Ticker

6/recent/ticker-posts

Tradisi Masyarakat Arab Pra- Islam


MASYARAKAT  ARAB didominasi  oleh  satu kebiasaan dan tradisi. Apabila ada ciri-ciri daerah lingkungan yang dapat membentuk masyarakat Arab, maka ini tidak meniadakan ciri  kebersamaan   yang  menempa  bangsa  Arab  dengan  satu tempaan dan menjadikan mereka sebagai satu umat.

Manakala orang Arab berpindah dari satu kota ke kota lainnya, maka dia merasa bahwa dia berada di keluarganya sendiri. Kebiasaan, tradisi, nilai-nilai yang dominan dan sistem-sistem kemasyarakatan, seperti sistem pernikahan, nafkah, waris, wasiat, hibah, dan masalah mualamah ekonomi lainnya memberi ciri tersendiri sebagai pendekatan di seluruh penjuru tanah air Arab. Demikian pula halnya pada hari-hari raya dan upacara-upacara kemasyarakatan yang mempersatukan penduduk bangsa Arab. Itu tidak heran, karena yang menelusuri asal-usul kebanyakan kebiasaan  dan  tradisi  itu  tidak  mampu  mencapai  satu  sumber tempat keluarnya.

Apabila perasaan emosional  dan  sikap  bernalar  bangsa Arab betul-betul telah dipengaruhi oleh agama Islam, maka pola- pola perilaku yang dominan di masyarakat Arab tidak kurang pengaruhnya dari itu.Kenyataannya,   pengaruh   Islam   telah   membentang   ke dalam kehidupan sehari-hari orang Islam dalam berbagai situasi, baik situasi makan, berpakaian, minum, tidur, bangun tidur, dan bergerak. Islam betul-betul berambisi menuangkan perbuatan dan perkataan orang-orang Islam dalam pola-pola Islam.

Maka Islam mendorong mereka untuk mengikuti Rasulullah SAW, baik dalam perkataannya maupun dalam perbuatannya. Ini telah berpengaruh besar terhadap pembentukan kebiasaan dan tabiat yang mirip sama dalam ciri-ciri orang Islam meskipun keadaan dan kondisi sosial mereka berbeda. Ini berfungsi untuk memperkokoh kekerabatan jiwa dan pikir di antara mereka dan mempererat hubungan dan kaitan sosial.

Turunya al-Qur’an secara evolusi (tadrij)selama lebih kurang 23 Tahun memberikan kesan bahwa Al-Qur’an berdialog dan sekaligus merespon perilaku masyarakat Arab saat dakwah Islam disampaikan.

Secara garis besar Jazirah Arabia terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Daerah bagian tengah berupa padang pasir (shahra‘) yang sebagian besar penduduknya adalah suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan (nomadik), yaitu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. 

Sedangkan bagian pesisir penduduknya hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga (penduduk kota). Karena itu mereka sempat membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan. Adanya dua macam kondisigeografis yang berbeda ini pada akhirnya mengakibatkan terjadinya dualisme karakter penduduk, yakni antara kaum Badui dan penduduk kota.

Kerasnya situasi gurun pasir membuat masyarakat Arab sering menghadapi rasa putus asa dan ketakutan. Maka untuk meneguhkan hatinya, mereka mempercayai takhayyul yang dianggap dapat memberikan keteguhan, kekuatan, dan kemakmuran. Selain itu, ada juga kepercayaan yang bersumber dari cerita rekaan berupa legenda yang tertuang dalam syair-syair atau cerita mengenai kepercayaan dan peribadatan yang mereka percayai sebagai suatu agama. 

Agama menambah kemampuan manusia  untuk menghadapi kelemahan hidupnya. Agama dapat memberi dukungan psikologis waktu terjadi tragedi, kecemasan, dan krisis. Agama juga memberi kepastian dan arti bagi manusia, karena secara naturalistis tampaknya di dunia ini penuh dengan hal-hal yang probabilistis Kebiasaan mengembara membuat orang-orang Arab senang hidup bebas, tanpa aturan yang mengikat sehingga mereka menjunjung  tinggi nilai-nilai kebebasan. Pada musim paceklik dan musim panas, mereka terbiasa melakukan perampasan sebagai sarana hidup. 

Namun di balik watak dan prilaku keras mereka memiliki  jiwa seni yang sangat halus dalam bidang sastra, khususnya genre syair. Kepandaian dalam menggubah syair merupakan kebanggaan, dan setiap kabilah akan memposisikan pada tempat yang terhormat. Maka tidak heran kalau pada masa itu muncul para penyair ternama, semisal Umru’ al-Qais, al-Nabighah al-Dubyani, A’sha, Harith bin Hillizah al-Yashkari, Antarah al-Absi, Zuhayr bin Abi Sulma, Lubayd bin Rabi‘ah dan lainnya. Mereka mengekspresikan syairnya di pasar Ukkaz yang terletak di antara Ta’if dan Nakhlak. Syair-syair yang berkualitas tinggi kemudian digantung di sekitar Ka’bah dan dianggap sebagai hasil karya sasrta yang bermutu (muallaqat).

Meskipun Madinah memiliki peran sentral dalam evolusi eksternal misi kenabian Muhammad, namun komersial Mekkalah yang tampaknya paling mendominasi ungkapan- ungkapan dalam al-Qur’an. Kafilah-kafilah dagang yang biasanya pergi ke selatan di musim dingin, dan ke utara di musim panas dirujuk dalam al-Qur’an (106: 2). Term tijarah (perniagaan) disebutkan sebanyak 9 kali merupakan tema sentral yang tercermin dalam perbendaharaan kata yang digunakan dalam kitab suci tersebut. W. Montgomery Watt7  mengutip C. Torry, menyimpulkan bahwa istilah-istilah  perniagaan digunakan dalam kitab suci tersebut  untuk mengungkapkan butir-butir doktrin yang paling mendasar, bukan sekedar kiasan illustratif.

Ungkapan-ungkapan di dunia perniagaan memang menghiasi lembaran-lembaran al- Qur’an dan digunakan untuk mengungkapkan ajaran Islam yang asasi. Hisab, suatu istilah yang lazim digunakan untuk perhitungan untung-rugi dalam dunia perniagaan muncul di beberapa tempat dalam al-Qur’an sebagai salah satu nama hari kiamat (yawm al-hisab), ketika perhitungan terhadap segala perbuatan  manusia dilakukan dengan cepat (sari‘ al-hisab). Sementara kata hasib (pembuat perhitungan) dinisbatkan kepada Tuhan dalam kaitannya dengan perbuatan manusia. Setiap orang akan bertanggungjawab atas segala perbuatan  yang telah dilakukannya.

Reactions

Post a Comment

0 Comments