Ticker

6/recent/ticker-posts

Chairil Tanpa Akhir

Gambar: Istimewa

KETIKA Chairil Anwar, penyair yang menyebut dirinya sebagai “binatang jalang” menulis, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”, barangkali jiwanya sudah terbakar api revolusi. Bahkan pernyataan tegas dalam puisi “Aku” yang mencerminkan sikap “lebih tidak peduli” tersebut tidak lain ialah kekuatan imajinasi dan optimisme manusia modern untuk menjangkau dan melampaui sesuatu yang tak terbatas.

Namun imajinasi penyair, sejauh dan setinggi apa pun, tetaplah sebentuk ide yang hanya bisa diekspresikan lewat bahasa. Dan setiap bahasa memiliki kekuatan yang menjadi representasi pikiran. Tetapi seringkali, pikiran (idea) manusia selalu mendua terhadap kenyataan (real) dunia, maupun sebaliknya. Di sini saya tidak ada niat sama sekali untuk menyinggung idealisme Hegel, materialisme Marx, maupun absurdisme Camus. 

Pada titiknya, manusia ialah mahluk yang memiliki batasan, dan ia selalu terbatas dengan situasi lain. Begitupun maut yang membatasi vitalitas hidup Chairil, meskipun ia tengah “mabuk” untuk hidup lebih seribu tahun. Tetapi menjelang akhir hayatnya, ia menyadari sesuatu, bahwa “hidup  hanyalah menunda kekalahan” dan manusia di hadapan takdir, “pada akhirnya akan menyerah”. 

Chairil Anwar pun harus menerima kenyataan pahit, pada 28 April 1949, ia meninggal dunia di usia yang masih muda, 26 tahun. Seperti halnya Kartini, ia segera menjadi tokoh yang dianggap telah melampaui zamannya, di mana karya dan pemikirannya berpengaruh besar bagi bangsa ini.

Baca Juga: Chairil, Sastra, dan Nasionalisme

Agaknya Chairil meninggal dunia di situasi yang tepat, setelah ia berhasil menjadi pelopor dan pembaharu puisi modern Indonesia di era 1940-an. Kehadiran sosok dan puisinya merupakan sebuah gertakan kepada otoritas yang memiliki kuasa terhadap tradisi dan bentuk sastra klasik saat itu. Chairil menggertak konstruksi yang sudah mapan dan mengakar: Pujangga Baru.

Bersama Rivai Apin dan Asrul Sani, ia menghadirkan bentuk sastra yang bukan hasil dari “kerja setengah-setengah”, tidak hanya menjadi alat yang mendukung propaganda Jepang dalam Perang Dunia II. Mereka --yang menyebut diri sebagai “Angkatan 45”, dengan gaya modernisme khas Eropa, ingin membebaskan sastra dari segala bentuk dominasi. 

Sebagaimana dikatakan Chairil, “Sebuah sajak yang menjadi adalah sebuah dunia. Dunia yang dijadikan, diciptakan kembali oleh si penyair.” Di sini, dapat ditegaskan bahwa bahasa seolah merupakan suatu entitas yang memiliki kehidupan tersendiri. Ia terpisah dari segala atribut yang melekatinya, termasuk motif sang penyair maupun makna yang terkandung di dalamnya.

Baca Juga: Mengenang Chairil dan Sapardi di Penghujung Juli

Keberanian Chairil dalam menentang hingga meruntuhkan bangunan Pujangga Baru bukanlah pekerjaan mudah. Pengaruh pemikiran dan literatur Barat begitu kuat ia lahap sehinnga dapat membentuk dirinya. Bahkan, Ajip Rosyidi pada tahun 1960, pernah mengecamnya dengan menyebut generasi Chairil, secara rohaniah bertanah air Eropa, tenggelam dalam kebudayaan internasional yang tanpa akar. 

Namun barangkali Ajip tidak melihat bahwa pada situasi saat itu, pemikiran cemerlang seorang Chairil Anwar sangatlah dibutuhkan di tengah kondisi masyarakat yang gamang, di saat nasib suatu bangsa masih “menghamba” kepada bangsa lain. Di tengah gejolak penjajahan tersebut, ia berjuang lewat puisinya, dengan penuh semangat pemberontakan dan kemerdekaan. Seperti “Siap-Sedia” yang ia tulis untuk kawan-kawan satu generasinya, setahun sebelum proklamasi: 

Kawan, kawan 
Menepis segar angin terasa
Lalu menderu menyapu awan
Terus menembus surya cahaya
Memancar pencar ke penjuru segala
Riang menggelombang sawah dan hutan 
Segala menyala-nyala!
Segala menyala-nyala!

Kawan, kawan
Dan kita bangkit dengan kesadaran 
Mencucuk menerang hingga belulang. 
Kawan, kawan
Kita mengayun ke Dunia Terang!

Puisi --yang jika kita baca-- yang memuat ajakan pemberontakan itu sempat menuai polemik. Frasa “Dunia Terang” di situ ditafsirkan sebagai Jepang. Aroma pemberontakan dan gelora kemerdekaan yang diserukan Chairil dalam puisi itu bertentangan dengan spirit kesenian yang diusung Jepang. Hingga akhirnya membuatnya mendekam di balik penjara selama tiga bulan dan ia pun gagal menjadi pembicara dalam Forum Angkatan Muda di Kantor Pusat Kebudayaan. 

Baca Juga: Chairil Anwar dan Panorama Sastra Indonesia

Kehidupan penyair jalang ini memang penuh dengan kontroversi. Namun berbagai kontroversi mengenai sosok, kisah hidup, dan karyanya, tidak sedikit pun mengurangi apresiasi terhadapnya. Peran dan pengaruhnya telah berhasil membawa napas baru yang lebih segar bagi kemajuan bahasa dan sastra kita. Menciptakan puisi modern yang lebih bebas dan tidak terikat dengan tradisi klasik yang monoton dan membuat jumud. 

Maka dari itulah, pada 28 April kemarin, kita memperingati 73 tahun kepergian Chairil Anwar sebagai Hari Puisi Nasional. Peringatan tersebut sebenarnya tidak usah terlalu meriah. Kritikus sastra Goenawan Mohamad, pada suatu waktu pernah berkata, jika seorang penyair diperingati secara meriah, pada akhirnya ia tidak jauh berbeda dengan selebriti, yang dibicarakan sosok dan kisah hidupnya yang penuh kontroversi. 

Dan pada akhirnya pula, kritik sastra akan menjadi seperti gosip dan rumor para artis yang kini beredar masif di media sosial dan menjadi santapan informasi setiap saat. Akhirnya orang-orang hanya akan mengenal dan memuja sosok, tapi tidak pernah membaca dan mengapresiasi karyanya. Bukan tidak penting untuk membicarakan riwayat sang penyair ini, namun setiap kali penyair (author) menciptakan puisi (text), bersama itu pula ia telah mati (dead). 

Mahfud AM

Reactions

Post a Comment

0 Comments