Ticker

6/recent/ticker-posts

Konsep Mediatisasi dalam Kajian Ilmu Komunikasi

Ilustrasi tentang mediatisasi 

DALAM ilmu komunikasi dan kajian media, mediatisasi didefinisikan sebagai proses di mana media massa memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat dalam berbagai sektor, mulai dari politik, pendidikan, agama, ekonomi, budaya, olahraga, dan sektor lainnya. Mediatisasi sering dipahami sebagai proses perubahan yang diawali oleh semakin terintegrasinya media massa ke sektor lain. Sehingga pemimpin politik, pembuat opini, organisasi bisnis, organisasi masyarakat sipil, dan pihak-pihak lain yang ingin menyebarkan pesannya ke khalayak luas harus menyesuaikan cara berkomunikasi mereka ke dalam bentuk yang sesuai dengan kebutuhan dan preferensi media massa. 

Media memiliki pengaruh yang besar terhadap opini publik, struktur dan proses komunikasi politik, pengambilan keputusan politik, dan proses demokrasi. Pengaruh ini bukanlah satu arah karena politisi juga mempengaruhi media melalui regulasi, negosiasi, akses selektif terhadap informasi, dan lain-lain. 

Konsep mediatisasi tidak dipandang sebagai teori yang terisolasi, melainkan sebagai kerangka kerja yang memiliki potensi untuk mengintegrasikan serangkaian teori yang berbeda dan menghubungkan proses dan fenomena tingkat mikro ke tingkat meso dan makro, sehingga berkontribusi pada pemahaman yang lebih luas tentang mediatisasi. mediatisasi. Media. Peran media dalam transformasi masyarakat modern. 

Proses mediatisasi dibentuk oleh perkembangan teknologi mulai dari surat kabar hingga radio, televisi, Internet, dan media sosial interaktif. Dampak penting lainnya adalah perubahan dalam organisasi media dan kondisi ekonomi, termasuk semakin pentingnya media independen yang berorientasi pasar dan menurunnya pengaruh media negara, publik, dan partisan. Meningkatnya pengaruh kekuatan pasar ekonomi terutama diwujudkan dalam tren-tren seperti tabloidisasi dan hal-hal sepele, sementara berita dan pemberitaan politik didominasi oleh slogan-slogan, cuplikan-cuplikan absurd, liputan pacuan kuda, skandal selebriti, populisme, dan sering kali direduksi menjadi infotainment. 


Konsep mediatisasi masih dalam pengembangan dan belum ada definisi istilah yang disepakati secara umum. Dalam sejarah dan perkembangan konsep mediatisasi, para ahli teori telah membagi tiga aliran atau pandangan tentang teori mediatisasi. Pertama, pandangan institusionalis yang dipelopori oleh David Altheide dan Robert Snow yang telah menciptakan istilah logika media pada tahun 1979. Dalam hal ini, logika media mengacu pada bentuk komunikasi dan proses yang melalui proses itu media mengirimkan dan mengkomunikasikan informasi. Logika media membentuk dana pengetahuan yang dihasilkan dan diedarkan di masyarakat.

Altheide membahas peran bentuk komunikasi dalam memperkenalkan, mendefinisikan, memilih, mengatur, dan menyajikan pengalaman. Teori utamanya adalah bahwa perilaku sosial lebih dipengaruhi oleh pengetahuan dibandingkan kekayaan atau kekuasaan. Akibatnya kekuasaan akan dipengaruhi oleh teknologi komunikasi. Misalnya, mesin cetak Gutenberg memungkinkan Alkitab didistribusikan secara luas, sehingga mengancam dominasi Gereja Katolik.

Dalam pandangan ini, dia menekankan bahwa tatanan sosial dikomunikasikan. Jika komunikasi ini dilebih-lebihkan atau didramatisasi agar sesuai dengan logika media, maka akan timbul dampak negatif. Media dapat menciptakan kepanikan moral dengan membesar-besarkan atau salah mengartikan isu-isu sosial. Contoh dokumennya adalah kepanikan media seputar kasus anak hilang pada tahun 1980an. Media memberikan kesan bahwa banyak anak yang diculik oleh penjahat, namun kenyataannya sebagian besar anak yang hilang adalah anak yang melarikan diri atau terlibat sengketa hak asuh.

