Ticker

6/recent/ticker-posts

Pemikiran James Carey Tentang Ritual Komunikasi

Ilustrasi ritual komunikasi

DALAM bukunya berjudul Communication as Culture, James W Carey ingin menegaskan bahwa komunikasi bukanlah sekadar proses tranmisi informasi atau pertukaran pesan. Di sisi lain, terdapat hubungan antara kata "komunikasi" dan "komunitas". Carey memberikan definisi komunikasi secara lebih luas dengan memasukkan keterpaduan suatu bangsa yang merupakan budaya. Ia mempertanyakan tradisi Amerika yang hanya berfokus pada fungsi komunikasi massa sebagai alat kontrol sosial dan politik, dan mengajukan alasan untuk mengkaji isi komunikasi seperti makna dan simbol, bukan hanya motif atau tujuan yang mendasarinya. 

James W Carey berusaha merombak tujuan studi komunikasi, menggantikan pencarian hukum perilaku deterministik dengan misi yang lebih sederhana namun jauh lebih menantang. Yaitu untuk memperluas percakapan manusia dengan memahami apa yang dikatakan orang lain. Dalam buku tersebut, dia mengelaborasi dua pandangan atau model komunikasi yang berkembang pada saat itu, yaitu model ritual dan model transmisi. Dua konsepsi komunikasi alternatif tersebut telah hidup dalam budaya Amerika sejak memasuki abad kesembilan belas. 

Dalam pandangan transmisi, komunikasi diartikan proses transmisi atau pertukaran pesan-pesan atau sinyal-sinyal melalui suatu jarak tertentu untuk suatu tujuan kontrol terhadap pihak lain, dan kontrol terhadap penguasaan ruang atau jarak. Hal ini mencakup pergerakan informasi melintasi ruang angkasa, transmisi ide, pengiriman data, dan lain sebagainya. Dalam model ini, proses perpindahan pesan atau sinyal ditentukan atas upaya pengendalian orang lain berdasarkan tujuan, motivasi, dan kepentingan si pengirim pesan. 

Baca Juga: 7 Tradisi Teori Komunikasi Massa, Mulai dari Semiotika Hingga Retorika

Di sisi lain, terdapat konsepsi komunikasi yang berbeda atau yang biasa disebut model ritual komunikasi. Meski tidak begitu populer akan tetapi konsepsi komunikasi ritual sebenarnya telah ada jauh sebelum transmisional. Dalam konsepsi ritual, komunikasi lekat dengan kata “sharing” (saling berbagi), partisipasi, asosiasi, pengikut, dan kepemilikan akan keyakinan bersama. Definisi ini rupanya merupakan buah eksploitasi ide tradisional tentang identitas dan akar kebersamaan ke dalam konsep “commonnes”, lalu “communion” dan kemudian “community” dan akhirnya “communication”.

Dalam pandangan ritual ini, komunikasi tidak lagi ditujukan langsung pada penyebarluasan pesan melalui suatu ruang tertentu melainkan sebagai bentuk pemeliharaan masyarakat dalam suatu waktu, bukan suatu tindakan menanamkan informasi melainkan bentuk penghadiran suatu keyakinan bersama. Jika model transmisi komunikasi ialah sebagai penyebarluasan pesan melewati wilayah geografi tertentu untuk tujuan kontrol, maka komunikasi dalam konsepsi ritual dilihat sebagai bentuk seremoni yang menarik orang untuk bersama-sama menjadi pengikut dan menjadi bagian sebuah komunitas tertentu.

Konsepsi komunikasi ritual ini diwarnai gagasan dari tradisi keagamaan tertentu yang dalam praktiknya menekankan pentingnya sebuah seremonial, peran seorang pemuka dalam ritual atau pendoa. Model ritual komunikasi merupakan proyeksi cita-cita masyarakat yang terwujud dalam tarian, drama, arsitektur, kisah-kisah baru, untuk menciptakan suatu pemikiran artifisial dalam tataran simbolik yang fungsinya bukan untuk menyajikan informasi, melainkan menguatkan atau mengkonfirmasi, bukan dengan menggantikan sikap-sikap atau mengubah pikiran, melainkan menghadirkan suatu dasar atau landasan pemikiran tertentu, bukan pula untuk membentuk fungsi-fungsi, melainkan untuk menetapkan suatu proses sosial yang rapuh secara terus menerus.

Baca Juga: 4 Tradisi dan Perkembangan Teori Komunikasi Massa

Namun konsepsi komunikasi ritual pada kenyataannya tidaklah populer di kalangan ilmuan Amerika. Hal tersebut disebabkan konsepsi budaya tidak begitu mendapat perhatian bagi ilmuan Amerika. Kebudayaan dianggap sebagai sesuatu yang secara antropologis berbeda dan otomatis dilihat secara kategorial semata. Tentunya kondisi ini berbeda dengan ilmuan Eropa yang lebih menekankan pentingnya kebudayaan dan ritual komunikasi.

