Ticker

6/recent/ticker-posts

Tantangan Jurnalis dalam Menghadapi Transformasi Teknologi Digital

Tantangan jurnalis dalam menghadapi transformasi teknologi digital

HADIRNYA teknologi digital membawa masyarakat memasuki era baru. Smartphone, internet, dan media sosial, sebagai produk teknologi mutakhir mengubah pola masyarakat dalam berkomunikasi dan melakukan transfer informasi. Saat ini masyarakat semakin mudah, cepat, dan praktis, dalam mengakses suatu informasi. Hanya bermodal smartphone dan internet, kita bisa mengetahui segala yang terjadi di belahan dunia ini. 

Berdasarkan riset dari We Are Social, jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia sebanyak 167 juta orang pada Januari 2023. Jumlah ini setara dengan 60,4 persen dari populasi di dalam negeri. Adapun jumlah pengguna internet secara umum di Indonesia tercatat sebanyak 212,9 juta pada Januari 2023. Selain itu, warganet Indonesia menghabiskan 7 jam 42 menit per hari untuk internetan. Adapun layanan yang paling banyak dibuka setiap harinya adalah platform media sosial dengan rata-rata akses 3 jam 18 menit per hari, (Kompas.com, 14/2/2023).

Penelitian di atas menunjukkan bahwa terjadi perubahan dalam pola komunikasi masyarakat. Dengan hadirnya platform digital, pola komunikasi mengalami perubahan yang semula menggunakan tradisi konvensional menuju komunikasi virtual. Hal ini turut mempengaruhi perkembangan jurnalisme dan kondisi pers di Indonesia. Media-media massa sekarang mulai beralih dan bertransformasi menuju konten visual dan digital. Berbagai informasi bisa dengan cepat didapatkan melalui media online dan media sosial. 


Di sinilah yang menjadi tantangan berat jurnalisme dan pers saat ini. Praktik jurnalisme dituntut untuk lebih adaptif dalam menghadapi tantangan digitalisasi. Media-media sekarang lebih sering mengejar kecepatan dan aktualitas dalam memproduksi informasi. Aspek kecepatan inilah yang menjadi karakter khas jurnalisme digital. Peristiwa hangat yang terjadi detik ini bisa langsung menjadi karya jurnalistik di media online yang dikonsumsi masyarakat luas dalam kurung waktu tidak lebih dari satu jam. Kondisi ini berbeda dengan era media cetak maupun televisi yang membutuhkan waktu lama dalam memprosesnya. 

Selain itu, karakter pembaca juga turut mempengaruhi cara jurnalis maupun media dalam menyajikan informasi. Masyarakat digital cenderung menyukai informasi atau berita yang berbau sensasional, viral, dan mengundang emosi. Dalam praktiknya, banyak kemudian pemberitaan yang mengedepankan sensionalitas namun mengabaikan fakta-fakta penting. Sensionalitas dikejar agar mendapatkan banyak pembaca. Headline ataupun framing pemberitaan dibuat dengan narasi dan penyajian yang bahkan mengabaikan aspek penting dalam jurnalisme. 

Tidak hanya itu saja, tantangan lain yang dihadapi pers di era digital yaitu platform media sosial yang menjadi ruang terbuka bagi publik untuk berbagi dan menyebarkan informasi. Dengan adanya media sosial, semua orang bisa menggunakan akun pribadinya untuk membagikan berbagai peristiwa maupun informasi kepada masyarakat luas. Tidak hanya pers berbadan hukum saja yang bisa memproduksi informasi, namun masyarakat juga bisa melakukannya. Hal yang dikhawatirkan dari kondisi ini ialah konten di media sosial belum tentu sesuai dengan fakta dan kebenaran. Maka tak heran jika sekarang media sosial memunculkan banyak hoaks, berita palsu, ujaran kebencian, dan beragam komentar negatif. 


