Ticker

6/recent/ticker-posts

Isra Mikraj dan Ruang Publik Digital

PADA suatu malam sunyi, di tanggal 27 Rajab, setahun sebelum hijrah, Nabi Muhammad menempuh perjalanan suci yang belum pernah dilakukan manusia lainnya. Bermula ketika beliau mengunjungi Ka’bah, hingga mengantuk dan terlelap, datanglah Jibril dengan mengendarai Buraq, seekor kuda putih bersayap dari surga. Jibril membangunkan sang rasul dan mengajaknya pergi menembus ruang dan waktu, melintasi dimensi lain, untuk berdialog dengan Tuhan.

Perjalanan tersebut dalam khazanah Islam disebut sebagai peristiwa Isra Mikraj. Yaitu perjalanan Rasulullah dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsa', dilanjutkan dengan naik ke Sidratul Muntaha yang ditempuh dalam waktu satu malam dengan mengendarai Buraq yang kecepatannya melebihi gerakan cahaya. Di Sidaratul Muntaha inilah Nabi Muhammad mencapai puncak kenikmatan spiritual karena dapat berhadapan langsung dengan Allah tanpa perantara.

Pada dasarnya Isra Mikraj menjadi peristiwa penting yang tidak hanya ditujukan bagi nabi, melainkan juga seluruh umat Islam. Pasalnya berasal dari momen inilah umat Islam mendapatkan kewajiban menjalankan syariat salat. Dari yang awalnya dibebankan 50 kali hingga menjadi lima kali dalam sehari. Bagi umat Islam, salat menjadi bentuk kesadaran penuh akan keterbatasan kemampuan manusia, oleh sebab itu ia membutuhkan pertolongan Sang Pencipta.

Baca Juga: Tantangan Dakwah di Era Kemajuan Teknologi

Isra Mikraj yang sudah berlalu lebih dari 14 abad ini menjadi momen yang dinantikan umat Islam di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Adapun berdasarkan SKB 3 Menteri, waktu peringatan Isra Mikraj jatuh pada 28 Februari 2022. Sementara itu, ormas Islam Nahdatul Ulama menetapkan 27 Rajab jatuh pada 1 Maret 2022. Dalam momen ini, masyarakat Indonesia biasa memperingatinya dengan beraneka ragam kegiatan sosial-keagamaan, seperti tradisi-tradisi yang kental akan unsur kearifan lokal. 

Peringatan Isra Mikraj Nabi Muhammad sejatinya merupakan momen penting sebagai refleksi bersama tentang urgensi mempelajari sejarah dan perjuangan kekasih Allah tersebut. Yakni dengan menjadikan sosok dan karakter nabi sebagai cerminan dalam menjalani proses kehidupan di dunia. Sehingga dapat memotivasi umat Islam untuk berusaha dan berlomba-lomba menjadi manusia yang unggul secara intelektual, spiritual, maupun sosial.

Diperlihatkan Tamsil

Dalam peristiwa Isra Mikraj, Nabi Muhammad bertemu dengan nabi-nabi terdahulu di masing-masing langit pertama hiingga ketujuh. Tidak hanya itu, nabi juga diperlihatkan dengan beberapa tamsil. Atau perumpamaan kejadian yang menampilkan sejumlah golongan manusia yang kelak akan dihadapi nabi dalam dakwahnya. Beragam fenomena yang diperlihatkan kepada nabi juga menggambarkan beragam karakter manusia yang ada di dunia. 

Baca Juga: Transformasi Literasi Era Digital

Salah satu tamsil yang diperlihatkan kepada nabi saat Isra Mikraj yaitu banyak kaum yang daging lambungnya dipotongi, lalu mereka memakannya. Golongan ini diibaratkan sebagai kaum yang suka mengumpat dan mencela orang lain. Selain itu nabi menjumpai tamsil kaum yang memiliki kuku tembaga yang digunakan untuk mencakari dada dan muka mereka. Maknanya yaitu golongan yang suka mengumpat dan mempergunjingkan kehormatan orang lain. 

