Sumber: Istimewa |
MUHAMMAD Abduh lahir di desa Mahallaj Nasr Kabupaten Al-Bukhaira Mesir pada tahun 1849 M. Ia mengawali pendidikannya dengan berguru kepada ayahnya di rumah. Pelajaran pertama yang diperoleh yaitu membaca, menulis, dan membaca Al-Quran. Hanya dalam jangka waktu 2 tahun, ia telah menghafal seluruh ayat Al-Quran. Muhammad Abduh juga banyak belajar pada Syekh Darwis dan ilmu yang ia tekuni kebanyakan ialah tasawuf.
Pada tahun 1966 M, Abduh tidak menemukan sesuatu yang baru sehingga ia menuntut ilmu di luar para ulama Al-Azhar. Dalam hal ini, ia berkesempatan berdialog dengan seorang tokoh yang bernama Jamaluddin Al-Afghani yang kelak menjadi gurunya. Melalui Jamaluddin, Abduh mendalami filsafat, matematika, teologi, politik, dan jurnalistik. Bidang yang menarik baginya yaitu teologi, terutama teologi muktazilah. Namun ia tidak bermaksud taklid pada aliran manapun dan kepada siapapun, melainkan ingin menjadi pemikir yang bebas.
Baca Juga: Mengenal Mohammad Arkoun, Pemikir Islam Kontemporer
Muhammad Abduh merupakan intelektual Islam yang mendedikasikan seluruh aktivititasnya memperbaiki kebudayaan, pendidikan, politik, peradaban dan masyarakat Islam. Karena kedekatannya dengan Jamaluddin Al-Afghani, dia mendapatkan sikap permusuhan dari ulama Al-Azhar dan pernah dicekal di negara Istanbul karena pengaruh pemikiran dari majelis-majelis pertemuan diadakan.
Selanjutnya beliau belajar di Universitas Kairo pada tahun 1869 M. Pada masa itulah ia berhasil meraih ijasah (gelar kesarjanaan) dari Universitas Al-Azhar pada tahun 1877 M, lalu selama satu tahun menjadi pengajar ilmu sejarah di madrasah Darul Ulum di Kairo Mesir.
Selain profesi guru, ia juga menekuni bidang jurnalistik. Ia menulis artikel-artikel untuk surat kabar terutama Al-Ahram (piramid) mulai tahun 1876. Di bidang ini, ia meningkat menjadi pemimpin redaksi Al-Qatha’i Al-Misriyah. Karya tulisnya antara lain Durus min Al-Quran, Risalah at-Tauhid, Hasyiyah ‘ala Syarh, ad-Dawami li al-Aqaid al-Adudiyah, Al-Islam wa an-Nashrinayah ma’a al-‘Ilmi al-Madaniyah, Tafsir Al-Quran Al-karim juz ‘Amma, Tafsir Surah al-Asr, Tafsir Surah An-Nisa’:77 dan 87, al-Hajj :52,53 dan 54, dan al-Ahzab:37. Dan Tafsir Al-Manar yang diselesaikan oleh muridnya Syekh Rasyid Ridlo.
Baca Juga: Biografi dan Pemikiran Amin Al- Khulli Tentang Al-Qur’an
Abduh menjadikan tafsir sebagai landasan gerakan dakwah untuk memperbaiki masyarakat dan membersihkan agama dari bid’ah dan khurafat. Dalam tafsirnya ia mengatakan bahwa Al-Quran merupakan satu kesatuan. Setiap kalimat berada di posisi yang sesuai. Tidak ada kalimat yang didahulukan atau diakhirkan hanya karena kepentingan sajak dan irama. Sebab, Al-Quran bukan kitab syair yang membutuhkan sajak. Al-Quran bersumber dari Allah yang tidak membutuhkan apapun. Allah adalah Zat Yang Maha Bijaksana dan Maha Tahu.
Jalan pikiran Abduh menghasilkan dua landasan pokok yang menyangkut pemahaman atau penafsirannya terhadap ayat-ayat Al-Quran, yaitu peran akal dan kondisi sosial. Pertama peranan akal, ia berpendapat bahwa metode Al-Quran dalam memaparkan ajaran-ajaran agama berbeda dengan metode yang ditempuh oleh kitab-kitab suci sebelumnya. Al-Quran memaparkan masalah dengan membuktikan argumentasi bahkan menguraikan pandangan penentangnya seraya membuktikan kekeliruannya.
Baca Juga: Abdullah Yusuf Ali, Ulama India Penulis Kitab Tafsir Bahasa Inggris
Menurutnya ada masalah keagamaan yang tidak dapat diyakini kecuali dengan pembuktian logika dan juga ada masalah agama yang tidak dapat diyakini dengan akal namun tidak bertentangan dengan akal. Dengan demikian, walaupun harus dipahami dengan akal, Muhammad Abduh tetap mengakui akan keterbatasan akal dan kebodohan manusia akan bimbingan nabi.
Kedua, salah satu metode analisis penafsirannya ialah Adabi Ijtima'i (budaya kemasyarakatan). Corak ini menitikberatkan pada penjelasan ayat-ayat Al-Quran pada segi ketelitian redaksinya, menyusun kandungannya dalam satu redaksi dengan penonjolan segi-segi petunjuk Al-Quran bagi kehidupan serta menghubungkan ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia.
Muhammad Abduh menjadikan prinsip kesatuan sebagai landasan dasar dalam menafsirkan Al-Quran. Pertama, prinsip kesatuan Al-Quran yang saling menguatkan. Kedua, pemahaman terhadap surah Al-Quran merupakan salah satu syarat mutlak untuk memahami kandungan ayat Al-Quran. Ketiga, memahami topik kunci Al-Quran merupakan syarat utama untuk memahami seluruh kandungan teks Al-Quran.
(AM)
0 Comments