalayak aktif yang menggunakan konten media untuk menciptakan pengalaman yang berarti. Di sini, efek media yang terjadi dalam jangka waktu panjang ditentukan oleh pemirsa atau pembaca. Dalam teori ini, ada dua contoh teori yang berkembang dan berhubungan. Yaitu teori framing dan juga literasi media. Setiap media memiliki framing tersendiri untuk mengarahkan pembaca kepada konstruksi fakta tertentu yang ingin ditunjukkan oleh media. Oleh karena itulah literasi media yang meliputi kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menyampaikan pesan media menjadi kontrol penting atas framing yang diciptakan media.

(Athok Mahfud)

Reactions

Post a Comment

0 Comments