Ticker

6/recent/ticker-posts

Mengenal Mohammad Arkoun, Pemikir Islam Kontemporer

Sumber: Harkah.id

MOHAMMAD Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Taourito Mimoun, Kabilia sebelah timur Aljir, Aljazair. Suatu daerah yang terletak di pegunungan Berber. Keluarganya berada pada strata fisik dan sosial yang rendah (ibunya buta huruf) dengan bahasa Kabilia Berber sebagai bahasa ibu dan bahasa Arab sebagai bahasa nasional Aljazair. 

Pendidikan dasar Arkoun ditempuh di desa asalnya, dan kemudian melanjutkan sekolah menengah di kota pelabuhan Oran. Sebuah kota utama di Aljazair bagian barat, yang jauh dari Kabilia. Arkoun kemudian melanjutkan studi bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir (1950-1954), sambil mengajar bahasa Arab pada sebuah Sekolah Menengah Atas di al-Harach, yang berlokasi di daerah pinggiran ibukota Aljazair.

Pada saat perang kemerdekaan Aljazair dari Perancis (1954-1962), Arkoun melanjukan studi tentang bahasa dan sastra Arab di Universitas Sorbonne, Paris. Ketika itu, dia sempat bekerja sebagai guru bahasa dan kesusasteraan Arab di Paris serta mengajar di sebuah SMA (Lycee) di Strasbourg (daerah Perancis sebelah timur laut) dan diminta memberi kuliah di Fakultas Sastra Universitas Strasbourg (1956-1959). 

Baca Juga: Biografi dan Pemikiran Amin Al- Khulli Tentang Al-Qur’an

Pada tahun 1961, Arkoun diangkat sebagai dosen di Universitas Sorbonne, Paris, sampai tahun 1969. Arkoun menetap di Perancis dan menghasilkan banyak karya yang dipengaruhi oleh perkembangan mutakhir tentang islamologi, filsafat, ilmu bahasa dan ilmu-ilmu sosial di dunia Barat, terutama di dunia tradisi keilmuan Perancis. 

Jenjang pendidikan dan pergulatan ilmiah yang ditempuh Arkoun membuat pergaulannya dengan tiga bahasa (Berber Kabilia, Arab dan Perancis) dan tradisi serta kebudayaannya menjadi semakin erat. Di kemudian hari, barangkali inilah yang cukup mempengaruhi perhatiannya yang begitu besar terhadap peran bahasa dalam pemikiran dan masyarakat manusia. 

Ketiga bahasa tersebut sesungguhnya mewakili tiga tradisi, orientasi budaya, cara berpikir dan cara memahami yang berbeda. Sosok Arkoun yang demikian ini dinilai sebagai cendekiawan yang melibatkan diri dalam berbagai kegiatan dan aksi yang menurutnya penting bagi kemanusiaan, sebab baginya, pemikiran dan aksi haruslah saling berkaitan.

Baca Juga: Abdullah Yusuf Ali, Ulama India Penulis Kitab Tafsir Bahasa Inggris

Metodologi dan pendekatan yang digunakan Mohammad Arkoun sedikit banyak telah dipengaruhi oleh dua kekuatan tradisi pemikiran yang telah ada. Yaitu tradisi pemikiran budaya Timur Tengah kuno yang memiliki tempat spesial di dalam pemikiran Yunani dan tradisi pemikiran monoteisme yang dibawa oleh para nabi. Sehingga, Arkoun mengemukakan bahwa dirinya sebagai pengguna metodologi historis-kritis yang mencoba merespon rasa keingintahuannya secara modern, karena metodologi ini dinilainya dapat menelusuri studi tentang pengetahuan mitis yang tidak hanya dibatasi dengan mentalitas lama. 

Dengan demikian, menurut  Mohammed Arkoun, pada saat ini usaha intelektual utama yang harus dipresentasikan secara luas ke dalam pemikiran tentang Islam dan tentang agama lainnya adalah bagaimana mengevaluasi karakteristik-karakteristik dari sistem ilmu pengetahuan yang historis dan mitis, dengan perspektif epistemologis yang baru.

Tujuan yang ingin diraih dengan proyek ini adalah untuk mengembangkan sebuah strategi epistemologi baru bagi bidang studi perbandingan terhadap budaya, melalui contoh yang dikembangkan oleh Islam sebagai agama dan sebagai sebuah produk sosial sejarah. Arkoun mengajukan pendekatan historis, sosiologis, dan antropologis yang dilakukannya ini bukan dengan tujuan untuk menghilangkan betapa pentingnya pendekatan teologis dan filosofis. 

Baca Juga: Mengenal Quraish Shihab, Mufasir Kebanggaan Tanah Air

Namun dengan tujuan untuk memperkaya pendekatan tersebut dengan memasukkan keadaan-keadaan historis dan sosial yang selalu dipraktekkan di dalam Islam.  Metode Arkoun ini disebutnya sebagai salah satu bentuk metode dekonstruksi. Strategi dekonstruksi tersebut hanya mungkin dilakukan dengan epistemologi modern yang kritis. 

Dengan demikian, nalar kritis seseorang harus dibebaskan dari ontologi, transendentalisme, dan substansionalisme yang mengikat, membatasi kebebasan dan memenjarakannya Terutama di dalam nalar yang dielaborasikan di dalam berbagai macam teologi melalui metafisika dan logika Yunani. 

Dalam melaksanakan proyek besar tersebut, menurut Arkoun harus dimulai dari suara atau teori yang dianggap Mohammed Arkoun memiliki otoritas. Karena hanya dia yang dapat memberikan penampakan Islam pada mentalitas modern yang ilmiah, dan sekaligus juga di dalam pengalaman keagamaan orang Islam. Dalam bahasa yang lain, agar kita dapat mengartikulasikan visi modern tentang Islam yang sekaligus bisa memberikan pengaruh pada komunitas.

(AM)

Reactions

Post a Comment

0 Comments