Ticker

6/recent/ticker-posts

Sambatan Membangun Persatuan Bangsa


Bangsa Indonesia semakin tua. Saat ini menginjak usia ke- 74 tahun. Namun perlu kita tahu, bahwa jauh ratusan tahun sebelum bangsa ini merdeka, para nenek moyang telah meninggalkan beragam warisan berharga. Warisan itu berupa tradisi atau kebudayaan lokal yang berisi nilai-nilai luhur. 

Salah satu tradisi lokal yang terus berkembang hingga saat ini yakni sambatan atau gotong royong. Sambatan menjadi budaya masyarakat Jawa di pedesaan yang melibatkan banyak orang untuk membangun sebuah rumah atau infastruktur desa lain. 

Kegiatan ini cukup sederhana. Jika di sebuah desa, ada orang yang membangun rumah, maka penduduk desa lainnya tanpa diminta akan suka rela menyumbangkan tenaga fisik untuk membantu mengerjakan rumah itu. Sementara para sukarelawan tidak mendapatkan imbalan uang, terkadang hanya mendapatkan hidangan makanan atau minuman sederhana. 

Meski demikian, terdapat nilai-nilai berharga yang terkandung di dalam budaya sambatan. Budaya ini menunjukkan rasa kepedulian sosial yang tinggi antarpenduduk desa. Mereka menghilangkan sikap egoisme dan tidak mempermasalahkan perbedaan strata sosial. Semua bersatu untuk mewujudkan satu tujuan bersama. 

Nilai-nilai luhur dalam budaya ini sangat cocok jika diterapkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Pasalnya, Indonesia adalah negara multikultur, terdiri dari beragam suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Perbedaan ini cukup sensitif. Jika tidak disikapi dengan bijak, maka konflik besar akan terjadi. 

Dalam catatan sejarah, terdapat banyak konflik yang timbul karena masalah perbedaan. Contohnya pada Pilgub DKI Jakarta 2017, masyarakat dihebohkan dengan kasus penistaan agama oleh salah satu calon gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Pidato Ahok di Kepulauan Seribu dianggap menghina Alquran surat al- Maidah ayat 51. Hingga akhirnya, umat Islam berbondong-bondong melakukan aksi dan Ahok pun berhasil dijebloskan ke penjara. 

Selain itu, akhir-akhir ini isu yang menghebohkan publik yakni bangkitnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). HTI adalah ormas terlarang yang telah dibubarkan pemerintah pada 19 Juli 2017. Konsep negara khilafah yang diusung HTI tidak relevan dengan ideologi Pancasila yang mampu menaungi keberagaman, termasuk perbedaan agama di Indonesia. Dengan ini, bangkitnya HTI tentu menjadi ancaman bagi persatuan dan stabilitas bangsa. 

Kasus di atas adalah sebagian kecil dari konflik yang timbul karena perbedaan. Tentu hal ini sangatlah sensitif. Perbedaan yang ada harusnya tidak perlu dipermasalahkan. Sikap toleransi dan rasa persaudaraan sesama bangsa menjadi hal penting dalam menjaga bangsa ini. 
 
Di usia ke- 74 tahun ini, masyarakat perlu menyadari pentingnya menjaga persatuan. Apalagi pasca Pemilu 2019, konflik atas perbedaan pilihan masih terasa sampai saat ini. Sehingga diperlukan upaya bersama untuk mempertahankan kemerdekaan dan keutuhan NKRI. 

Salah satu upaya yang dapat dilakukan yakni dengan implementasi budaya sambatan ke dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam budaya sambatan, para penduduk desa ikut membantu orang lain dalam pembangunan rumah. Mereka tidak memeprmasalahkan perbedaan strata sosial. Bagi mereka, yang terpenting adalah membantu sesama dalam mewujudkan satu tujuan.  

Nilai-nilai dalam budaya sambatan seperti ini dapat diterapkan dalam kehidupan sosial masyarakat Indonesia. Bahwa sikap toleransi dan kesadaran bersama sebagai warga negara menjadi kunci utama dalam menjaga persatuan bangsa yang multikultur ini. Sehingga tidak ada lagi konflik yang timbul akibat perbedaan SARA. 

Andai seluruh masyarakat di Indoensia mampu mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam budaya sambatan, pasti harapan dari pahlawan yang terkandung dalam sila ketiga dapat terwujud, yakni “Persatuan Bangsa Indonesia.” Namun jika masyarakat belum dewasa dalam menyikapi keberagaman, apa makna kemerdekaan bangsa Indonesia yang ke- 74 tahun ini?   

(A.M)
Reactions

Post a Comment

0 Comments