Di dalam setiap kelompok atau entitas masyarakat, tentunya memiliki pemahaman kolektif mengenai suatu konsep tatanan sosial. Tatanan sosial dapat dimaknai sebagai seperangkat norma dan nilai yang terbentuk di masyarakat. Terbentuknya tatanan sosial inilah yang menjadi sebuah dasar adanya konstruksi sosial, seperti halnya pada masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang memiliki nilai kemajemukan begitu tinggi. Hal ini tidak dapat terlepas dari perbedaan atau keragaman Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA). Sementara itu, Islam menjadi identitas agama mayoritas di Indonesia.
Masuknya agama Islam di Indonesia tidak disebabkan oleh peperangan, ekspansi, maupun kolonialisasi. Akan tetapi, melalui jalur perdagangan, perkawinan, pendidikan dan tasawuf, kekuasaan politik, hingga kultural (budaya), baik asimilisasi dan akulturasi.
Penyebaran agama Islam di Indonesia melewati proses yang begitu panjang. Karena prosesnya berawal dari wilayah pesisir hingga kemudian bergerak masuk ke wilayah pedalaman maupun pusat pemerintahan. Selain itu, para tokoh penyebar agama Islam juga memanfaatkan media-media budaya sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam di Indonesia. Misalnya saja, para Walisongo di wilayah Jawa, seperti Sunan Kalijaga yang mengembangkan kesenian wayang, dan Sunan Giri dalam seni menciptakan mainan anak-anak berupa Jalungan, Ilir-ilir, Jamuran, Suweng, Cublak, dan lain-lain.
Kemudian, lembaga pendidikan seperti pesantren juga terus dikembangkan oleh para ulama untuk menyiarkan agama Islam. Para ulama yang menyebarkan ajaran Islam di lembaga-lembaga tersebut juga berasal dari pesantren itu sendiri “alumni”. Sehingga terdapat regenerasi ulama atau pengajar Islam yang diharapkan dapat berkelanjutan menyebarkan ajaran Islam.
Praktik dan Tradisi Islam Lokal
Masyarakat Indonesia telah memiliki keragaman pada tatanan kepercayaan dan tata nilai yang sudah berlaku secara turun-temurun. Misalnya saja, masyarakat Jawa mayoritas menjadi penganut Hindu sekaligus pelaku budaya Jawa yang kental dengan corak Hinduisme, dan sampai saat ini masih dijadikan pedoman oleh sebagian masyarakatnya.
Budaya asli Indonesia masih dipertahankan dan begitu kental terlihat di masyarakat, khususnya mengenai etika, pantangan, dan adat istiadat. Sehingga terdapat identifikasi terhadap budaya dan unsur tradisi, termasuk perkembangan sosial budaya lokal tatkala proses islamisasi.
Adapun unsur-unsur budaya yang berasal dari zaman prasejarah atau zaman Hindu-Budha dapat berupa sistem pertanian dan saluran irigasi, sistem kalender Jawa, pengetahuan berlayar, memandai logam, sistem pemerintahan desa, seni batik, seni gamelan, dan seni wayang. Meskipun di dalamnya ada akulturasi dan asimilasi dengan budaya Islamnya.
Sedangkan untuk unsur-unsur yang berasal dari animisme dan dinamisme dapat berupa pemujaan arwah para leluhur, seperti Punden Berundak, dan Menhir sebagai artefaknya. Unsur budaya terkait animisme dan dinamisme serta pemujaan terhadap arwah para leluhur berkaitan erat dengan pola kepercayaan masyarakat yang diwarisi secara turun-temurun.
Praktik pemujaan leluhur juga dimanifestasikan secara materi dalam ragam produk budaya. Sebab pemujaan terhadap leluhur merupakan salah satu aspek penting dalam konstruksi sosial masyarakat Indonesia. Meskipun hingga hari ini masih ada yang mewarisi dengan cara “menghargai” yang berbeda.
Berkaitan dengan menghargai atau menghormati leluhur, terdapat praktik ziarah makam yang merupakan bagian dari cara menghormati arwah para leluhur. Aktivitas tersebut juga bertujuan untuk senantiasa mengingatkan manusia bahwa setelah kehidupan di dunia ada yang disebut dengan kematian.
Dengan demikian, setidaknya manusia akan sadar untuk senantiasa melakukan perbuatan baik sebagai bekal dalam menghadapi alam kematian. Akan tetapi, aktivitas ziarah banyak dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk kepentingan-kepentingannya yang bertolak belakang dengan orientasi awalnya. Misalnya mencari ketenangan, keberuntungan, kekayaan, kesembuhan, dan sebagainya.
Ziarah makan masih terus diwarisi, terjaga, dan dilestarikan hingga saat ini dalam kehidupan masyarakat. Ziarah di makam keramat atau orang yang dianggap suci mempunyai kisah yang berakar panjang dalam sejarah perkembangan Islam. Sebab kegiatan tersebut sudah ada sejak masa pra-Islam.
Tradisi tersebut ditandai dengan adanya permohonan kepada arwah orang yang telah meninggal. Kemudian dengan mengirimkan doa maupun permintaan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan biasanya diiringi dengan tabur bunga atau kembang disekitaran makam, bahkan menggunakan sesajen ritual.