Kecenderungan media terhadap drama emosional dan horor dapat mengarah pada jurnalisme gonzo dan penyimpangan keadilan . Altheide menggambarkan "keadilan gonzo" sebagai sebuah proses di mana media menjadi pemain aktif dalam penganiayaan terhadap orang-orang yang dianggap melakukan kesalahan, dimana penghinaan publik menggantikan persidangan di pengadilan tanpa mempedulikan proses hukum dan kebebasan sipil . Jurnalisme Gonzo dapat menimbulkan konsekuensi yang parah bagi demokrasi dan hubungan internasional. Misalnya konflik internasional ditampilkan dengan mendramatisasi kejahatan kepala negara asing seperti Muammar Gaddafi, Manuel Noriega, dan Saddam Hussein.


Kemudian konsep mediatisasi yang kedua yaitu sosio-konstruktivis. Teori mediatisasi aliran sosial-konstruktivis ini melibatkan diskusi pada tingkat abstraksi yang tinggi untuk menyertakan kompleksitas interaksi antara media massa dan bidang masyarakat lainnya. Para ahli teori tidak menyangkal relevansi penelitian empiris mengenai hubungan sebab akibat, namun mereka memperingatkan terhadap pemahaman linier tentang proses dan perubahan. 

Dalam aliran ini, para pakar ingin menghindari posisi ekstrim determinisme teknologi atau determinisme sosial. Pendekatan mereka bukanlah pendekatan satu sisi terhadap kausalitas, namun pemahaman holistik tentang berbagai kekuatan sosial yang saling bersinggungan di tempat kerja, namun memungkinkan adanya perspektif tertentu dan penekanan pada peran masyarakat. media dalam proses ini. Konsep logika media yang sebelumnya dibahas dikritik dengan argumen bahwa tidak ada satu logika media tetapi banyak logika media tergantung bagaimana konteksnya.

Andreas Hepp ahli teori terkemuka tidak melihat mediatisasi sebagai teori efek media, namun sebagai konsep yang mendorong kepekaan terhadap transformasi mendasar yang dialami dalam konteks lingkungan media saat ini. Hal ini memberikan panorama penyelidikan meta-proses keterkaitan antara perubahan komunikatif media dan perubahan sosio-kultural. 

Transformasi-transformasi ini secara khusus dapat dilihat dalam tiga hal. Mulai dari kedalaman historis dari proses transformasi yang berhubungan dengan media, keragaman transformasi yang berhubungan dengan media di berbagai wilayah masyarakat, dan hubungan antara transformasi yang berhubungan dengan media dengan proses modernisasi lebih lanjut. 


Andreas Hepp sengaja menghindari definisi yang tepat tentang mediatisasi dengan menggunakan metafora seperti kekutan pembentuk dan panorama. Hal ini karena dia berpendapat bahwa definisi yang tepat dapat membatasi kompleksitas interelasi yang mana penting untuk mempertimbangkan domain material dan simbolik. Namun kaum materialis berpendapat bahwa konsep yang didefinisikan secara longgar seperti itu mungkin akan dengan mudah menjadi sebuah keyakinan dan bukan sebuah teori yang tepat sehingga tidak dapat diuji. 

Selanjutnya proses perubahan media dibarengi dengan perubahan teknologi. Munculnya media digital telah membawa kita memasuki tahap mediatisasi baru yang bisa disebut mediatisasi mendalam. Mediatisasi mendalam adalah tahap lanjutan dari proses di mana semua elemen dunia sosial kita sangat terkait dengan media digital dan infrastruktur yang mendasarinya, dan di mana perusahaan IT besar memainkan peran yang lebih besar.

Konsep mediatisasi yang ketiga yaitu materialis. Aliran mediatisasi aliran materialis ini sedang mempelajari bagaimana masyarakat menjadi semakin bergantung pada media dan logika mereka. Penelitian ini menggabungkan hasil dari berbagai bidang ilmu pengetahuan untuk menggambarkan bagaimana perubahan di media dan perubahan di masyarakat saling terkait. Secara khusus, mereka berfokus pada bagaimana proses politik di negara-negara demokrasi barat berubah melalui mediatisasi. 


Adapun mediatisasi politik menurut menurut profesor komunikasi politik asal Swedia Jesper Stromback dan peneliti media asal Swiss, Frank Esser menyebutkan empat dimensi berbeda dalam mediatisasi politik. Dimensi pertama yakni mengacu pada sejauh mana media merupakan sumber informasi paling penting tentang politik dan masyarakat. Kedua mengacu pada sejauh mana media menjadi independen dari institusi politik dan sosial lainnya. 

