Ticker

6/recent/ticker-posts

Membaca Peran Mahasiswa dalam Menjaga Masa Depan Demokrasi Pancasila

INDONESIA menerapkan sistem negara demokrasi yang khas dan tidak dimiliki negara lain, yakni demokrasi Pancasila. Demokrasi ini didasarkan pada prinsip-prinsip kekeluargaan, gotong-royong untuk kesejahteraan rakyat, dilakukan oleh dan atas persetujuan rakyat, kebebasan individu yang tidak mutlak. Juga berdasarkan kebenaran, kecintaan, budi pekerti luhur, berkesinambungan, berkepribadian serta berkesadaran religius. Selain itu, dalam demokrasi Pancasila terdapat cita-cita hidup bangsa Indonesia yang tidak pernah mengajarkan dominasi antara mayoritas dan minoritas.

Lantas, bagaimana pelaksanaan demokrasi Pancasila di masa sekarang? Apakah sudah mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang telah disebutkan? Sudahkah demokrasi Pancasila berpihak pada kesejahteraan rakyat? 

Atau justru malah sebaliknya, berubah menjadi harapan klise yang hanya berisikan janji-janji manis khas calon wakil rakyat pada saat Pemilu yang tidak pernah sesuai dengan konsep awal. Untuk mendapatkan pemahaman terkait pelaksanaan demokrasi Pancasila tentu perlu meninjau bagaimana realita yang terjadi di lapangan saat ini.

Realita Demokrasi Indonesia

Azyumardi Azra, cendekiawan Islam menjabarkan dalam artikel yang diterbitkan di Harian Kompas (4/11/21) bahwa pelaksanaan demokrasi Indonesia beberapa tahun terakhir mengarah ke konsepsi demokrasi liberal. Hal ini dilihat dari praktik demokrasi winner take all di mana pemenang mengambil dan menentukan semua keputusan politik. Ia menyamakan praktik ini dengan kondisi di Amerika Serikat dengan dampak negatif yang menyebabkan negara dikuasai oleh oligarki politik yang bersekutu dengan oligarki bisnis.

Baca Juga: Ideologi Pancasila sebagai Penangkal Radikalisme

Di Indonesia, salah satu dampak negatif yang terlihat saat ini ialah munculnya opini publik yang menyesatkan karena tidak sesuai dengan konstitusi yang disepakati. Misalnya yang pernah diutarakan Bahlil Lahadalia, bahwa Pilpres 2024 akan diundur dengan dalih persetujuan para pengusaha. Bahkan beberapa lembaga survei mengadakan jejak pendapat terkait wacana diundurnya Pilpres 2024. 

Padahal wacana itu bertentangan dengan UUD 1945 yang menggariskan bahwa jabatan presiden maksimal dua periode tanpa adanya tambahan waktu. Meski baru berada dalam ranah wacana, tetapi hal ini tentu menjadi suatu sumber kegaduhan publik.

Selain itu, kebebasan berpendapat yang menjadi amanat demokrasi juga dikhianati, bahkan di mimbar akademik kampus. Seperti kasus pembredelan majalah yang diterbitkan oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lintas IAIN Ambon beberapa waktu lalu. Majalah berjudul "IAIN Ambon Rawan Pelecehan" itu pun dibredel dan dibekukan melalui keputusan rektor IAIN Ambon Nomor 92 Tahun 2022.

Beberapa hal di atas menjadi ironi gelap di balik kondisi demokrasi Indonesia. Di mana nilai-nilai Pancasila dinodai oleh beberapa oknum yang menyalahgunakan kekuasaan. Berdasarkan logika induktif, dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang terjadi saat ini merupakan benih-benih bagaimana masa depan negara ini akan berjalan. 

Oleh karena itu, diperlukan pendalaman terhadap nilai-nilai Pancasila dan menguatkan prinsip Pancasila kepada demokrasi yang berjalan. Hal itu tidak lain agar demokrasi Indonesia tetap sejalan dengan nilai-nilai Pancasila yang menjadi payung besar NKRI. 

Baca Juga: Pancasila dalam Bayang Khilafah

Lantas pertanyaannya sekarang, di manakah peran mahasiswa dalam menjembatani eksistensi demokrasi Pancasila agar tetap eksis tanpa usang ditelan zaman?

Peran Mahasiswa Menjaga Demokrasi

Dalam berbagai pelatihan dan diskursus organisasi mahasiswa, baik intra maupun ekstra kampus, telah banyak didengar peran mahasiswa. Selain belajar dan mengarungi lautan ilmu, mahasiswa berperan sebagai agent of change, agent of social control, dan iron stock. Tiga peran ini menjadi make sense dalam proses mempertahankan nilai demokrasi Pancasila manakala mahasiswa memiliki pengetahuan yang baik tentang Pancasila, idealisme dalam bersikap, dan kepedulian terhadap keberlangsungan negara.

Dewasa ini, mahasiswa banyak melakukan demonstrasi di berbagai tempat sebagai bentuk kekecewaan terhadap pemerintahan presiden Joko Widodo yang dianggap gagal menyejahterakan rakyat. Namun, sangat disayangkan gerakan tersebut masih memiliki sifat yang sama dengan gerakan kemerdekaan sebelum 1908. Sifat gerakan yang ada belum mencakup gerakan terorganisir dan melibatkan satu kesatuan gerakan mahasiswa di seluruh Indonesia. Sehingga efeknya kurang begitu terlihat.

Baca Juga: Sambatan Membangun Persatuan Bangsa

Bahkan beberapa waktu yang lalu, presiden Joko Widodo dianggap sebagai The King of lip service atau bahasa kasarnya tukang bohong yang diawali oleh BEM UI. Hal ini sempat viral beberapa waktu hingga menjadi bahan perdebatan di beberapa siaran televisi, media cetak, dan tentunya media sosial. Namun hal ini dianggap sebagai serangan personal kepada presiden yang mana tidak menunjukkan kritik kepada pemerintah secara umum.

Dari contoh tersebut, mahasiswa dalam menjaga demokrasi Pancasila perlu melakukan kajian kritis nan analitis yang melibatkan seluruh elemen mahasiswa dari berbagai daerah. Mahasiswa perlu membentuk gerakan bersama dan menentukan permasalahan umum yang memang harus dibenahi serta menjadi kesepakatan bersama. Kesatuan suara mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi akan lebih memiliki dampak yang besar bagi demokrasi.

Meski begitu, gerakan yang dilakukan harus berbeda dari gerakan yang telah ada. Hal ini didasarkan pada keadaan yang dihadapi saat ini, yang berbeda dengan di masa lalu. Keadaan yang terlihat baik-baik saja, meski pada dasarnya ada berbagai hal yang pantas dikhawatirkan. 

Pertanyaan pentingnya ialah, apakah mahasiswa saat ini mampu melaksanakan perannya dalam menjaga eksistensi demokrasi Pancasila? Berjuang demi kesejahteraan rakyat dan bersikap ideal? Atau justru sebaliknya tenggelam dalam euforia perkembangan teknologi yang semakin menggoncangkan idealisme mahasiswa? Mari kita renungkan bersama. 

Penulis: Firman Hardiantor, Mahasiswa Jurusan Pendidikan Fisika UIN Walisongo Semarang

Reactions

Post a Comment

0 Comments