Ticker

6/recent/ticker-posts

Metodologi dan Corak Penafsiran Tafsir Fi Zhilalil Qur'an Karya Sayyid Qutb

SAYYID QUTB adalah salah satu ulama kontemporer yang sangat fokus terhadap penafsiran Al-Quran. Di dalam tafsirnya ia menggunakan metode pemikiran yang bercorak tahlili, yang artinya menafsirkan Al-Qur’an ayat demi ayat, surat demi surat, dari juz pertama hingga juz terakhir. 

Penafsiran dimulai dari surat Al-Fatihah sampai surat An-Nas. Sayyid Qutb menulis Tafsir Fi Zhilalil Quran dalam rentang waktu antara tahun 1952- 1962. Kitab tafsir ini merupakan sebuah kitab tafsir yang tidak memakai metode tafsir tradisional, yaitu metode yang selalu merujuk ke ulasan sebelumnya yang sudah diterima, dan merujuk ke otoritas lain yang mapan. Sebagai gantinya, ia mengemukakan tanggapan pribadi dan spontanitasnya terhadap ayat-ayat Al-Qur’an.  

Tafsir ini terbentuk dari perenungan dan pengalaman Sayyid Qutb yang memuat dan mempengaruhi kehidupan manusia. Dalam menerapkan metode penafsirannya Sayyid Qutb mempunyai pandangan universal dan komprehensif terhadap Al-Qur’an.

Baca Juga: Karakteristik Tafsir Pada Masa Tabi’in

Sayyid Qutb mulai mempelajari Al-Qur’an sejak kecil, sebuah kewajaran bagi seorang anak yang hidup pada lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Ibunya seorang perempuan yang memiliki andil besar pada lahirnya karya-karya besar Sayyid Qutb terutama Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an. Ia menjadi motivator dan sumber inspirasi terbesar bagi Qutb dalam berkarya. 

Term Dzilal yang berarti “naungan” sebagai judul utama tafsir Qutb, memiliki hubungan langsung dengan kehidupannya sebagai catatan mengenai riwayat hidup Sayyid Qutb. Sejak kecil ia telah menghafal Al-Qur’an, dan dengan kepakarannya dalam bidang sastra, ia mampu memahami Al-Qur’an secara baik dan benar. Selain itu segala kehidupannya selalu mengaju pada ajaran Al-Qur’an. Oleh karenanya, Qutb menganggap bahwa hidup dalam “naungan” Al-Qur’an merupakan suatu kenikmatan.

Metode penafsiran 

Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an karangan Sayyid Qutb terdiri atas delapan jilid. Masing-masing jilidnya diterbitkan oleh Dar Al-Syuruq Mesir dan mencapai ketebalan rata-rata 600 halaman. Apabila dicermati aspek-aspek metodologisnya, ditemukan bahwa karya ini menggunakan metode tahlili, dengan menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qur’an dari seluruh aspeknya secara runtut, sebagaimana yang tersusun dalam mushaf. 

Baca Juga: Tafsir Al- Misbah, Karya Terbesar Quraish Shihab

Dalam tafsirnya, diuraikan kolerasi ayat, serta menjelaskan hubungan maksud ayat-ayat tersebut satu sama lain. Begitu pula, diuraikan latar belakang turunnya ayat (sabab nuzul), dan dalil-dalil yang berasal dari Al-Qur’an, rasul, atau sahabat, atau para tabiin, yang disertai dengan pemikiran rasional (ra’yu). 

Kerangka metode tahlili yang digunakan Qutb terdiri atas dua tahap dalam menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur’an. Pertama, mengambil dari Al-Qur’an saja, sama sekali tidak ada peran bagi rujukan, referensi, dan sumber-sumber lain. Ini adalah tahap dasar, utama, dan langsung. 

Tahap kedua, sifatnya sekunder, serta penyempurnaan bagi tahap pertama yang dilakukan Qutb. Dengan metode yang kedua ini, sebagaimana dikatakan Adnan Zurzur yang dikutip oleh Al-Khalidi bahwa Qutb dalam menggunakan rujukan sekunder, tidak terpengaruh terlebih dahulu dengan satu warna pun di antara corak-corak tafsir dan takwil. Sebagaimana hal itu juga menunjukkan tekad ia untuk tidak keluar dari riwayat-riwayat yang sahih dalam tafsir al-ma’sur. 