Dua konsepsi komunikasi ini, yaitu transmisi dan ritual juga akan membawa dua posisi dan sudut pandang berbeda. Jika melihat surat kabar dalam kacamata transmisional, maka media bisa dilihat sebagai saluran yang menyuntikkan informasi dan pengetahuan, terkadang isinya bersifat membelokkan fakta dan menyesatkan serta menyebar pada jarak yang luas. 

Namun ini akan berbeda ketika melihatnya dengan menggunakan perspektif ritual komunikasi. Pandangan ritual komunikasi sebaliknya justru akan memfokuskan persoalan yang berbeda. Misalnya, surat kabar tidak dilihat sebagai pengirim atau penggali informasi, tetapi lebih sebagai media  yang menyajikan kepada masyarakat suatu situasi di mana sebenarnya tidak ada sesuatu yang baru yang dipelajari melainkan potret realitas dengan cara pandang yang baru.

Baca Juga: Konsep Mediatisasi dalam Kajian Ilmu Komunikasi

Dalam pandangan ritual komunikasi, membaca dan menulis sebuah berita menjadi sebuah tindakan ritual. Dalam konteks ini, Surat kabar lalu tidak dimaknai sebagai media yang fungsi isi pesannya mempengaruhi atau sumber efek melainkan sebagai media yang secara dramatis menyajikan kenikmatan dengan cara menyajikan suatu yang menjadi akar realitas. Teks yang dibawakan surat kabar tidak jauh bedanya seperti sebuah ritual yang menghadirkan realitas yang memberi hidup ini segala macam bentuk, susunan, dan nada.

Dengan begitu, maka sebuah berita kemudian juga menjadi realitas historis. Menjadi suatu bentuk kebudayaan yang ditanamkan oleh sekelompok kelas tertentu dalam sebuah titik historis tertentu. Berita bukan lagi sebuah informasi, melainkan sebuah drama yang tidak lagi menggambarkan dunia, tetapi potret sebuah drama di mana di dalamnya beradu kekuatan dan adegan, hadir dalam sebuah rentang waktu sejarah, dan mengundang keterlibatan pembaca dalam melakukan interpretasi.

Setelah membaca buku James Carey tersebut, makna komunikasi tidaklah sesederhana diartikan sebagai proses pertukaran pesan, melainkan ada konsepsi lain tentang komunikasi. Yaitu komunikasi ritual yang sebenarnya secara praktis, sudah dilakukan dalam kehidupan manusia sejak lama. 

Komunikasi ritual digunakan untuk pemenuhan jati diri manusia sebagai individu, sebagai anggota komunitas sosial, dan sebagai salah satu unsur dari alam semesta. Di mana setiap individu berkomitmen penuh kepada tradisi keluarga, suku, bangsa, ideologi, atau agama. Contoh dari komunikasi ritual ini yaitu upacara adat, beribadah dan berdoa seperti salat, misa, upacara bendera, momen olah raga, dan sebagainya.

Baca Juga: Tantangan Jurnalis dalam Menghadapi Transformasi Teknologi Digital

Pemikiran James Carey tentang komunikasi ritual sebenarnya menjadi hal fundamental dalam diri manusia yang hidup secara berkelompok serta memiliki kultur, budaya, dan tatanan sosial tersendiri sesuai komunitasnya. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya kita sering melihat proses komunikasi ritual tersebut dipraktikkan masyarakat. Setiap komunita dan kelompok masyarakat memiliki cara tersendiri untuk berkomunikasi yang tujuannya bukan hanya sekadar bertukar gagasan dan pesan, namun lebih kepada penghayatan akan nilai-nilai penting dalam kehidupan. 

Jika kita kontekskan di Indonesia, tentu pemahaman model komunikasi ritual ini sangat relevan. Hal ini dikarenakan Indonesia ialah negara yang memiliki kekayaan bahasa, suku, etnis, budaya, dan kepercayaan maupun agama. Model komunikasi kultural ini dapat dilihat dalam tradisi masyarakat yang berkembang. Setiap kelompok masyarakat, pada satu wilayah dan waktu tertentu, memiliki suatu tradisi yang berkembang dan terus dijalankan secara turun-menurun. Komunikasi ritual yang tercermin dalam tradisi adat masyarakat juga menunjukkan identitas suatu kelompok tersebut. 

Sebagai contoh tradisi Sekaten di Kabupaten Demak, Jawa Tengah yang sudah berlangsung sejak masa Kerajaan Demak. Upacara ini bertujuan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad pada bulan Maulud, atau orang-orang biasanya menyebut dengan kata Maulid Nabi. Perayaan Maulid Nabi disebut Sekaten. 

Istilah Sekaten bersal dari kata syahadatain yang artinya dua kalimat syahadat. Dalam agama Islam, seorang mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah. Konon tradisi ini diperkenalkan oleh Raden Patah pada awal abad ke-16, di mana ribuan orang Jawa beralih agama Islam dengan mengucapkan syahadatain. Oleh karena itu penggunaan nama sekaten menjadi terkenal.

 (Athok Mahfud)

Reactions

Post a Comment

0 Comments