Ticker

6/recent/ticker-posts

Biografi dan Pemikiran Amin Al- Khulli Tentang Al-Qur’an

Sumber: Iqra.id

AMIN Ibnu Ibrahim Abdul Baqi’ Ibn Amir Ibn Ismail Ibn Yusuf Al-Khulli ialah nama lengkap yang menggambarkan silsilah keluarga Amin Al-Kulli. Ia dilahirkan di awal bulan Mei 1895 M, saat di mana negara-negara Arab sedang mempersiapkan keberadaannya. Keluarga Amin adalah sebuah keluarga pendekar Arab yang gagah pemberani dan kental nuansa keagamaanya. 

Pada usia tujuh tahun Amin Al-Khulli hidup bersama kakek dari pihak ibu, di bawah pengawasan pamannya, yakni Amir Ali Amir sebagai kepala rumah tangga yang juga alumni Al-Azhar. Pada usia ini, oleh kakeknya Al-Khulli dimasukkan ke sekolah rakyat di bawah sekolah dasar (tingkat SLTP-SLTA di Indonesia). Tapi pada saat yang sama sebagai cucu kiai Al-Azhar, Amin Al- Khulli di rumah di gembleng dengan pendidikan agama yang sangat ketat. 

Pelajaran privat di rumah yang ditempakan pada santri cilik Al-Khulli adalah menghafal Al-Qur’an, waktunya sebelum dan sesudah pulang sekolah, menghafal  dua buku tajwid Al-Tuhfah dan Al-Jazariyah, juga menghafal  beberapa matan kitab dalam disiplin ilmu tauhid, fiqh, dan nahwu. Kitab yang harus dihapal ini adalah Al-Syamsiyah al-Kanz, Al-Jurumiyah dan matan Alfiyah

Baca Juga: Abdullah Yusuf Ali, Ulama India Penulis Kitab Tafsir Bahasa Inggris

Sebenarnya pada tahun 1905 dia pernah masuk sekolah tingkat dasar al-husainiyah lantaran ada guru dari sekolah ini yang tinggal dirumah paman Al- Khulli yakni Muhammad Sukri. Pada usianya yang ke 15, tepatnya usia Amin saat itu 16 tahun 5 bulan 6 hari Al-Khulli masuk akademi hukum (madrasah Al-Qada Al-Syar’i) dalam mata ujian masuk hafalan Al-Qur’an lengkap, membaca kitab dan mengarang di bidang fiqh dan nahwu.

Berbagai aktivitas akademik yang dilakukan Amin Al- Khulli pada masa-masa selanjutnya, baik dalam karya tulis maupun pembelajaran, lebih diarahkan pada dua cabang keilmuan, yakni sastra dan studi Qur’an. Kedua cabang inilah yang secara kreatif dia kawinsilangkan sehingga studi sastra menjadi bagian primer bagi studi Qur’an dan begitu pula studi Qur’an harus menjadi bagian integral dari studi sastra terutama di almamaternya yang terakhir yakni Universitas Kairo.

Baca Juga: Tafsir Al- Misbah, Karya Terbesar Quraish Shihab

Aktivitas akademiknya di Universitas Kairo ini berjalan terus sebagai media bagi perjalanan karir intelektualnya sampai dia dipercaya menjadi guru besar studi Qur’an dan sastra Arab. Dalam rentang waktu yang cukup memadai ini berbagai karya, Amin Al-Khulli dalam dua bidang ini bermunculan disamping keterlibatannya dalam berbagai organisasi seperti lembaga bahasa, mengikuti kongres, dan menerbitkan jurnal sastra Arab. 

Setelah berbagai aktivitas intelektual maupun sosial politik dia lakukan dengan penuh tanggung jawab demi kemajuan agama, negara dan bangsanya dengan segala suka dukanya yang kesemuanya kental dengan nuansa seni dan sastra, akhirnya pada hari Rabu, tanggal 6 maret 1996 dalam usia 71 tahun, sang pendekar sastra dan pembaharu ini meninggal dunia.

Al-Qur’an Kitab Sastra Arab Terbesar

Amin Al-Khulli melakukan upaya pembaharuan terhadap studi Al-Qur’an atau tafsirnya yaitu dengan cara memperbarui pola berpikir dan cara pandang orang terhadap Al-Qur’an. Proyek pembaruannya ini lebih pada sisi paradigmatik metodologis semacam satu madzhab yang terkandung di dalamnya tradisi berpikir dalam proses penafsiran dan membangun fondasi bagi bangunan pola pikir tersebut sehingga di masa berikutnya membidani lahirnya tokoh-tokoh kreatif. Apa yang dilakukan Amin Al-Khulli ibarat menanam benih yang pada masanya nanti berbuah lebat dan unggul. 

Baca Juga: 4 Tahapan Menafsirkan Al-Qur'an Menurut Ibnu Katsir

Al-Qur’an harus dianggap sebagai kitab Al-Arabiyah al-Akbar. Karena Al-Qur’an mengabadikan bahasa Arab. Dengan cara pandang ini, Amin Al-Khulli memprediksikan bahwa hasil akhir kesimpulan tentang Al-Qur’an akan menjadi sama oleh mufassir yang muslim, maupun nonmuslim, kaum pagan, materialis atau ateis. 

Dengan kata lain bahwa bukan kepentingan agama yang harus menjadi pangkal tolak penafsiran Al-Qur’an. Karena dalam kasus semacam ini, aksi penafsiran itu tidak terpengaruhi oleh konsepsi keagamaan apapun, jadi relatif lebih objektif. Artinya penafsiran yang dibangun di atas cara pandang bahwa Al-Qur’an adalah kitab sastra Arab besar, akan bisa mendapatkan dan mencapai makna sejati Al-Qur’an.

(AM)

Sumber Rujukan: M. Yusron, Studi Kitab Tafsir Kontemporer

Reactions

Post a Comment

0 Comments