Ticker

6/recent/ticker-posts

Aisyah, Perempuan Cerdas yang Dicintai Rasulullah


MUHAMMAD merasa sangat kehilangan dengan meninggalnya Khadijah. Sementara seorang teman dekat menyarankannya untuk menikah lagi. Dia mula-mula menikahi dua wanita, seorang janda bernama Saudah, dan puteri muda salah seorang sahabat dekatnya, Aisyah. Di kemudian hari Muhammad menikahi wanita-wanita lain, tetapi dalam banyak hal, Aisyah adalah yang terpenting di antara istri-istrinya setelah Khadijah.

Aisyah bukan hanya istri yang paling muda, tapi juga yang paling cantik di antara istri-istri nabi. Ayahnya Abu Bakar, salah seorang Muslim paling awal dan terkemuka, dan dia menjadi Khalifah atau penerus pertama Muhammad setelah wafatnya. Aisyah baru berumur sembilan tahun ketika dia menikah dengan Muhammad. 

Aisyah sangat cerdas, sekaligus punya daya ingat yang luar biasa. Dia menghafal lebih dari sekedar teks Al-Quran. Pengetahuannya juga melebihi sebagian besar muslim lain tentang bagaimana dan kapan serta mengapa Al-Qur’an diwahyukan. Dia menyaksikan dan mengingatkan orang lain tentang detail-detail perilaku Muhammad, dan urusan rumah tangga dari terkecil sampai tindakan tindakan besar yang membentuk masyarakat Islam. 

Aisyah memiliki lebih dari sekedar pikiran yang tangkas dan ingatan yang akurat. Dia juga tajam lidahnya dan tidak takut menyuarakan kebenaran tanpa keraguan. Aisyah menyukai gelar ummahatul mukminin, karena gelar ini dberikan kepada semua istri Nabi. Di dalam gelar tersebut melekat kewajiban dan harapan tertentu. Yaitu tidak mengerjakan perbuatan yang keji, taat kepada Allah dan Rasul serta mengerjakan amal saleh. Tunduk dalam berbicara dan berkata baik, selalu menjaga aurat dan kehormatannya.

Aisyah pernah diminta untuk melukiskan Nabi. “Dia adalah Al-Qur’an yang berjalan, yang berarti bahwa perilakunya adalah Al-Quran yang diterjemahkan ke dalam tindakan.” Dia melakukan apa saja yang dapat ia lakukan untuk melestarikan Al-Qur’an tertulis dan Al-Qur,an yang berjalan, dengan menghafal ayat-ayat dan memahaminya. Pada waktu yang sama dia menggetahui dan mewujudkan Sunnah. Sebagian besar karena teladan Aisyahlah sehingga hadits, tradisi atau laporan tentang Nabi, menjadi terjalin dengan Al-Qur’an.

Akan tetapi status unik Muhammad juga memberikan beban khusus pada Aisyah dan istri-istri lainnya. Selama masa hidupnya para sahabat dan kaum Muslim lain diharapkan berperilaku denggan hormat dan sopan terhadap mereka. Karena menjadi sasaran orang-orang kafir dan seringg diganggu oleh mereka, istri-istri Nabi menggunakan cadar sebagai sarana perlindungan. Mereka juga dilarang menikah dengan laki-laki lain setelah wafatnya Nabi.

Aisyah menjaga kemurniannya, tetapi denggan penuh risiko karena tuntutan yang dibebanan kepadanya sebagai istri termuda Nabi. Selama perkawinannya dengan Nabi terjadi Perang Badar, Uhud, dan Parit. Ini adalah tiga perang besar melawan orang Quraisy, suku utama Makkah yang menentang nabi dan menggeser perimbangan kekuatan dari tangan Quraisy ke tangan kaum muslim. 

Meskipun Aisyah masih sangat muda, ia ikut dalam ketiga perang itu, dengan membawakan air bagi para prajurit Muslim dan membantu merawat tentara yang terluka. Dia menyaksikan kehidupan dan dia menyaksikan kematian di jalan Allah dan juga di jalan musuh musuh-Nya. Dia memahami keduanya, namun dia mendukung kehidupan. 

Seringkali ketika nabi hendak berangkat perang, dia melakukan undian untuk membawa salah satu istrinya. Pada 626 ketika dia pergi berperang melawan Bani Mustaliq, undian jatuh ke tangan Aisyah. Dia berusia tiga belas tahun. Dia menyertai pasukan Muslim yang memenangi pertempuran, tetapi dalam perjalanan pulang ke Madinah, setelah sejenak beristirahat, Nabi tanpa diduga memerintahkan pasukan untuk melanjutkan perjalanan pulang. 

Aisyah telah keluar dari sekedup (tandu) dan pergi ke balik gundukan pasir untuk buang hajat. Setelah menyadari bahwa kalungnya hilang, dia mencari-cari kalung itu di pasir. Dia kehilangan jejak waktu, dan ketika dia akhimya kembali ke kemah, hanya jejak-jejaknya yang tertinggal. Begitu ringan tubuhnya sehingga orang-orang yang mengusung sekedupnya tidak tahu apakah dia masih di dalam atau tidak, dan mereka pun berangkat tanpa dia. 