Transformasi teknologi digital terkadang membuat jurnalis dan media mengabaikan kode etik jurnalistik dan elemen dasar jurnalisme. Tuntutan kecepatan dalam menyebarkan berita seringkali membuat jurnalis mengabaikan prinsip verifikasi dan menguji kembali kebenaran informasi. Berita yang mengedepankan sensionalitas dan viralitas menjadi godaan bagi jurnalis untuk membelokkan fakta agar demi mengejar pembaca. Selain itu, ledakan informasi di media sosial yang tak terbatas menuntut pers supaya mampu menjadi antitesis agar masyarakat tidak menjadi korban hoaks maupun fitnah. 

Dalam menghadapi tantagan ini, disiplin verifikasi menjadi hal yang paling utama dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Sebagaimana dijelaskan Bill Kovach dan dan Tom Rosenstiel dalam elemen jurnalisme, bahwa esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi. Verifikasi adalah upaya pemeriksaan kebenaran laporan ke pihak terkait. Dalam jurnalisme, proses verifikasi sangat penting karena wartawan harus melakukan cek dan ricek, konfirmasi, serta membuktikan kebenaran sebuah peristiwa. Dalam konteksnya, seorang jurnalis yang mengejar kecepatan pemberitaan jangan sampai mengabaikan prinsip verifikasi. Karena hal itu akan berdampak pada informasi yang dibagikannya kepada masyarakat. 

Hal ini juga dipertegas dalam Kode Etik Jurnalistik. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Dalam hal ini, data-data yang didapatkan jurnalis di lapangan harus diuji kembali akurasinya. Dalam melakukan pemberitaan, jurnalis sebisa mungkin juga harus berimbang dalam menghadirkan narasumber. Karena mengejar kecepatan, jurnalis terkadang hanya menyajikan keterangan dari satu pihak tanpa melakukan konfirmasi ke pihak lainnya yang pendapatnya sangat penting. 


Di era sekarang, berita yang sensasional dan mengundang emosi masyarakat cenderung disukai. Misalnya pemberitaan tentang kejadian kriminal seperti pemerkosaan, pencabulan anak di bawah umur, pembunuhan, peristiwa bunur diri, dan lain-lain. Dalam memberitakan kasus semacam ini, media seringkali membuat pemberitaan secara masif yang menjadikan pelaku maupun korban menjadi perhatian publik. Bahkan headline atau framing yang menyudutkan salah satu pihak digunakan agar masyarakat tertarik membacanya. Pemberitaan yang ditulis wartawan tidak jarang justru membuat keluarga korban atau pelaku tidak berkenan karena terlalu eksploitatif. 

Padahal dalam Pasal 8 Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin, dan bahasa serta tidak merendahkan martabat orang lemah, miskin, sakit, cacat jiwa atau cacat jasmani. Dilanjutkan di Pasal 9, wartawan Indonesia menghormati hak narasumber tentang kehidupan pribadinya, kecuali untuk kepentingan publik. Namun pada faktanya di lapangan, tidak sedikit wartawan yang pemberitaannya merendahkan orang lain demi kepentingan sensasi. Tidak jarang pula kehidupan pribadi seseorang dikulik dan dikapitalisasi media agar kontennya viral. 

Transformasi digital yang menghadirkan internet dan media sosial memang menjadi tantangan berat bagi dunia pers dan media. Jurnalis sebagai gerbang pertama dalam mendapatkan data, fakta, dan informasi di lapangan sangat menentukan bagaimana suatu berita diproduksi. Kebenaran, kualitas, dan akurasi suatu berita ditentukan oleh cara kerja jurnalis. Oleh karena itu, menghadapi tantangan digitalisasi yang semakin masif ini, jurnalis harus selalu berpegang teguh dan berpedoman pada kode etik jurnalistik. Hal ini bertujuan agar berita yang dihasilkan akurat dan berimbang sesuai fakta yang ada serta tidak menimbulkan kegaduhan dan merugikan masyarakat.
Reactions

Post a Comment

0 Comments