Ticker

6/recent/ticker-posts

Menyeimbangkan Ibadah, Melestarikan Budaya Prepegan di Penghujung Ramadan

ISTILAH PREPEGAN menjelang Hari Raya Idul Fitri tentu bukanlah hal yang asing bagi masyarakat Indonesia. Prepegan ini telah membudaya dan menjadi tradisi di masyarakat. Hal ini dapat dilihat sejak tiga hari menjelang lebaran. Masyarakat tumpah ruah di dalam pasar hingga membeludak di sepanjang jalan. Mereka terdiri dari pedagang dadakan serta masyarakat yang hendak membeli bahan-bahan pokok, pakaian, serta perabotan rumah tangga.

Masyarakat rela berjubel-jubel berjam-jam bahkan seharian di dalam pasar untuk mencari barang-barang yang akan dibelinya atau hanya sekedar melihat-lihat barang yang ditawarkan oleh para pedagang. Kondisi demikian merupakan fenomena yang unik dan menarik dalam setiap tahunnya. Tentu hal ini disambut sangat antusias oleh masyarakat dari berbagai kalangan usia untuk turut serta meramaikan suasana.

Suasana hiruk-pikuknya prepegan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adanya para pedagang dadakan. Para pedagang dadakan ini, kesehariannya bukanlah sepenuhnya orang-orang yang berberprofesi sebagai pedagang, melainkan berasal dari kalangan petani, buruh, bahkan ibu rumah tangga. Barang-barang yang mereka jajakan seperti ketupat, lepet, kue kering, kue basah, aneka jajanna lebaran, pakaian, pernak-pernok lebaran hingga bunga, dan wewangian dan bunga tabur untuk keperluan ziarah kubur.

Para pedagang ini memenuhi setiap sudut pasar dan membeludak di tempat parkir, hingga sepanjang jalan dan membuat kemacetan yang panjang. Selain itu naiknya jumlah pembeli di pasar turut menambah jumlah masyarakat yang berdesak-desakan hingga hendak melangkahkan kaki saja terasa sangat sulit karena saking banyaknya pedagang serta pembelinya.

Baca Juga: Ramadan dan Momentum Berbagi di Tengah Pandemi

Namun masyarakat tetap rela antri berjam-jam di dalam kondisi tersebut dengan dalih agar pada saat hari raya idul fitri tiba dapat mengenakan pakaian terbaik, makanan yang enak, serta dapat menyuguhi setiap tamu yang datang dengan sajian yang enak dan menarik. Pada hakikatnya bukanlah demikian, misalnya saja pakaian. Pakaian yang terbaik bukan berarti harus baru dan mewah, melaikan pakaian yang bersih, suci, sopan, dan dapat menutup aurat. Sehingga salah kaprah apabila masyarakat khususnya umat Islam mengartikan harus dengan yang baru dan dibela-belain mengutang pada tetangga hanya agar terlihat fashion. Tentunya hal tersebut adalah perilaku yang salah kaprah dan harus segera ditinggalkan, serta kembali kepada makna yang benar.

Prepegan bukanlah suatu hal yang buruk dan harus dihindari. Justru itu merupakan tradisi unik. Sehingga masyarakat Indonesia mampu merawat, melestarikan dan mengemasnya dengan apik, karena hanya di Indonesia saja yang memilikinya. Di Indonesiapun beragam di setiap daerah dalam menyebutkan nama prepegan tersebut.

Masyarakat mengenal istilah prepegan berawal dari penyebutan dari suku Jawa. Namun, walaupun istilah-istilah penyebutan tersebut berbeda-beda, namun eksistensi dari prepegan ini relatif sama yaitu kondisi yang rapai, tumpah ruah dipasar, dengan adanya transaksi jual beli antar masyarakat menjelang Hari Raya Idul Firtri.

Baca Juga: Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Kegiatan Beribadah

Biasanya tradisi prepegan ini terbagi menjadi dua bagian yaitu prepegan kecil dan prepegan besar. Prepegan kecil itu berlangsung selama dua hari yaitu tiga dan dua hari menjelang lebaran, sedangkan prepegan besar terjadi sehari sebelum lebaran.

