Ticker

6/recent/ticker-posts

Bocah Yatim Suci di Pedalaman Badui

Gambar Ilustrarsi: Istimewa

SEORANG pemimpin besar, seorang yang memiliki pengaruh kuat dalam komunitas sosial, seorang yang secara radikal mampu mengubah sistem dan tatanan kehidupan masyarakat, pada awal-awal masa hidupnya selalu digelisahkan oleh dua hal; keterasingan dan kerinduan akan suatu kemurnian. 

Setidaknya momen itulah yang dialami oleh Muhammad sebelum ia terpilih untuk menjalankan peran dan tanggung jawab besar dalam hidupnya. Di umur lima tahun, tidak ada yang tahu bahwa bocah yatim putra Abdullah itu kelak akan menjadi manusia pilihan, menjadi seorang rasul (utusan Tuhan). 

Pada awalnya memang, karena tidak memiliki ayah, keberadaan Muhammad di kalangan keluarga Quraisy, salah satu kabilah terbesar di Mekkah pada saat itu, tidaklah berarti apa-apa. Tidak ada yang bisa diandalkan dan diharapkan dari seorang anak yang lahir dan dibesarkan tanpa harta warisan ayahnya. 

Baca Juga: Kebudayaan Bangsa Arab Sebelum Datangnya Islam

Namun kendati demikian, pada umur yang masih belia, ia tampak menonjol dan memiliki perbedaan dengan laki-laki Mekkah seusianya. Faktor keadaan keluarga dan status sebagai yatim barangkali menempa dirinya untuk tidak bermanja-manjaan. Namun di sisi lain, di balik kemandirian, keberanian, kerja keras, dan vitalitasnya, ada nilai-nilai budaya luar Mekkah yang membentuk kepribadian dan karakternya.

Tentu kita akan segera menebak --sebagaimana kita tahu berdasarkan cerita guru-guru ngaji pada masa kanak-kanak dulu-- bahwa Muhammad pada waktu bayi dibesarkan di lingkungan pedalaman Arab, suku Badui. Hal ini sebagaimana sudah menjadi semacam tradisi setempat bahwa bayi yang baru lahir akan disusukan kepada ibu inang hingga masa penyapihan. 

Berdasarkan keyakinan masyarakat, mereka percaya bahwa ada semacam vitalitas yang terkandung dalam air susu inang Badui yang jauh melampaui aspek fisik semata. Dan bayi Muhammad jatuh ke tangan seorang perempuan bernama Halimah Sadiyah, yang pada waktu itu menjadi satu-satunya perempuan yang belum mendapatkan bayi dari Mekkah untuk diasuh.

Baca Juga: Muhammad Sebagai Ahli Organisasi dan Straregi

Di sebuah kampung bernama Bani Saad yang letaknya kurang lebih 160 kilometer dari Mekkah, di bawah asuhan Halimah Sa'diyah inilah Muhammad ditempa. Daerah stepa di atas gurun dengan hamparan padang pasir sejauh mata memandang itu menjadi tempat baginya untuk belajar mengenal kehidupan. 

Muhammad ialah seorang pembelajar yang baik. Hidup di daerah gurun mendesaknya harus mampu menyesuaikan diri dan cepat beradaptasi dengan iklim dan kondisi lingkungan alam. Termasuk menentukan waktu yang tepat untuk berpindah dari kegiatan di musim dingin ke musim panas, menemukan air di tempat yang kering, mendirikan tenda hitam panjang dari bulu unta untuk mendapatkan keteduhan di musim panas dan menciptakan kehangatan di musim dingin. 

Anak-anak di pedalaman Badui memang sudah terbiasa melakukan pekerjaan apa saja yang bisa dilakukan. Dan ketika Muhammad sudah bisa berjalan, ia sudah diajarkan bagaimana caranya menggembalakan kambing. Di sana Muhammad terus belajar dan menemukan pengalaman baru, sebagai bekal yang akan ia bawa dalam hidupnya di hari-hari mendatang. 

Baca Juga: Muhammad Sebagai Pedagang dan Utusan

Di sisi lain, tetesan air susu Halimah mengalirkan kemurniaan bangsa Arab yang dimaksudkan agar nilai-nilai padang pasir asli dapat ternanam dan melekat dalam dirinya. Nilai-nilai inti budaya Badui seperti kehormatan, kebanggaan, kesetiaan, kemandirian, keberanian menantang hidup yang belum dikeruhi oleh tuntunan kebutuhan akan perdagangan seperti yang dialami masyarakat Mekkah. 

