Ticker

6/recent/ticker-posts

Chairil Anwar dan Panorama Sastra Indonesia


Bagi seseorang yang pernah menempuh pendidikan formal pasti kenal dengan nama Chairil Anwar. Kalau pun tidak, minimal mereka pernah membaca atau mendengar puisinya. Hal ini lantaran beberapa puisinya disajikan dalam pelajaran Bahasa Indonesia, baik dari tingkat SD sampai perguruan tinggi. Chairil Anwar sendiri adalah sastrawan kelahiran Medan yang karya-karyanya sangat fenomenal.  
          
Jika kita membaca puisi Chairil, tentunya sangat berbeda dengan puisi para sastrawan sebelum-sebelumnya. Perbedaan itu bisa dilihat dari keterikatan rima, gaya bahasa yang digunakan, serta subtansi dari puisi tersebut. Eksistensi puisi Chairil pun membawa genre baru dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Sastra yang awalnya terikat oleh bentuk aturan baku dan lebih condong menggunakan bahasa Melayu Klasik, berubah menjadi sastra yang bebas dan merepresentasikan jati diri bahasa Indonesia yang sesungguhnya. 

Pengaruh sastrawan yang dijuluki ‘Binatang Jalang’ terhadap dunia bahasa dan sastra Indonesia memang sangatlah besar. Maka wajar saja jika H.B. Jassin, seorang kritikus yang dijuluki ‘Paus Sastra’ Indonesia melabelinya sebagai pelopor Angkatan ‘45. Sedangkan karya Chairil yang paling terkenal adalah “Aku”, yang tercatat sebagai salah satu dari 101 puisi yang diabadikan pada dinding bangunan di kota Leiden, Belanda.   

Nama Sastrawan yang Terabaikan 
          
Selain Chairil, beberapa nama hebat penah menghiasi dunia sastra Indonesia. Di antaranya adalah Rendra, Goenawan Mohamad, Sutardji, Seno Gumira, Sapardi Djoko Damono, dan masih banyak lagi. Mereka juga mempunyai karya-karya yang luar biasa, dan bahkan beberapa diterjemahkan ke dalam bahasa asing. Contohnya adalah buku Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono dan Saksi Mata karya Seno Gumira. 
           
Namun yang menjadi masalahnya adalah, apakah masyarakat sekarang mengenal deretan nama di atas? Ketika saya bertanya kepada beberapa teman saya, sebagian dari mereka bahkan tidak tahu satu di antara deretan nama tersebut. Hal ini karena mereka lebih suka membaca status dan postingan di beranda media sosial daripada membaca karya para sastrawan kita. Sungguh keadaan yang ironis sekali. Padahal, sastra merupakan produk budaya Indonesia yang mestinya diapresiasi. 
          
Hal yang demikian menunjukkan bahwa masyarakat begitu apatis terhadap perkembangan sejarah Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan warisan nenek moyang yang seharusnya dilestarikan. Dan salah satu caranya yaitu dengan mengapresiasi karya para sastrawan Indonesia. Jika karya para sastrawan kita saja dibaca dan dinikmati negara asing, mengapa kita sendiri tidak melakukannya? 

Mengenang Kematian Chairil Anwar
          
Siapa yang akan menyangka bahwa Chairil Anwar meninggal di usia muda? Mungkin sebagian masyarakat tidak tahu atau pun tidak mau tahu bahwa sastrawan besar ini meninggal pada tanggal 28 April 1949 di usia yang ke-26. Sungguh usia yang terbilang muda bagi seseorang yang mempunyai bakat luar biasa.              
          
Bagaimana pun, Chairil Anwar adalah sosok yang memberikan pengaruh besar bagi bangsa ini. Bukti nyatanya adalah nama Chairil Anwar terdaftar dalam buku 100 Tokoh yang Mengubah Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit Narasi Yogyakarta pada tahun 2006. Selain itu, di dalam majalah Tempo edisi 21 Agustus 2016, Chairil menjadi tokoh penting pada momen lepasnya Indonesia dari cengkeraman Jepang. 
           
Maka untuk mengenang wafatnya Chairil, pada tanggal 28 April diperingati sebagai Hari Puisi Nasional. Pada hari itu juga ucapan “Selamat Hari Puisi Nasional” dan postingan puisi Chairil Anwar bertebaran di media sosial. Sementara itu, berbagai event seperti seminar, perlombaan, diskusi, maupun hal lain yang berbau sastra digelar oleh masyarakat yang benar-benar peduli dengan sastra.  
          
Mengenang kematian Chairil Anwar dapat dilakukan dengan mengapresiasi karya-karya para sastrawan di Indonesia. Karena pada dasarnya, Chairil dan sastra merupakan satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Salah satu cara mengapresiasi sastra adalah dengan membaca karya para sastrawan kita. Sementara itu, perpustakan juga harus menyediakan bahan bacaan yang berupa karya sastra.  
          
Sejatinya, banyak sekali manfaat dan pelajaran yang bisa didapatkan dari membaca karya sastra. Di dalam sastra sendiri itu pun ada yang namanya amanat atau nilai-nilai positif yang disampaikan pengarang kepada pembaca melalui karyanya. Setelah membaca, kita akan mengetahui bagaimana pesan dan pelajaran yang terkandung di dalamnya. 
          
Selain sebagai pelajaran, sastra juga dapat dijadikan sebagai media untuk mengkritik pemerintah yang ‘kurang benar’. Salah satu sastrawan yang kerap menyindir dan mengkritik pemerintah adalah W. S. Rendra. Hal itu pun bisa diterapkan di zaman sekarang. Semoga saja sastra akan membuat pemerintah sadar dan peduli dengan nasib rakyatnya. Hingga pada akhirnya, Indonesia akan makmur dan sejahtera.  
           
70 tahun Chairil Anwar telah tiada, namun dia akan tetap hidup dalam karya-karyanya yang abadi sampai sekarang, bahkan seribu tahun lagi. Hal ini sesuai dengan harapan yang ditulisnya dalam larik terakhir puisi “Aku” yang berbunyi, “Aku mau hidup seribu tahun lagi”.

(A.M)
Reactions

Post a Comment

0 Comments