Pada saat terjadi prepegan kecil masyarakat berburu kebutuhan bahan-bahan pokok ataupun barang pecah belah dan perabotan rumah tangga lainnya. Sedangkan pada saat terjadi prepegan besar masyarakat berburu pakaian untuk dikenakan pada saat lebaran. Sehingga prepegan inilah masyarakat mengeluarkan uang banyak, dan cenderung haus mata membeli barang-barang yang sebenarnnya tidak dibutuhkan. Namun, mengingat bahwa pada saat prepegan yang mana di hari esoknya sudah lebaran dan aktivitas pasar berhenti, maka para pedagangpun turut serta mengemas barang dagangannya dengan sangat apik disertai bumbu-bumbu penawaran manarik yang mengandung diskon tentunya agar dagangannya habis terjual.

Masyarakat yang tidak memiliki daftar list dari awal dan mudah untuk tergoda maka akan mengeluarkan cukup banyak uang untuk menyerbu barang-barang yang dianggapnya murah tersebut. mereka terjebak dalam pengaruh para pedagang. Bahkan perilaku buruk yang terjadi di masyarakat pada saat prepegan yaitu berani lebaran dengan serba serbi yang masih hutang atau memakai barang-barang yang masih belum dibayar tunai kepada pedagang.

Baca Juga: Beasiswa Djarum Plus 2021 Dibuka, Cek Syaratnya di Sini

Walaupun sama-sama ridho, namun hal ini telah menciderai makna dari penghujung raadhan dan idul fitri. Seharusnya di penghujung Ramadan ini digunakan untuk memperbanyak ibadah kepada Allah dan menyambung silaturahi serta menata hati agar istiqomah menjalankan kebaikan selama sebelas bulan kedepan. Namun, malah diisi dengan hiruk pikuk prepegan.

Prepegan bukanlah hal yang salah dan harus ditinggalnya, sebagaimana yang telah penulis singgung di awal. Namun, jangan samapi dengan antusia terhadap prepegan ini justru mengurangi waktu beribadah di penghujung romadhan sehingga menyia-nyiiakan keberkahan pahala yang telah Allah hamparkan.

Penulis berpikir bahwa prepegan itu harus tetap dijaga dan dilelastarikan oleh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Islam karena itu salah satu dari ragam budaya yang termasuk dari tradisi Indonesia. Prepegan dapat dikemas lebih menarik dan teratur dengan dibantu oleh kreatifitas pemuda-pemuda di setiap daerahnya.

Hal yang dapat dicoba yaitu mengkoordinasikan kepada atasan atau pengelola pasar untuk mengatur bagaimana menyambut tradisi prepegan sehingga dapat dialokasikan pedagang tetap, pedagang dadakan, serta barang-barang yang dibutuhkan hanya pada saat hari raya agar laku keras serta sama-sama menguntungkan. Kemudian, berkoordinasi dengan dinas kebersihan yang terkait agar setelah acara prepegan selesai kondisi pasar dapat kembali bersih dan terjamin kebersihannya. Jangan sampai menjelang Ramadan justru pasar terlihat menjadi tempat kotor dan kumuh.

Baca Juga: Krisis Pendidikan dan Ekonomi Keluarga di Masa Pandemi

Selanjutnya dalam rangka memerihkan acara prepegan sekaligus menjalin silaturahmi antar pemuda dan masyarakat, dalam menertipkan kondisi lalu lintas dapat berkolaborasi antar himpunan atau organisasai yang mewadahi para pemuda untuk bahu membahu mengatur lalu lintas. Misalkan Karang Taruna, Racana, Saka Bahayangkara, RISMA, dan wadah-wadah pemuda yang lainnya.

Para pemuda ini dapat berkoordinasi, menjalin kerukuran, dan persatuan. Selain mereka dapat berkomukasi dengan baik antar sesama, para pemuda ini dapat mengembangkan kreatifitasnya di lingkungan masyarakat. Misalkan apabila lebaran identik dengan pembuatan ketupat maka mereka dapat belajar dari warga sekitar sekaligus menggungahnya di media agar dapat dicontoh oleh para pemuda diluar sana. Bahkan dari video ini nanti dapat menjadi sumber rujukan bagi masyarakat yang akan membuat ketupat atau lepet namun belum mengetahui cara pembuatannya. 

Demikianlah beberapa yang dapat dilakukan melestrikan budaya prepegan di penghujung bulan ramdhan, namun tetap dapat menjalan ibadah-ibadah yang lainnya. Mengoptimalkan prepegan diwaktu siang hari dan setelahnya dapat diisi denga kegiatan ibadah bulan suci Ramadan untuk mendapatkan keberkahan dari Allah SWT.

Waullahu’Alam Bishowab

Penulis: Yulia Mayasari, Mahasiswi Pendidikan Agama Islam UIN Walisongo, Disciples 2019 Monash Intitute Semarang

Reactions

Post a Comment

0 Comments