Lima tahun hidup di lingkungan Badui, agaknya cukup membentuk pribadi dan karakter Muhammad. Nilai-nilai Badui yang memendam kemurnian bangsa Arab sudah sepenuhnya tercerap dalam dirinya. Namun suatu saat nanti ia akan menyadari bahwa perangkat kehidupan yang ia dapatkan dari sana akan dibenturkan dengan kondisi masyarakat di Mekkah, tanah kelahirannya yang sudah menjadi kota metropolitan.  

Hingga pada waktunya pun akan tiba, saat di mana Muhammad harus kembali ke Mekkah. Sudah waktunya Halimah menyerahkan bayi itu ke pangkuan ibu aslinya, Aminah. Dan di sana ia akan segera mendapatkan tantangan baru di mana kehidupan masyarakat amat berbeda dengan masa-masa singkatnya di Badui. 

Baca Juga: Aisyah, Perempuan Cerdas yang Dicintai Rasulullah

Lesley Hazleton menggambarkan momen kepulangan Muhammad dengan cukup dramatik di dalam buku The First Muslim; The Story of Muhammad. Ia menulis dengan menarasikan keadaan sekitar. "Menuju Mekkah dengan menunggangi keledai yang kelelahan, tak diragukan lagi dia merupakan seorang anak desa yang pergi ke kota besar, diliputi sensasi yang meluap-luap, oleh bau-bauan, kebisingan, hiruk-pikuk, warna-warni, kerumunan orang, pakaian mereka yang bagus, kulit mereka yang lembut," tulis Master Psikologi Hebrew University of Jerusalem itu.

Hazleton, mantan jurnalis majalah Time dan New York Times itu melanjutkan bahwa Muhammad bakal tidur di dalam dinding-dinding batu yang keras, bukan lagi di tengah kehangatan dan kelembutan tenda bulu unta. Ia akan sendirian di atas kasur jerami dengan suasana yang asing. Dan tentunya akan merasa terkungkung dengan dinding-dinding batu yang membatasi pemandangan mata.  

Sejak itu pula, padang stepa dengan hamparan gurun luas itu terputus. Bintang-bintang yang biasa ia lihat begitu dekat tiba-tiba menjauh, digantikan oleh asap pengap dari tungku masak. Muhammad menjadi pria kesepian di tengah orang yang berdesak-desakan. "Di antara orang-orang yang seharusnya menjadi sukunya sendiri, dia mendapati dirinya menjadi orang asing," tulisnya seolah membaca psikologi Muhammad pada waktu itu. 

Dan di Mekkah inilah, di lingkungan Quraisy, suku yang sangat dibangga-banggakan keluarganya, suatu ketika Muhamamad mengalami dua momen sekaligus; keterasingan dan kerinduan akan suatu kemurnian. Di mana kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan kebudayaan yang ia dapatkan semasa di Badui begitu berbeda jauh dengan kondisi dinamika masyarakat Mekkah yang ditemuinya. 

Baca Juga: Kebiasaan Masyarakat Arab Jahiliyah

Masih dalam buku yang diterbitkan pada 2013 itu, yang mencoba menawarkan pembacaan baru terhadap sang nabi melalui perspektif sejarah, politik, dan psikologi, Hazleton menceritakan bahwa suatu hari ketika sudah menginjak usia dewasa dan matang secara pemikiran, Muhammad merasa "terasing" di tanahnya sendiri dan bersama itu pula ia merindukan sebuah "kemurnian" sebagaimana kehidupan di pedalaman Badui. 

Terlepas dari ilham maupun wahyu dari Tuhan, momen itulah yang kelak membuatnya berpikir bahwa revolusi harus segera dilakukan sebelum masyarakat terlampau jauh mengalami pergeseran. Bahwa ia harus segera bertindak mengambil langkah dan tanggung jawab sebagai pemimpin untuk membebaskan bangsa tersebut dari cara berpikir dan pola hidup "jahiliyah". 

Dan kemajuan dunia yang kita saksikan dan agung-agungkan hari ini, ialah jawaban dan saksi dari perjuangan besar Muhammad, seorang manusia pilihan yang karakter dan kepribadiannya dibentuk sejak masa kanak-kanak di pedalaman Arab Badui. 

Mahfud

Reactions

Post a Comment

0 Comments