Namun sayangnya dalam masyarakat Islam yang cenderung berpandangan ekstrem dan fanatis yang memahami kitab secara tekstual, mereka meyakini bahwa hal tersebut dilarang, dan bertentangan dengan pedomannya. Sebab ada indikasi meniru di zaman Nabi dimana menyembah berhala yang dianggap sebagai menyembah selain Allah SWT.
Akan tetapi, ziarah kubur ini disambut baik oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, karena dinilai sebagai tradisi yang memiliki makna positif. Di Nusantara ziarah kubur tidak hanya dilakukan di makam para leluhur, tetapi juga di makam-makam orang yang dianggap berjasa bagi agama, negara, dan kehidupan umat manusia.
Selain itu, ada praktik “Slametan” yang dilakukan sebagai bentuk rasa syukur. Acapkali Slametan diadakan untuk merayakan kelahiran, pernikahan, pindah rumah, dan sebagainya. Kemudian ada upacara kematian, upacara untuk orang-orang yang meninggal setelah 3, 7, 40, 100, dan 1000 hari dalam tradisi budaya lokal di Jawa.
Upacara ini kemudian disebut dengan Tahlilan yang berasal dari kata “Tahlil”. Tahlilan merupakan ritual praktik mengirim doa kepada leluhur. Terkadang dilakukan oleh keluarga secara bersama-sama pada saat-saat ziarah kubur, khususnya pada waktu menjelang bulan Ramadan.
Tradisi Islam Lokal dalam Perspektif Konstruksi Sosial
Seorang Sosiolog bernama Emile Durkheim pernah menyebutkan bahwa ciri-ciri masyarakat lokal yang masih tergolong “primitive” setidaknya ditandai dengan dua syarat utama. Yaitu sistem dalam suatu organisasi masyarakat masih sangat sederhana dan sistem religius yang lebih awal hadir dalam memperkenalkan unsur-unsur lain selain yang lebih tua daripada agama.
Tradisi-tradisi keagaaman diperkirakan hadir pada abad ke-7 Masehi relevan dengan kedatangan Islam di Nusantara. Tradisi tersebut di antaranya seperti praktik perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW, Isra Mi’raj, perayaan hari Asyura, ziarah kubur, perayaan pernikahan, dan “Haul”.
Dalam perspektif konstruksi sosial, upacara slametan seperti yang telah disinggung sebelumnya muncul sebagai wadah masyarakat melalui sistem yang menghadirkan doktrin agama dan bertransformasi makna menjadi serangkaian metaphor dan symbol.
Adapun Tahlilan dapat dimaknai sebagai ritual membaca ayat Al-Qur’an, berzikir, membaca tasbih, tahmid, dan sebagainya. Kemudian tradisi masyarakat seperti upacara tolak balak pada hakekatnya bertujuan untuk meminta berkah dari Allah SWT. Sehingga ada dialektika alam terhadap aspek sakralisasi, mistifikasi, dan mitologi.
Pembahasan mengenai konstruksi sosial dan perkembangan tradisi-tradisi keagamaan masyarakat dalam kehidupannya acapkali dihubungkan dengan berbagai determinan lain, seperti politik, ekonomi, media, dan kekuasaan. Padahal konstruksi sosial dalam pola realitas masyarakat bermuara dari aspek-aspek keagaaman.
Proses ini terjadi secara stratis, melalui struktur sosial yang dinamis. Juga melalui proses sosial pada satu indvidu maupun entitas sosial. Oleh sebab itu, pola tindakan yang ada dilakukan secara terus-menerus hingga menjadi menjadi sebuah tradisi dalam dunia sosio-kultural yang lambat laun akan menjadi budaya.
Tradisi Islam lokal memang masih mengadopsi bagian-bagian dari kepercayaan yang telah terlebih dahulu ada. Sehingga wajar saja, jika beberapa ritual masih dijalankan seperti berdoa di makam leluhur yang memiliki marwah luar biasa. Sebab, sebelum adanya Islam telah banyak kepercayaan-kepercayaan yang sudah berkembang.
Akan tetapi, memang belum adanya legalitas secara hukum. Sehingga belum ada aturan atau regulasi yang mengatur tentang keberadaannya secara normatif. Konstruksi sosial terhadap tradisi Islam lokal menjadi bukti konkret dari berharganya nilai sebuah kemajemukan. Proses akulturasi dan asimilasi budaya yang kental akan toleransi adalah bagian dari tolak ukur pluralitas.
Cara pandang masyarakat melihat tradisi Islam lokal tentunya masih sejalan dengan pemahaman akan tatanan hidup berbangsa dan bernegara. Sebagian besar etika sosial juga masih kental dengan kebudayaan Islam lokal. Sebab pada dasarnya, nilai dari tradisi Islam lokal masih sejalan dengan nilai-nilai luhur bangsa, apalagi ditambah dengan bentuk toleransi dalam pembentukan budaya.
Penulis: Abi Priambudi, Mahasiswa Program Studi Sosiologi FISIP UIN Walisongo Semarang
0 Comments