Ticker

6/recent/ticker-posts

Komunitas Oral dan Tradisi Menghafal Al- Qur’an


Nabi Muhammad SAW adalah penerima wahyu sekaligus pembaca Al Quran pertama. Wahyu dari Tuhan dibacakan oleh malaikat Jibril dan disampaikan kepada Nabi Muhammad. Wahyu Tuhan yang membumi itupun dihafal oleh nabi, lalu disampaikan kepada para sahabat. Dan mereka pun menghafalkannya. 

Sementara itu. Informasi mengenai jumlah maupun nama para sahabat penghafal Al Quran sangat beragam. Yang paling sering disebut antara lain: Ubai Bin Kaab, Muaz Bin Jabbal, Sayyid Ibn Tsabit dan Abu Zayd Al-Anshori.

Al Quran diwahyukan dengan bahasa ibu (mother tongue) Nabi Muhammad SAW, ‘Ar Rabiyyin Mubin, bahasa Arab dengan dialek Quraisy. Sebelum terkristal menjadi tulisan wahyu Al Quran merupakan sebentuk auditory (berupa suara). Pada masa-masa awal pewahyuan, pengalaman tentang Al- Quran bagi muslim saat itu adalah pengalaman auditory. Realitas auditory itu selalu menyentuh bagian terdalam dalam hati orang muslim, meski ia tidak bisa membaca teks Arab. 

Kemampuan menghafal bagian-bagian yang panjang bagi komunitas nabi bukanlah hal yang mengejutkan bagi para sarjana yang sudah akrab atau menguasai komunikasi dalammasyarakat oral. Penyebaran pengetahuan atau informasi melalui oral( darimulut ke mulut) di Timur Tengah merupakan hal yanglumrah dan umum, khususnya Arab. 

Sebagaimana telah diketahui wahyu yang pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW di Gua Hira’ adalah Al Quran surat Al Alaq [98];1-5, yang didalamnya terdapat perintah membaca. Kemungkinan ketidakmampuan Nabi Muhammad dalam membaca tidak menghalanginya untuk menerima wahyu tersebut, yang tidak membutuhkan literasi. Namun nabi Muhammad memiliki kemampuan menghafal yang kuat dan praktek komunikasi oral yang baik. Hal ini sejalan dengan perintah untuk membaca pada wahyu pertama Al Quran. Meski komunikasi oral merupakan sarana utama untuk mentrasmisikan selama periode pewahyuan, bukan berarti pada saat itu belum dikenal budaya tulis menulis. Tulisan memainkan peranan peting kedua dalam masyarakat Arab. Hal ini dibuktikan dengan beberapa hal.

Pertama, Al- Quran sering menggunakan kata yang terkait dengan tulis menulis yakni( kutiba atau kitabah) yangmemiliki padanan makna dengan menulis. Gagasan adanya malaikat yang mencatat segala aktivitas manusia didalam al Quran, dan gambaran orang-orang yang memiliki banyak amal sholeh akan menerima rapotnya dengan tangan kana dan akan masuk surga. 

Kedua, Sekali lagi masyarakat Arab saat itu bukanlah sebuah masyarakat yang sama sekali tidak mengenal baca tulis. Aktivitas baca tulis tela dikenal, namun penggunaannya tidaklah jelas dan hanya terbatas pada bidang-bidang tertentu saja seperti perdagangan, terutama untuk membuat perjanjian dagang ketika terlibat perdagangan dengan komunitas diluar Arab. Selain itu, di dunia seni sastra kebiasaan ini juga sudah ada, meski dalam lingkup yang sangat terbatas. Puisi-puisi Arab terbaik masa itu yang dilombakan dalam festival ukaz dituliskan dalam kain linen dari mesir dan diberi kehormatan dengan digabungkan di dinding ka’bah. 

Ketiga para sejarawan Arab yang berkutat dalam maslah ini juga menunjukkan, bahwa orang-orang Arab telah mengenal lembaga-lembaga semacam madrasah, kuttab, sejak sebelum islam datang meski jumlahnya sangat terbatas.

Keempat, meski nabi sendiri merupakan sosok yang dikenal tidak bisa baca tulis, namun aktifitas tulis menulis sedikit banyak telah dipraktekkan dalam kehidupan komunitas muslim masa awal islam, bahkan pra Islam (masa jahiliyyah). 

Perubahan budaya dalam suatu masyarakat pasti terjadi. Sebagaimana di Arab, budaya oral transmission yang mendominasi lambat laun akan diimbangi dengan tradisi tulisan sesuai kebutuhan manusia. Sedangkan yang unik dan menarik dalam khazanah islam adalah, bahwa oral traidition masih dipertahankan dengan baik, dan ini didukung kuat oleh hadits-hadits nabi Muhammad SAW. Oral tradition yang dilestarikan dengan budaya menghafal Al-Quran diperkuat dengan sanad(asal-usul belajar-mengajar siapa dengan siapa) sebagai mana banyak dilakukan dipesantren-pesantren Tahfizh al-Quran tertentu di Indonesia, seperti di Kudus.

Tidak berhenti sampai disini, tetapi Al-Quran juga turun dengan versi bacaan yang beragam. Untuk mempermudah dakwah Rasulullah memberikan legitemasi untuk  membaca al-quran  dengan tujuh huruf. Hal ini sebagaimana  ditegaskan  dalam hadis beliau “Al-Quran ditunkan atas tujuh huruf” disamping itu, beberapa indikasi adanya dispensasi munculnya bacaab dengan 7 huruf adalah, karena sebagian sahabat yang telah memeluk islam pada periode makkah mampu membaca al-qur’an dengan model bacaan seperti nabi. Sedangkan bagi mereka yang memeluk Islam pada periode itu mampu membaca Al-Qur’an seperti bacaan nabi. Sedangkan bagi mereka yang memluk islam sesudah periode itu jarang bersinggungan secara langsung dengan nabi.

Akibatnya, mereka yang berasal dari kabilah-kabilah yang berbeda yang terpencar dijazirah arab belum bisa berbahasa arab dengan fasih atau dengan dialek quraisy . maka dari itu, mereka diberi dispensasi untuk membaca al-qur’an dengan 7 huruf agar tidak memberatkan mereka. Dari kebolehan membaca dengan 7 huruf tersebut, maka lahirlah beberapa perbedaan al-qur’an  seperti idghom, idhar, imalah, dan lain sebagainya. Model bacaan tersebut bervariasi dari sisi makhroj al-huruf hingga peletakan pada harakat dan cara membacanya.

Kenyataan ini berlanjut hingga abad kedua hijriyyah dimana banyak bermunculan bacaan-bacaan yang shohih dan bacaan-bacaan lemah. Dengan beredarnya berbagai variasi bacaan Al-Qur’an, maka menarik sekali apa yang diungkan oleh abdul shobur sahim yang menegaskan bahwa saat ini bacaan-bacaan al-qur’an itu telah menajadi bagian dari sejarah al-qur’an, yang menjadi fokus perhatian para ahli nahwu, mufasir dan sejarahwan pada fase awal perkembangan islam pada masa awal islam, ide-ide writing tradition muncul dan berkembang pesat sepeninggal nabi Muhammad. Bahkan beberapa sampai abad kemudian, writing tradition berkembang menjadi press tradition.

(A.M)


Reactions

Post a Comment

0 Comments