Ticker

6/recent/ticker-posts

Relasi Agama dan Budaya dalam Tradisi Sekaten

Agama Islam masuk di Indonesia terjadi karena ada relasi agama dan budaya. Awalnya Islam masuk melalui masyarakat pesisir yang terbuka terhadap pedagang dari luar. Hal ini bertujuan untuk menjalin kerja sama dengan baik. Dialog dan komunikasi yang terbuka memungkinkan para pedagang juga menysiarkan agama Islam kepada masyarakat pesisir.

Selain itu, letak Indonesia yang strategis juga menyebabkan timbulnya pangkalan perdagangan yang turut serta membantu mempercepat proses dakwah Islam. Sehingga hal ini menyebabkan terjadi pembaharuan antara perdagangan dari berbagai bangsa dan pedagang dengan para penduduk setempat. Dengan terjadinya pembaharuan tersebut, terjadilah aktivitas saling memperkenalkan dan memberitahu tentang adat istiadat, budaya, bahkan agama yang dianut. Di dalam proses ini tidak hanya kegiatan perdagangan, akan tetapi juga terjadi asimilasi (pembaharuan dan kebudayaan) melalui pernikahan.

Dengan demikian, Islam akhirnya mudah diterima oleh masyarakat pesisir di Indonesia yang pada akhirnya menyebar secara perlahan lahan ke berbagai daerah di Indonesia. Maka terjadilah hubungan umat Islam secara dinamis berkaitan dengan identitas-identitas kelompok yang dikaitkan dengan identitas budaya, yang menyangkut etnis, tradisi lokal, maupun pemikiran keagamaan. Dinamika hubungan dapat menuju kepada kerukunan internal umat Islam. 

Baca Juga: Peran Wayang dalam Penyebaran Islam di Tanah Jawa

Adanya faktor-faktor yang mendukung ke arah kerukunan tersebut di antaranya adalah akulturasi budaya. Pertemuan dua budaya dalam satu relasi sosial sehingga bekerja sama untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan. 

Semenatara itu, strategi agama Islam dalam membangun kerukunan proses adaptasi dengan lingkungan penyebarannya  di antaranya melalui strategi kultural yaitu akulturasi dan membangun budaya dominan. Strategi berikutnya melalui struktural, yakni dengan bekerja sama membangun relasi dengan kekuasaan pemerintahan dan legalitas normatif untuk menjaga situasinya aman dan tertib.

Dinamika internal umat Islam dalam konteks agama dan budaya dapat dilihat dalam tiga bentuk relasi. Yaitu relasi agama dan tradisi lokal, relasi agama dan etnisitas, serta relasi agama dan pemikiran agama. Contoh kasus yang terjadi pada masyarakat Aboge di Kebumen dan masyarakat tradisional di Tengger Pasuruan, dinamikanya terbentuk dalam penerimaan kearifan lokal yang diterima bersama menjadi sosial.

Baca Juga: Konstruksi Sosial Masyarakat Indonesia Terhadap Tradisi Islam Lokal

Dalam praktiknya, tradisi-tradisi lokal ini dapat menjadi kohesi sosial karena oleh para pemilik kebudayaan. Tradisi tersebut sebenarnya telah mengalami modifikasi sebagai bentuk akulturasi sehingga dapat diterima oleh masyarakat Jawa. Tradisi-tradisi masyarakat yang populer memiliki keterkaitan dengan tradisi tradisi sekarang keduanya masih terpelihara hingga saat ini.

Makna Simbolik Sekaten 

Keberadaan budaya yang didominasi oleh kebiasaan perilaku masyarakat dipertemukan pada agama mampu mewujudkan pelestarian masyarakat menjadi lebih harmonis, salah satunya mewujudkan dalam tradisi sekaten. Pada upacara grebeg maulid dilakukan pula sekatenan. Perayaan sekaten di Keraton Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta adalah dua bentuk kebudayaan yang terpadu, yaitu kebudayaan kraton Hindu-Jawa dengan kebudayaan Islam.

Baca Juga: Eksistensi Wayang di Era Globalisasi

Perayaan sekaten di Surakarta misalnya, menggunakan dua perangkat gamelan yaitu di sebelah selatan kiai guntur madu sebagai lambang 'syahadat tauhid' dan sebelah utara kiai guntur sari yang melambangkan 'syahadat rasul'. 

Dengan demikian, Islam mengalami penyesuaian dengan lingkungan masyarakat setempat di antaranya kebudayaan dan peradaban. Dalam sekaten terjadilah proses internalisasi Islam terhadap budaya Jawa. Perayaan sekaten ini multidimensi selain sebagai media dakwah Islam, juga sebagai ekonomi sarana hiburan sarana wisata. Dalam keraton juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengembangkan kebudayaan dan syiar agama.

Ajaran yang dapat diperoleh dari perayaan sekaten adalah makna simbolik dan nilai-nilai yang terdapat di dalamnya. Apabila dikaji secara cermat, sekaten mengandung nilai-nilai perilaku yang terjadi di dalamnya. Sebagian nilai-nilai yang terkandung di antaranya nilai-nilai religi dan kultural lewat simbol-simbol yang tercermin dalam keseniannya. Nilai nilai yang telah diyakini secara mendalam ini menjadi hal yang subyektif.

Eksistensi sekaten berkaitan dengan tata nilai dari lingkungan masyarakat setempat yang biasanya berhubungan dengan kesuburan kemakmuran, keselamatan, dan kerukunan antarwarga. Kultur lokal dan kultur modern seakan melebur dalam waktu bersamaan dalam momentum sekaten.

Baca Juga: Menyeimbangkan Ibadah, Melestarikan Budaya Prepegan di Penghujung Ramadan

Hubungan dan kolaborasi antara Islam sebagai teks besar dengan budaya lokal tidak lagi dapat dipandang dalam bingkai penundukan tetapi dipandang bahwa proses akulturasi yang berhasil semakin menunjukkan kekayaan atau beragam ekspresi budaya Islam setelah bersinggungan atau bertemu dengan bangunan budaya lokal.

Pelajaran yang dapat diambil dari perayaan sekaten ialah adanya proses dialektika yang panjang dalam upaya membumikan Islam di tanah Jawa. Biasanya, seringkali harus melibatkan budaya dan tradisi lokal yang ada tentunya dengan pembacaan yang kritis dan pemaknaan yang lebih terbuka. 

Sementara itu, sikap kritis dan kearifan yang diliputi semangat keterbukaan untuk menerima perbedaan dan mengutamakan dialog dalam menyikapi perbedaan yang ada harus selalu menjadi prioritas pertama. Adanya kegiatan ini harus bisa dilestarikan supaya menjadi proses dialog antar budaya untuk menemukan kebersamaan dalam menghadirkan masyarakat yang lebih kondusif pluralis terhadap perbedaan.

Penulis: Nur Laela Masruroh, Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang dan Aktivis IPPNU Kabupaten Kendal

*) Artikel ini pernah dimuat di website Griya Riset Indonesia 

Reactions

Post a Comment

0 Comments