Ticker

6/recent/ticker-posts

Mengenang Chairil dan Sapardi di Penghujung Juli

Bulan Juli menitikkan separuh ingatan saya pada tanggal 26 dan 19. Seketika bayangan Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono muncul di dalam benak. Dua hari tersebut masing-masing menandai dua penyair besar tanah air yang karya-karyanya berhasil memukau saya selama ini. 

Di dalamnya, tertaut peristiwa yang menghadirkan suasana girang sekaligus malang; menjadi hari bagi awal kehidupan Chairil dan akhir kehidupan Sapardi. Tepat pada tanggal 26 Juli 1922, Chairil membuka mata pertama kali di negeri yang masih belum mampu menentukan nasibnya. Sementara 19 Juli tahun 2020 lalu, Sapardi menghembuskan napas terakhir hingga mulutnya tidak mampu lagi mengucapkan sebait puisi. 

Dalam dua pekan terakhir di bulan ini, kita diingatkan dengan kelahiran dan kematian dua sosok yang menjadi poros perkembangan sastra Indonesia. 

Baca Juga: Chairil Anwar dan Panorama Sastra Indonesia

Di tengah derita dan kelaparan karena wabah covid-19, tidak menyurutkan niat para pencinta puisinya untuk mengapresiasi sosok dan karyanya. Pada dasarnya dua pencipta puisi tersebut memang layak dikenang karena memiliki pengaruh dan sumbangsih besar dalam khazanah kesusasteraan kita. Lagipula banyak yang merelakan waktunya dengan ikut merayakan dua nama yang mengabdikan hidupnya untuk puisi.

Hidup di tengah kemajuan teknologi informasi membuahkan beragam cara yang dapat dilakukan untuk mengenang kelahiran Chairil dan kematian Sapardi. Internet dan media sosial menjadi wahana para pencinta puisi untuk mengakrabkan diri dengan dua pujangga kebanggan. Hingga membuncahlah pesta dan perayaan puisi dengan riuhnya pada dua pekan terakhir di bulan Juli ini. 

Meskipun keduanya telah tiada, puisinya akan terus dibaca dan dihafal, dikaji dan diteliti, dikutip lalu dipamerkan, bahkan dialihwahanakan dalam bentuk rupa dan suara. Puisi Chairil Anwar dan Sapardi tidak hanya dijadikan bahan pembelajaran di sekolah-sekolah, melainkan sudah menjadi teman akrab kala dirundung sepi. Membaca puisi berbeda dengan membaca teks lain, karena emosi dan perasaan turut berperan bersama interpretasi dan pemaknaan. Hingga seni pada setiap diksi yang agung itu dapat menyentuh dan melembutkan jiwa. 

Bagi saya, puisi Chairil dan Sapardi adalah dua wajah yang tidak sama dan saling beroposisi. Keduanya punya karakter, sikap, dan kecenderungan yang berbeda-beda. Memang benar kata Chairil, bahwa “nasib adalah kesunyian masing-masing”.


Chairil yang hidup di tahun 1940-an, ketika api revolusi sedang membara dalam tubuh negeri ini, jika menengok puisi-puisinya, syarat terkandung semangat pemberontakan dari jiwa yang jalang. Biar peluru menembus kulitku/ Aku tetap meradang menerjang. Puisi “Aku” dengan lantang dan tegas, mencoba mendobrak tatanan kepenyairan lawas yang dirintis Pujangga Baru. Sang “Binatang Jalang” berkehendak membebaskan dirinya dan puisinya dari segala keterbelengguan.

Sementara Sapardi, memulai kepenyairannya pada masa 1970-an. Agaknya ia mencoba dan memilih bentuk lain meskipun pada saat itu Indonesia sedang di bawah rezim otoriter Orde Baru. Puisi Sapardi bertutur dengan narasi lembut dan teratur, berbeda dengan Chairil. 

Dalam mengungkapkan gagasannya, Sapardi lebih sering menggunakan diksi sederhana dengan alegori khas alam dan benda-benda yang dijumpai sehari-hari. Ia tetap meneruskan puisi lirik yang diwariskan Chairil, dengan bahasa melankoli. Salah satu puisinya yang paling terkenal dan banyak dikutip yaitu “Aku Ingin”.

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Dalam tafsir saya, puisi itu bukanlah ungkapan perasaan cinta. Karena sang api harus menerima kenyataan bahwa kayu yang dicintainya sudah menjadi abu sebelum ia sempat mengucapkan kata cintanya. Namun, barangkali cinta yang teramat dalam itu tidak pernah sirna, masih menetap di dalam dada, mesikpun hujan telah menjadikan awan tiada. Seperti halnya dalam puisi Sapardi yang lainnya: “Aku mencintaimu/ Itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu”.


Cinta bagi Sapardi adalah suatu anugerah suci dalam hidup yang harus disikapi dengan ketulusan dan keikhlasan. Tentu ini berbeda dengan Chairil. Ia menilai cinta sebagai sebuah konflik, risiko, chaoitik. Baginya, “Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar”.

Semasa hidupnya, Chairil memang terbiasa mengagumi banyak perempuan. Namun ia sering ditentang perempuan karena dianggap “Tak Sepadan”. Dan sang penyair pun menuliskan patah hatinya dengan lirik yang gagah:

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka

*****
Sepanjang pembacaan saya terhadap puisi-puisi Chairil Anwar dan Sapardi Djoko Damono, tampak adanya perbedaan, mulai pemilihan diksi, bentuk dan tipografi, serta kecenderungan tema yang digarap. Diksi yang digunakan Chairil sangat rapat dan padat, sementara Sapardi utuh dan rapi. Puisi Chairil bernada kemalangan, kemurungan, dan kesuraman, yang dibarengi dengan eksistensi pemberontakan manusia. Sementara puisi Sapardi berbunyi ketulusan, kesederhanaan, dan kebahagiaan, yang berasal dari penerimaan manusia akan hakikat hidup.

Namun dengan karakter kepenyairan yang berbeda-beda, karya-karya Chairil dan Sapardi berhasil membawa corak baru dalam gelanggang sastra Indonesia. Satu seruan untuk kita di penghujung Juli, jangan biarkan Chairil “mampus dikoyak-koyak sepi” dan Sapardi “menangis sepuas-puasnya”. 

Mahfud Al- Buchori

*) Esai ini pernah dimuat di laman Ideapers 
Reactions

Post a Comment

0 Comments