Aisyah duduk, menunggu dan berharap ada seseorang yang menyadari ketidakhadirannya dan datang untuk menjemput. Tidak ada yang datang, tetapi beruntunglah dia karena seorang pemuda Muslim yang tertinggal pasukan sedang berusaha menyusul mereka ketika dia tiba di tempat Aisyah tertinggal. Pemuda itu mendapati Aisyah sedang berbaring tidur. 

Setelah membangunkannya, dia menaikkan Aisyah ke punggung untanya. Kemudian, sambil menuntun unta dengan tangannya, dia berangkat dengan jalan kaki untuk menyusul pasukan, dengan harapan mereka akan segera terkejar. Mereka berhasil menyusul pasukan, tetapi baru keesokan harinya, ketika pasukan berhenti untuk beristirahat di tengah hari yang terik. 

Seperti menemukan kesempatan, sebagian orang yang sinis melihat dua orang itu datang berdua, tanpa pendamping. Gosip dan kebohongan keji mulai tersebar. Akhirnya cerita itu sampai pada Nabi. Ketika itu semua anggota masyarakat membicarakan yang mungkin atau tidak mungkin terjadi di antara kedua Muslim muda itu selagi mereka pulang dari perang melawan Bani Musthaliq.

Sebagai akibat dari gosip itu, Nabi dan rumah tangganya mengalami ketegangan. Tidak ada wahyu yang turun untuk menjelaskan masalah itu. Nabi, mungkin atas inisiatif sepupunya Ali, menanyai Barirah, pelayan Aisyah. Apakah dia pernah melihat sesuatu yang salah dalam perilaku Aisyah. “Demi Dia yang mengirim engkau dengan kebenaran,” jawab Barirah. “Aku belum pernah bmelihat sesuatu yang salah dengan dia, kecuali bahwa dia masih gadis muda dan kadang-kadang dia tertidur saat membuat adonan dan seekor kambing datang memakannya.” 

Sebagian sahabat yang hadir mencela Barirah. Mereka mendesak dia untuk menceritakan semua yang dia ketahui, "Alhamdulillah!" jawabannya, "Aku mengenal dia seperti tukang permata mengenal sekeping emas murni".

Nabi kemudian berusaha membela kehormatan Aisyah di muka umum. Setelah memanggil semua orang ke masjid, dia membela nama baik istrinya. Akan tetapi, para pemfitnah, mereka yang memulai desas-desus itu, juga datang ke masjid dan memancing perdebatan tentang apa yang dimaksud Nabi. Mereka nyaris baku hantam akibat masalah itu. 

Akhimya, Nabi naik ke mimbar dan berpidato di hadapan kaum mukmin yang berkumpul dengan pertanyaan keras. “Bagaimana mungkin orang berani mencurigai rumah tangga Nabi Allah?” Dia tidak menyebutkan nama para penuduh, tetapi meminta tiap suku bertanggung jawab atas perilaku anggotanya. Orang yang paling gencar menyerang kehormatan Aisyah diserahkan kepada sukunya untuk dihukum oleh mereka. 

Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu. Tuduhan  terhadap dusta ini muncul dalam Surat Nur. Ada himne liris pada cahaya dalam ayat 11 hingga 18. Tetapi cahaya di sini adalah cahaya moral; ia adalah cahaya putih menyilaukan yang ditunjukkan kepada para pemfitnah. Cahaya itu mendukung kehormatan Aisyah, tetapi juga memberdayakan kaum wanita maupun laki-laki untuk bertanggung jawab atas nasib mereka: kebohongan harus disebut kebohongan ketika ia merupakan ketidakbenaran nyata yang merusak nama baik wanita lain. 

Yang terpenting, desas-desus bohong menggambarkan prinsip penting yang dipertaruhkan dalam menafsirkan Al-Quran. Tidak semua tanda (ayat) mempakan ajaran umum. Sebagian memiliki konteks historis spesifik, yang menjelaskan mengapa ayat-ayat tertentu diwahyukan. Bahkan ketika ayat itu menjelaskan standar moral yang berlaku pada umat Islam di semua zaman dan semua tempat. Setelah 626 M, tidak seorang pun dapat mengabaikan fakta bahwa kehormatan dan nama baik Aisyah dilindungi olch keputusan Ilahi. Sejak itu semua orang makin sadar akan maqam dia yang tinggi di sisi Tuhan. 

Aisyah ialah orang yang jujur, bahkan ketika dia salah. Dalam hadits lain yang diriwayatkan, dia menumpahkan kemarahannya pada istri-istri lain, kecemburuan mereka dan persaingan mereka untuk merebut kasih sayang scorang suami yang kepedulian utamanya ialah menjadi Nabi Tuhan yang setia dan guru bagi umatnya. 

Aisyah disebut-sebut telah meriwayatkan lebih dari 2.000 hadits Nabi. Ini menampakan prestasi luar biasa yang hanya bisa ditandingi oleh tiga sahabat lain, tak satu pun dari mereka begitu dekat, atau begitu cemburu pada kasih sayangnya, seperti Aisyah. Selama hak-hak wanita tetap penting untuk mendefinisikan etos Islam, Aisyah adalah seorang pionir yang teladannya tetap menjadi inspirasi bagi wanita-wanita Muslim, dan mengundang rasa hormat dari laki-laki Muslim.

(AM)

Reactions

Post a Comment

0 Comments