Dua tamsil yang diperlihatkan kepada Nabi Muhammad di atas menunjukkan sisi gelap manusia ketika hidup berdampingan dengan manusia lain. Inilah yang akan mengancam nilai-nilai persaudaraan dalam suatu komunitas masyarakat. Ketika manusia diselimuti sikap egois, iri, dengki, dan intoleransi, maka cenderung menyalahkan dan menjelek-jelekkan lainnya. Sudah merasa paling benar sendiri, sehingga mudah menghakimi, mencela, dan menghina orang lain. 

Seiring dengan perkembangan teknologi digital, di mana proses komunikasi berjalan mudah menggunakan media sosial, menghina dan mencaci maki orang lain terasa kian masif terjadi. Apalagi media sosial memberikan kebebasan bagi setiap pengguna untuk dapat bersuara mengomentari apa pun. Bahkan media sosial seringkali dijadikan tempat untuk meluapkan emosi dan kebencian terhadap lainnya, dengan menuliskan kata-kata kotor berupa umpatan dan makian.

Etika Ruang Publik

Era digital dengan adanya media sosial membuat kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dijunjung tinggi di negara demokrasi ini pada praktiknya mengalami disfungsi. Pasalnya jika mengamati pola komunikasi publik, media sosial seringkali dibanjiri dengan komentar-komentar negatif berupa ujaran kebencian. Apalagi jika menyinggung soal perbedaan SARA, kuatnya sentimen dan kebencian sangat riskan menimbulkan konflik dan perpecahan.

Baca Juga: Pengembangan Literasi Digital Berbasis Dongeng Sains

Media sosial dalam konteks demokrasi, berfungsi sebagai medium interaksi dan bertukar informasi serta wadah bagi diskursus ide dan gagasan. Namun ketika masyarakat masih dikuasai fanatisme kelompok serta sikap intoleransi, tentu hal tersebut akan sulit terwujud. Penggunaan media sosial apabila tidak dilandasi dengan etika dan sikap toleran, tentu sulit menjadi ruang publik yang sehat, yang dapat menciptakan keharmonisan. 

Seperti yang terjadi baru-baru ini, publik diramaikan dengan kebijakan baru Kementerian Agama yang tertuang dalam SE No SE 05 Tahun 2022 soal pedoman penggunaan pengeras suara di masjid dan musala. Peraturan yang menimbulkan pro dan kontra ini berakibat pada kegaduhan di media sosial. Banyak pengguna berkomentar sinis terhadap akun instagram @kemenag_ri. Umpatan dan kata-kata kotor dilontarkan kepada menteri secara personal maupun kementerian secara organisasi.

Pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah ialah hal wajar dalam negara demokrasi. Bahkan hal tersebut diperlukan untuk kritik dan evaluasi program. Akan tetapi, bagaimana jika komentar lewat media sosial tidak dilandasi dengan etika dan kebijaksanaan? Maka yang hadir di sana bukanlah pertukaran argumen atau gagasan, melainkan perang sentimen yang dapat memecah belah persatuan bangsa. 

Baca Juga: Media Sosial; Tantangan Media Massa di Era Digital

Kondisi ini tentunya seperti yang tersirat dalam tamsil yang diperlihatkan kepada Nabi Muhammad ketika Isra Mikraj. Bahwa proses kehidupan dunia akan diwarnai dengan golongan yang suka mengumpat, mencela, dan menggunjingkan orang lain. Tamsil dalam peristiwa Isra Mikraj ini sejatinya memberi peringatan kepada masyarakat digital untuk dapat menjaga lisan dan jari agar tidak mengeluarkan kata-kata kotor kepada sesama pengguna media sosial.

Sebagaimana tugas utama Nabi Muhammad yang diutus oleh Allah tidak lain ialah untuk menyempurakan ahlak umat manusia. Maka momen Isra Mikraj menjadi saat yang tepat untuk meneladani karakter dan kepribadian nabi, terutama menyangkut relasi sosial dengan sesama. Dengan begitu, sudah semestinya proses komunikasi di media sosial tetap mengutamakan etika dan kebijaksanaan, sehingga diskursus dalam ruang publik digital ini mampu berjalan sehat berdasarkan nilai-nilai persatuan dan persaudaraan.

Penulis: Athok Mahfud, Alumnus UIN Walisongo Semarang

*) Artikel ini pernah dimuat di Tribun Jateng Edisi 1 Maret 2022

Reactions

Post a Comment

0 Comments