Ticker

6/recent/ticker-posts

Chairil, Sastra, dan Nasionalisme

Judul Buku: Chairil Anwar; Bagimu Negeri Menyediakan Api
Penyusun: Tim Redaksi Majalah Tempo
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta 
Tahun Terbit: Oktober, 2016

Si binatang jalang Chairil Anwar tidak pernah terlupakan dari bangsa ini. Sosoknya akan terus dikenang. Karya-karyanya selalu dibutuhkan. Kita juga tidak pernah bosan mendengar puisi-puisinya dalam setiap pelajaran bahasa, mulai SD, SMP, SMA, hingga perguruan tinggi.

Chairil hidup dalam kebebasan sekaligus kemurungan. Ia seorang bohemian, sulit diatur, tidak mau dikalahkan, tidak betah bekerja kantoran, dan sering mengunjungi kompleks pelacuran. Ia menjalani hari-hari dengan penuh penderitaan. Jauh dari kerabat, susah mendapatkan uang untuk kebutuhan hidup, serta memiliki sejumlah penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Hingga ia harus menerima nasib, meninggal dunia di usia muda, 27 tahun. 

Memang itulah jalan hidup yang dipilih Chairil. Ia sadar dan tidak menyesal dengan jalan hidup yang dipilihnya. Namun di sisi lain, di balik “keliarannya”, ia seorang kutu buku, berwawasan luas, daya pikirnya tajam, idealismenya tinggi, dan rela mengabdikan hidupnya untuk seni. Dari tangannya telah lahir karya-karya yang sangat berarti dan berhasil memberikan pengaruh besar bagi perkembangan bahasa dan sastra Indonesia.
 
Tidak salah jika tim redaksi majalah Tempo tertarik dengan Sosok Chairil Anwar kemudian mengungkap kehidupannya dalam sebuah buku berjudul Chairil Anwar Bagimu Negeri Menyediakan Api. Dalam buku tersebut Tempo bahkan menilai Chairil adalah seorang pahlawan. “Seroang pahlawan tak harus diangkat dari kalangan militer. Tidak wajib pula dimunculkan dari kaum politikus. Dia juga bisa datang dari sosok bohemian yang hidupnya di jalanan. Menggelandang dari satu tempat ke tempat lain, mengidap penyakit tifus dan disentri, tetapi pemikiran-pemikkiran dan gairah ciptanya menyala-nyala,” (halaman2).
  
Setiap perayaan ulang tahun kemerdekaan, Tempo rutin menerbitkan buku yang mengangkat dan mengulas satu tokoh yang berpengaruh bagi bangsa ini. Jika biasanya yang dijadikan figure adalah sosok politikus dan negarawan seperti Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sultan Sjarhrir, namun pada 2016 lalu Tempo mengulas tuntas sosok penyair Chairil Anwar. Mulai dari masa kanak-kanak di Medang, kepindahannya ke Jakarta, sampai ia meninggal dunia. Dikupas pula tentang kondisi keluarganya, hubungannya dengan para sahabat, peran dan pengaruhnya di masa itu,  serta proses dan perjalanannya menjadi penyair. 

Sejak kecil di Medan Chairil sudah gemar membaca buku. Bahkan wawasannya di MULO (sekolah pada masa kolonial setingkat SMP) melampaui teman-teman sebayanya. Ia melahap buku-buku sastra, sejarah, ekonomi, kebudayaan yang diperuntukkan siswa HBS (sekolah pada masa kolonial setingkat SMA). Ia juga banyak membaca buku-buku sastra berbahasa asing. Sejak itulah ia mulai menekuni dan menaruh perhatian terhadap dunia sastra. 

Pada tahun 1943 ia pindah ke Jakarta bersama ibunya. Lingkunggan dan kultur kehidupan di Jakarta membuat potensinya semakin terlihat. Ia bergaul dengan banyak tokoh sesama sastrawan, seperti Sutan Takdir, H.B Jassin, Asrul Sani , dan Rivai Apin.  Di sisi lain situasi dan desakan pada masa kemerdekaan juga turut membentuk karakter kepenyairan Chairil Anwar.

Pembaharu Sastra Indonesia

Chairil Anwar dikenal sebagai pelopor perpuisian modern Indonesia. Dalam menulis puisi, ia berani berlawanan dengan gaya kepenyairan Pujangga Baru yang saat itu masih menggunakan bahasa Melayu Klasik dan terikat dengan struktur penulisan yang baku. Chairil membawa kebaruan, berani tampil dengan puisi yang cenderung bebas dan individualis. Menggunakan gaya bahasa yang segar serta tidak ragu memasukkan bahasa daerah dan bahasa lisan ke dalam puisinya.

Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan guru besar Fakultas Ilmu Budaya UI mengatakan bahwa kehadiran sajak-sajak Chairil merupakan perlawanan terhadap estetika Pujangg Baru. Menurutnya, Chairil memiliki kehebatan dalam menggunakan bahasa baru dan memasukkan kosa kata baru. “Jadi menghargai Chairil adalah menghargai usahanya mengangkat bahasa baru,” kata Sapardi, (halaman 5). 

