SAYA memiliki seorang teman yang aktivitas sehari-harinya lebih banyak dihabiskan di media sosial. Ia tidak bisa lama-lama melepaskan gawai dari genggaman tangannya. Sudah terlalu asyik dan nyaman berkomunikasi dan bercengkerama dengan orang lain melalui ruang virtual.Â
Di era digital kini, intensitas penggunaan internet dan media sosial memang dapat membuat candu dan ketergantungan. Bahkan teman saya tadi sudah mengalami ekstase, sulit membedakan antara realitas nyata dan maya. Hingga ketergantungan media sosial bisa sampai mendominasi pola pikir dan tindakannya.Â
Ceritanya pada suatu hari, waktu nongkrong di salah satu kedai kopi, ia memotret minumannya dengan mode estetik. Lalu membagikan foto itu di story WhatsApp dan Instagram. Bermaksud menunjukkan kalau ia update dan mengikuti tren pergaulan terkini serta berharap mendapatkan simpati dan atensi dari orang lain.
Dalam obrolan bersama teman-teman lainnya, perhatian teman yang satu tadi selalu tertuju pada gawai. Ibu jarinya terus menekan-nekan benda elektronik yang erat digenggamnya itu. Bahkan ia tidak ikut memperhatikan dan merespon topik yang sedang dibicarakan. Sekilas ikut menyimak, namun sambil mengecek ulang story WhatsApp dan Instagram-nya.
Baca Juga:Â Media Sosial; Tantangan Media Massa di Era Digital
Sepanjang obrolan, ia memang lebih banyak membuka media sosial, terutama terus mengecek story fotonya tadi. Memastikan siapa saja yang sudah menontonnya dan bagaimana responnya. Dilihat dari tingkahnya, ia amat mengharapkan jika fotonya mendapatkan banyak view, like, dan comment dari pengguna media sosial lainnya.Â
Sejatinya hal tersebut seringkali saya jumpai di sekitar, bukan hanya pada teman saya saja. Di ruang publik, di tempat-tempat umum, terutama tempat elite seperti kafe, restoran, mal, wisata, maupun dalam sebuah acara besar, orang cenderung mengabadikan momennya lantas segera membagikannya di media sosial. Saling berlomba-lomba menunjukkan eksistensi dengan tujuan mendapat perhatian dan pujian dari orang lain.Â
Obsesi Berbentuk Kecemasan
Membagikan momen pribadi ke media sosial memang menjadi tren dan pola yang seolah semuanya harus mengikuti. Itu tidaklah salah, namun problemnya ialah, ketika obsesi ingin diakui sudah mendominasi, justru akan membuat seseorang semakin ketergantungan dan terus update dengan mengikuti segala tren yang berkembang agar viral dan populer.Â
Baca Juga:Â Media Sosial Melahirkan Mahluk Individual
Adapun ketika memperhatikan karakter penggunaannya, media sosial kini menjadi ajang perlombaan untuk saling menunjukkan eksistensi melalui konten yang mendapatkan banyak view, like, dan comments. David Brooks dalam buku The Morality of Selfism mengungkapkan bahwa generasi yang suka memposting di media sosial senang memamerkan dirinya dan senang untuk dipuji. Viral, populer, dan banyak pengikut menjadi prestasi terbesar di dunia maya.Â
Padahal, orang yang selalu mengikuti ritme media sosial akan merasa haus akan self esteem atau pengakuan dari pengguna lain. Orientasi kepada hasrat dan pemenuhan diri yang tanpa disadari ini justru akan mengakibatkan social media anxiety disorder, gangguan dalam bentuk obsesi. Cirinya yaitu ketika membagikan konten, akan secara rutin memeriksa jumlah view, like, dan comment, serta merasa cemas jika tidak sesuai dengan ekspekstasinya.Â