Baca Juga: 4 Tahapan Menafsirkan Al-Qur'an Menurut Ibnu Katsir

Dalam upaya memperkaya metode penafsirannya, Sayyid Qutb selalu mengutip penafsiran ulama lainnya yang sejalan dengan alur pemikiranya. Adapun rujukan utama Sayyid Qutb dalam mengutip pendapat ulama adalah merujuk pada beberapa karya tafsir ulama yang diklaim sebagai karya tafsir bi al-ma’sur, kemudian merujuk juga pada karya tafsir bi al-ra’yi. Dari sini dapat dipahami bahwa metode penafsiran Qutb juga tidak terlepas dari penggunaan metode tafsir muqaran.

Menurut Qutb, ciri khas utama ungkapan Al-Qur’an ialah mengikuti metode tashwir (gambaran) berbagai makna pikiran dan kondisi kejiwaan, lalu menampilkannya ke dalam gambaran-gambaran yang dapat diindra. Juga menggunakan metode adegan alam, kejadian masa lalu, kisah yang diriwayatkan, tamsil yang dikisahkan, adegan hari kiamat, gambaran nikmat dan azab serta tipe-tipe manusia. Seakan-akan semuanya itu hadir secara nyata dan dapat dirasakan oleh imajinasi perasaan yang dipenuhi oleh gerakan yang terbayangkan.

Corak Penafsiran

Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an yang dikarang oleh Sayyid Qutb termasuk salah satu kitab tafsir yang mempunyai terobosan baru dalam melakukan penafsiran Al-Qur’an. Hal ini karena selain mengusung pemikiran kelompok yang berorientasi untuk kejayaan Islam, juga mempunyai metodologi tersendiri dalam menafsirkan Al-Qur’an. Termasuk melakukan pembaharuan dalam bidang penafsiran dan di satu sisi ia mengesampingkan pembahasan yang dirasa kurang begitu penting. Salah satu yang menonjol dari corak penafsirannya adalah mengetengahkan segi sastra untuk melakukan pendekatan dalam menafsirkan Al-Qur’an. 

Baca Juga: Abdullah Yusuf Ali, Ulama India Penulis Kitab Tafsir Bahasa Inggris

Dapat dikatakan bahwa Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an dapat digolongkan ke dalam tafsir al-Adabi al-Ijtima’i (satra, budaya, dan kemasyarakatan). Hal ini mengingat background ia yang merupakan seorang sastrawan hingga ia bisa merasakkan keindahan bahasa serta nilai-nilai yang dibawa Al-Qur’an yang memang kaya dengan gaya bahasa yang sangat tinggi.

Corak pemikiran Sayyid Qutb dipengaruhi oleh perkembangan pemikiran dalam kehidupannya. Ketika masih muda ia menjadi sastrawan. Kemudian keilmuannya bertambah luas, mulai dari baik pemikiran dan amal, aqidah dan perilaku serta wawasan dan jihad. Fase ini mulai dari sekembalinya dari Amerika sampai ia bersama-sama dengan sahabatnya dimasukkan ke dalam penjara pada penghujung tahun 1954. Di tahun ini ia berhasil menyelesaikan karyanya dengan judul Ma’rakatul Islam War Ra’simaiyah as-Salam al-Alami Wal Islam dan Fi Zhilal Al-Qur’an pada juz-juz pertama edisi pertama. 

Menurut Sayyid Qutb, Al-Qur’an merupakan acuan pertama dalam pengambilan hukum maupun mengatur pola hidup masyarakat karena telah dianggap jalan untuk menuju kepada Allah. Sehingga apabila manusia menginginkan kesejahteraan, kedamaian, dan keharmonisan dengan hukum alam dan fitrah di dunia, maka manusia harus kembali pada sistem yang digariskan oleh Allah dalam kitab suci Al-Qur’an.

(AM)
Reactions

Post a Comment

0 Comments