Adapun dimensi ketiga mengarah pada sejauh mana konten media dan reportase politik serta peristiwa terkini dipandu oleh logika media dan bukan logika politik. Dimensi ini berkaitan dengan sejauh mana kebutuhan dan standar kelayakan berita dari media itu sendiri, dibandingkan kebutuhan aktor atau institusi politik yang menentukan apa yang diliput media dan bagaimana mereka meliputnya. Dimensi keempat menekankan pada sejauh mana institusi, organisasi, dan aktor politik dipandu oleh logika media atau logika politik.

Keempat kerangka dimensi ini memungkinkan memecah proses mediatisasi politik yang sangat kompleks ke dalam dimensi-dimensi tersendiri yang dapat dipelajari secara empiris. Relasi keempat dimensi tersebut dapat digambarkan bahwa jika media massa menyediakan sumber informasi yang paling penting dan media relatif independen, maka media akan mampu membentuk kontennya sesuai dengan kebutuhannya sendiri untuk mengoptimalkan jumlah pembaca dan pemirsa, yaitu logika media, sementara politisi harus menyesuaikan komunikasi mereka agar sesuai dengan logika media. Media tidak pernah sepenuhnya independen, namun akan tunduk pada peraturan politik dan bergantung pada faktor ekonomi dan sumber berita.

Konsep sentral logika media mengandung tiga komponen, meliputi profesionalisme, komersialisme, dan teknologi. Profesionalisme media mengarah pada norma dan nilai profesional yang memandu jurnalis, seperti independensi dan kelayakan berita. Komersialisme mengacu pada hasil persaingan ekonomi antara media berita komersial. Kriteria komersial dapat diringkas sebagai campuran konten paling murah yang melindungi kepentingan sponsor dan investor sekaligus mengumpulkan audiens terbesar yang akan dibayar oleh pengiklan untuk dijangkau. 

Sementara teknologi media berlandaskan pada persyaratan dan kemungkinan spesifik yang merupakan karakteristik dari masing-masing teknologi media yang berbeda, termasuk surat kabar dengan penekanan pada media cetak, radio dengan penekanan pada audio, televisi dengan penekanan pada visual, dan media digital dengan penekanan pada interaktivitas dan kesegeraan. 


Dalam konteksnya, mediatisasi memainkan peran utama dalam perubahan sosial yang dapat didefinisikan melalui empat kecenderungan, yaitu perluasan, substitusi, peleburan, dan akomodasi. Perluasan mengacu pada bagaimana teknologi komunikasi memperluas batas-batas komunikasi manusia dalam hal ruang, waktu, dan ekspresi. Substitusi mengacu pada bagaimana konsumsi media menggantikan aktivitas lain dengan memberikan alternatif yang menarik. 

Penggabungan mengacu pada bagaimana penggunaan media terjalin dalam kehidupan sehari-hari sehingga batasan antara aktivitas yang dimediasi dan non-media serta antara definisi realitas yang dimediasi dan sosial menjadi kabur. Akomodasi mengarah pada bagaimana aktor dan organisasi dari semua sektor masyarakat, termasuk bisnis, politik, hiburan, olahraga, dan lain-lain, menyesuaikan aktivitas dan cara operasi mereka agar sesuai dengan sistem media.

Dalam hal ini, terdapat sebuah diskusi yang hangat tentang peran mediatisasi dalam masyarakat. Ada yang berargumen bahwa saat ini kita hidup dalam masyarakat yang termediasi di mana seluruh lapisan masyarakat sangat dipengaruhi oleh media massa dan media terlibat dalam meningkatnya populisme politik. Sementara ada pula yang memperingatkan agar tidak menjadikan mediatisasi sebagai proses meta atau proses yang lebih tinggi, yakni perubahan sosial. Media tidak boleh dilihat sebagai agen perubahan yang kuat karena jarang sekali kita melihat konsekuensi dari tindakan yang disengaja oleh media. Konsekuensi sosial dari mediasi lebih sering dilihat sebagai konsekuensi yang tidak diinginkan dari struktur media.

(Athok Mahfud)

(Athok Mahfud)
Reactions

Post a Comment

0 Comments