Ticker

6/recent/ticker-posts

Peran Wayang dalam Penyebaran Islam di Tanah Jawa



WAYANG merupakan salah satu warisan bangsa Indonesia yang sudah berkembang selama berabad-abad. Sejarah mencatat bahwa pertunjukan wayang mulai dikenal dan dipergelarkan sejak zaman Balitung sekitar tahun 907 M. Brandes menyatakan, wayang sudah ada sejak zaman 778 M.

Ketika wayang mulai muncul di lingkungan masyarakat Jawa, saat itu juga wayang hadir sebagai seni hiburan dan kebudayaan yang penuh dengan nilai luhur serta budi pekerti. Dalam kisah wayang biasanya diceritakan dengan penuh drama dan pesan moral dalam kehidupan sehari-hari.

Hal itu pun dapat dijadikan cerminan atau panutan masyarakat dalam menjalani kehidupan. Budaya wayang yang berkembang pun coba dimanfaatkan sebagai media dakwah penyebaran agama Islam. 

Dalam sejarahnya, Islam turut berperan dalam perkembangan wayang, baik dalam bentuk wayang maupun isi ceritanya. Akulturasi antara budaya Jawa dan Islam adalah salah satu strategi dakwah yang sangat baik. Metode inilah yang sering dipakai oleh Wali Sanga dalam menarik perhatian masyarakat Jawa pada saat itu.  

Pada awal penyebaran Islam, kelompok Wali Sanga (terutama Sunan Kalijaga) menyadari bahwa dengan media wayang, agama Islam akan berkembang pesat. Ajarannya juga akan tersiar luas dan melekat di hati para masyarakat. 

Untuk merealisasikan dakwah Islamiyah lewat wayang, wayang perlu dibesut (diubah dan disempurnakan) dan diisi dengan nilai-nilai budi luhur yang bernapaskan Islam. Namun para wali tidak menghilangkan begitu saja budaya sembah sebagai tanda penghormatan terhadap seorang atasan seperti anak menyembah pada orang tua atau kawula menyembah pada raja. 

Wayang memang bisa menjadi tontonan menarik, penuh pesan moral dan dikomersialkan seperti sekarang. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kreativitas Wali Sanga, terutama Sunan Kalijaga. Sebagai penyebar agama Islam di Pulau Jawa, para wali memahami wayang merupakan salah satu cara efektif. Namun untuk menggunakannya perlu beberapa perombakan. Perubahan itu harus dilakukan guna mempermudah penyebaran agama Islam.

Konon, bentuk wayang purwa yang kita saksikan sekarang adalah hasil ciptaan para wali yang sudah bernapaskan Islam. Penggambaran sosok tokoh wayang merupakan penggambaran karakter, sifat, dan tabiat para tokoh tersebut, sehingga sosok raksasa yang tinggi besar seperti Kumbakarna tampak sepuluh kali lebih besar daripada seorang putri. 

Dalam menyelenggarakan pertunjukan wayang, Sunan Kalijaga selalu memilih tempat yang tidak jauh dari masjid. Di sekeliling tempat pementasan wayang, Sunan Kalijaga lalu membuat parit yang mengalir di dalamnya air yang jernih. Parit ini dibuat untuk melatih para penonton wayang agar berwudu seecara perlahan-lahan sebelum menonton wayang. 

Selain itu, Sunan Kalijaga juga sedikit mengubah subtansi cerita dari wayang tersebut. Sunan Kalijaga memasukkan unsur-unsur Islam dalam cerita, seperti jimat kalimasada yang tak lain diadopsi dari dua kalimat syahadat. 

Pada tahun 1443, Sunan Kalijaga menciptakan wayang gunungan (kayon) yang jika ditelaah secara mendalam akan terlihat secara tersamar ajaran yang berupa falsafah Islam di dalamnya. Gunungan merupakan gambaran simbolis dari mustaka masjid. Kalau kayon dijungkirkan, akan menyerupai jantung manusia. Falsafah Islam menunjukkan bahwa jantung atau hati manusia harus selalu berada di dalam masjid, karena masjid adalah rumah Allah. 

Sumber: 
Asti Musman, Agama Ageming Aji
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga

Reactions

Post a Comment

0 Comments