Tidak hanya sastra, Chairil juga memiliki peran dalam perkembangan bahasa Indonesia. Pada tahun 1940-an bahasa Indonesia ibarat bangunan yang belum lengkap. Tidak memiliki tatanan baku, mengalami banyak pergantian ejaan, dan masih berusaha melepaskan diri dari bahasa daerah yang menjadi bahasa utama hampir seluruh masyarakat Indonesia. Kritikus sastra A. Teeuw mengungkapkan, sumbangan terbesar Chairil adalah keberhasilannya meyakinkan bahwa bahasa Indonesia yang pada saat itu masih amat muda, ternyata merupakan bahasa yang menyimpan tenaga besar. “Hal yang menakjubkan bagi puisinya adalah puisi itu mematangkan bahasa Indonesia yang belum matang dan belum cukup digerakkan,” katanya (Halaman 3). 

Chairil dengan puisi-puisinya yang bebas dan individualis telah menciptakan kebaruan dalam sastra Indonesia. Ia berhasil meruntuhkan Pujangga Baru dan membentuk gerakan kesusasteraan yang dinamai Angkatan ‘45. Kritukus sastra H.B. Jassin mencatat, sepanjang hidupnya, Chairil telah membuat 94 tulisan. Terdiri dari 70 sajak asli, 4 sajak saduran, 10 sajak terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Meskipun terhitung sedikit dibanding dengan penyair lain, tetapi gaya kepenyairan Chairil menjadi awal terciptanya puisi modern dan mempengaruhi puisi-puisi para penyair Indonesia setelahnya. 

Di Tengah Revolusi Kemerdekaan


Chairil hidup ketika bangsa ini sedang berjuang melawan penjajahan Jepang. Pada waktu itu Jepang tidak hanya menguasai negara secara politik dan ekonomi, tetapi juga dalam bidang kesenian. Jepang mendirikan Pusat Kebudayaan untuk mewadahi dan memfasilitasi para seniman, termasuk sastrawan Pujangga Baru. Namun di sisi lain memiliki mengendalikannya sebagai alat propaganda untuk mendukung Jepang dalam Perang Dunia II. 

Melihat hal tersebut, Chairil mengecam dan mengkritik Angkatan Pujangga Baru. Menurutnya dalam berkesenian haruslah membebaskan diri dari segala bentuk hegemoni. Di balik sosoknya yang bohemian, Chairil adalah seorang penyair yang memiliki kecintaan terhadap bangsanya sendiri. Dalam pidatonya di Pusat Kebudayaan pada 7 Juli 1943, ia menentang segala bentuk kolonialisme Jepang, termasuk dalam bidang kesenian. 

Chairil dekat dan bergaul dengan banyak orang, tidak terkecuali para tokoh pergerakan nasional. Ia merupakan keponakan Sultan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia. Dengan begitu ia juga turut berjuang dalam kemerdekaan. Ia pernah menjadi kurir yang menyampaikan informasi dari Sjarhir. 

Melalui puisi-puisinya, Chairil mengungkapkan jiwa nasionalismenya dan menggelorakan semangat bangsa Indonesia untuk melawan penjajah. Seperti dalam puisi “Diponegoro”, “Prajurit Jaga Malam”, dan “Persetujuan dengan Bung Karno.” Rahmat Djoko Pradopo, mantan guru besar Fakultas Ilmu Budaya UGM mengatakan bahwa suasana kemerdekaan yang bergojelak tentu akan memberikan pengaruh kepada orang yang berada di zaman tersebut. "Puisinya sangat nasionalis. Bagaimana pun, seorang penyair akan terpengaruh oleh suasana politik zaman itu,” ujarnya, (halaman 71). 

Chairil tidak hanya menulis puisi imajinatif belaka. Ia tidak hanya bersembunyi di belakang meja, menenggelamkan diri di balik kertas dan pena. Tetapi ia juga terjun dalam hiruk-pikuk revolusi. Bahkan ia juga pernah terlibat langsung dalam pertempuran yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli 1947. Pada peristiwa tersebut banyak orang meninggal dan mayat-mayat jatuh bergelimpangan di mana-mana. Lalu Chairil mengabadikan momen tersebut ke dalam puisi “Krawang-Bekasi.” 

Demikian buku Chairil Anwar Bagimu Negeri Menyediakan Api ini bisa menjadi bahan untuk mengenal dan mendekati sosok Chairil Anwar. Buku ini memiliki kelebihan tersendiri yang tidak dimiliki buku-buku lainnya. Dalam buku ini informasi disajikan dengan detail dan data yang diperoleh terbilang akurat, karena menyertakan banyak narasumber. Dalam prosesnya, tim redaksi Tempo melakukan penelusuran, wawancara, observasi, dan riset mendalam mengenai segal hal yang menyinggung kehidupan Chairil Anwar. Sementara itu gaya feature khas Tempo yang digunakan dalam penulisan buku ini dapat membawa pembaca ikut merasakan situasi dan kondisi yang dialami Chairil pada masa gejolak kemerdekaan bangsa Indonesia.


Reactions

Post a Comment

0 Comments