Ticker

6/recent/ticker-posts

Manifestasi Zuhud di Zaman Modern



SEBAGAI mahluk bergama, prestasi tertinggi seorang hamba yaitu ketika jiwanya berhasil bertemu dan menyatu dengan Sang Pencipta. Tentu tidak semua orang bisa mencapai puncak spiritual tersebut. Hanya orang-orang yang memiliki kesucian batin. Dan selama ini kita meyakini bahwa kesucian batin hanya dapat diperoleh dengan menjauhkan diri dari perkara duniawi, atau dalam istilah tasawuf dikenal dengan zuhud.

Bagi pejalan spiritual, zuhud merupakan salah satu tangga (maqam) yang harus dilewati sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pandangan umum, zuhud sering dipahami sebagai suatu sikap penolakan terhadap dunia dan segala euforianya. Urusan duniawi dianggap bisa memperkeruh hati dan menjadi sekat antara mahluk dan Sang Khalik. Hingga dalam lakunya, seseorang menjadi anti sosial, jauh dari ingar-bingar, terus menyendiri, dan enggan menengok kehidupan dunia. Seluruh hidupnya dihabiskan hanya untuk beribadah dan berzikir. 

Dalam buku Mengenal Tasawuf; Spiritualisme dalam Islam, Haidar Bagir mengatakan bahwa sekelompok muslim sempat memaknai zuhud sebagai asketisme. Pada awalnya asketisme merupakan suatu sikap biarawan atau rahib-rahib yang menyangkal kehidupan dunia dengan mengharapkan kesucian dirinya dan kemudian bisa bertemu dengan Tuhan. Dari konsep ini selanjutnya melahirkan konsep lain dalam Islam, yang kemudian zuhud dimaknai dengan faqr (kefakiran). 

Baca Juga: Sejarah Singkat Perkembangan Tasawuf

Menurut Haidar Bagir, pemahaman tersebut telah mereduksi makna esensial dari zuhud itu sendiri. Faktor yang melatarbelakanginya yaitu adanya kesalahan dalam menafsirkan hadis nabi, sehingga timbul kesalahan dalam memahami gagasan tentang zuhud dan kefakiran. Fakir dalam konteks ini bukanlah fakir kepada harta, melainkan merasa fakir (butuh dan selalu bergantung) kepada Allah. 

Namun sampai saat ini, masih banyak kaum muslim yang melakukan kesalahan, baik secara konsep maupun praktik. Zuhud masih sering dimaknai sebagai sikap anti terhadap dunia. Mereka beranggapan bahwa kebutuhan dunia tidaklah penting. Dengan hidup serba kekurangan dan meninggalkan kebutuhan duniawi, mereka merasa potensi ruhaniahnya dapat berkembang. 

Sebenarnya makna zuhud bukanlah sikap penolakan dunia beserta kesenangan-kesenangannya. Ali bin Abi Thalib mengatakan, zuhud bukanlah tidak memiliki harta, tapi tidak dimiliki (dikuasai) harta. Seseorang yang menghendaki kesucian hati tidak harus menjauh dari perkara dunia lantas menyibukkan diri untuk beribadah. Islam justru menganjurkan kita untuk bekerja keras demi kehidupan yang layak dan berkualitas. Hal terpenting adalah bagaimana agar kita tidak terbelenggu dan terjerumus kepada godaan dunia, lantas kita mengabaikan dan melupakan Allah. 

Dunia; Ladang Menuju Akhirat

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat peradaban manusia semakin maju dan berkualitas. Berbagai kemudahan didapatkan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Tatanan sosial juga berubah mengikuti arus zaman. Ciri masyarakat di zaman modern ini ditandai dengan pola hidup materialisme dan pragmatisme, yang mewujud pada pemenuhan materi (kebendaan) dan manfaat praktisnya bagi kehidupan. 

Baca Juga: Tantangan Dakwah di Era Kemajuan Teknologi

Tidak dipungkiri hal tersebut juga turut berpengaruh kepada pola hidup umat Islam. Islam sebagai agama inklusif tidak menolak arus modernisasi ini. Justru mampu menjawab tantangan zaman dengan melakukan penyesuaian. Selain itu kemajuan zaman juga besar sekali manfaatnya. Namun di sisi lain, jangan sampai kondisi ini membuat kita termanipulasi. Kita harus mampu membentengi diri kita, agar tidak melupakan kebutuhan ruhaniah dan ubudiyah.

Dalam kondisi zaman seperti ini, zuhud jika masih dipahami sebagai sikap anti dunia semakin problematis. Sikap penolakan terhadap dunia sendiri tidak dibenarkan dalam ajaran Islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad, “Dunia adalah ladang untuk kehidupan akhirat.” Dari hadis tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa zuhud di era modern adalah menjadikan dunia sebagai sarana menuju kehidupan akhirat. Apa yang kita tanam di dunia, itulah yang menjadi buah yang kita petik di akhirat kelak. 

Jika kita masih menafikan kehidupan dunia, maka yang terjadi adalah sikap individualisme, bermalas-malasan, enggan bekerja, hinga akhirnya membuat diri kita sengsara. Sementara Islam mengajarkan kita untuk kreatif, optimis, giat bekerja, dan menghindari kemalasan. Untuk dapat mendekat dengan Allah, tidak harus menjauhkan diri dari harta dan materi duniawi. Justru harta dan materi yang kita miliki dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ukhrawi. 

Baca Juga: Dinamika Hadis di Era Digital

Zuhud di era modern berarti kita harus bisa menjaga keseimbangan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Kita tetap bekerja keras sesuai dengan profesi masing-masing, asalkan tidak sampai pada level mencintai dunia (hubb ad-dunya). Tidak sedikit pun tergoda untuk mencari kesenangan dunia. Di tengah kemewahan dan gaya hidup hedonis, kita lebih memilih hidup sederhana. Memberikan bantuan kepada sesama serta memanfaatkan harta yang kita miliki untuk kepentingan agama dan sosial. Hakikat dari semuanya yakni manifestasi perilaku zuhud, menjadikan dunia untuk membuat diri kita lebih dekat kepada Allah. 

Tujuan akhir perjalanan seorang hamba adalah kehidupan akhirat. Namun jangan sampai berpikir bahwa dunia tidaklah penting. Pasalnya kehidupan di dunia dapat dimanfaatkan untuk mengantarkan kita ke singgasana terbaik di akhirat. Maka di tengah euforia dan berbagai kesenangan duniawi, kita harus bisa mengarahkan jiwa kita untuk terus terikat dengan Allah. 

(A.M)

Artikel ini pernah dimuat di lama Harakatuna

Reactions

Post a Comment

0 Comments