Keadaan ini terjadi ketika seseorang ingin mendapatkan penghargaan dan pujian orang lain atas konten yang dibagikannya. Jika mendapatkan sebaliknya, saat dinilai buruk atau tidak diapresiasi, akan merasa cemas dan terganggu. Sehingga tidak heran jika pengguna aktif media sosial banyak yang mengalami gangguan kecemasan, depresi, maupun stres. Hal tersebut karena tidak menyadari esensi penggunaan media dan tidak dapat mengontrol dominasi obsesinya.Â
Kontrol Diri
Kondisi demikian jika ditelaah secara filosofis-psikologis, bahwa cara berpikir dan pola perilaku manusia digerakkan oleh unsur dari dalam tubuhnya. Filus Yunani, Plato, membaginya menjadi tiga unsur, yaitu ephitumia (nafsu), thumos (hasrat), dan logostikon (akal). Ephitumia yaitu nafsu-nafsu primitif atau insting yang selalu mengutamakan pemenuhan kesenangan jasmani, seperti makan, minum, tidur, dan seks.Â
Sementara thumos berupa dorongan semangat dan hasrat dengan kecenderungan merasa ingin dicintai dan dihargai, haus akan pujian dan kehormatan. Pada dasarnya bersifat positif, namun jika tidak terkendali, thumos bisa menjadi irasional. Sedangkan logostikon ialah unsur paling penting karena menjadi pengendali yang mampu mengatur ephitumia dan thumos agar tidak keluar dari koridor, serta mengarahkan perilaku manusia sesuai akal dan pengetahuan.Â
Baca Juga:Â Biografi dan Pemikiran Filsafat Plato
Menurut Plato, ketiga unsur ini sangat penting untuk dijaga agar dapat berjalan seimbang dan harmoni dengan menjadikan logostikon sebagai pengendali utama. Apabila didominasi oleh ephithumia atau thumos tanpa peran logostikon, tentu hidup seseorang hanya akan berorientasi pada pemenuhan kesenangan fisikal-material yang sifatnya temporal. Misalnya harta, kekayaan, pangkat, jabatan, popularitas, dan lain-lain.
Lalu, bagaimana dengan kondisi di era kini, jika melihat pola masyarakat dalam bermedia sosial? Di saat orang tengah berlomba-lomba menunjukkan eksistensi diri dengan membagikan momen pribadinya di media sosial dengan mengharapkan pujian dari orang lain. Jika seperti ini menunjukkan bahwa thumos (hasrat) masih mendominasi, sehingga diliputi ketidaksadaran yang berujung pada kecemasan karena ambisius dan merasa tidak puas.Â
Berbeda jika seseorang disetir oleh unsur logostikon yang senantiasa mengedepankan rasionalitas dan pengetahuan. Sehingga tidak tergoda dengan hasrat akan eksistensi, narsisme, dan popularitas yang menjadi penghalang meraih kebahagiaan (eudaimonia). Karena bagi Plato, akal dan pengetahuan ialah pondasi manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kebijaksanaan, yang bukan hanya berorientasi pada kesenangan sesaat yang mudah lenyap.
Kebahagiaan di sini artinya ketenangan jiwa yang diperoleh ketika seseorang mampu menyadari makna dan esensi dari setiap fenomena kehidupan. Menalar dan merenungkan setiap tindakan yang akan dilakukan. Tidak terganggu dan tergoda dengan obsesi kesenangan semu yang beraspek material dan fisikal. Benar-benar mampu mengontrol hasrat-hasrat irasional yang hanya akan membuat cemas dan gelisah.
Di tengah candu media sosial, di tengah ekstase komunikasi virtual, mengejar banyak view, like, comment, followers, menjadi godaan bagi setiap insan berakal. Pertanyaannya ialah, mampukah kita meredamnya dan mengendalikan diri dengan tetap berpijak pada rasionalitas dan pengetahuan? Ataukah justru kita yang akan dikalahkan oleh nafsu primitif dan hasrat irasional yang berujung pada rasa cemas, gelisah, depresi, dan bahkan dapat menyiksa diri sendiri?
(Athok Mahfud)
*) Artikel ini pernah dimuat di Harian Semarang
0 Comments