MEDIA SOSIAL hari ini tidak hanya sebatas medium komunikasi massa, melainkan sudah menjadi arena pertarungan wacana. Tingginya intensitas penggunaan media sosial membuat produksi wacana yang paling masif mampu menempati ruang khusus yang dapat menggiring opini publik. Pola informasi yang ramai dan menjadi tren dapat menyebabkan penggunanya terpengaruh lantas mengafirmasi wacana yang berkembang sebagai kebenaran yang harus diikuti.
Salah satu wacana di media sosial yang berhasil merebut persepsi publik yaitu perihal kecantikan perempuan. Kita dapat menyaksikan sendiri potret perempuan ‘cantik’ yang selalu muncul dan menyesaki beranda ruang maya. Di sanalah tempat perempuan menunjukkan citra visual melalui foto-foto yang menarik. Identitas diri dan simbol kecantikan yang ditampilkan berupa wajah cerah, kulit putih, tubuh tinggi dan langsing, serta rambut lurus dan panjang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa citra semacam ini telah berhasil membentuk konstruksi kecantikan perempuan di mata publik. Tampilan fisik dan keindahan visual menjadi tolok ukur atau standar ideal kecantikan yang berlaku dalam masyarakat. Cantik seolah-olah hanya diukur dari karakter tubuh dan fisik yang hanya dinilai menggunakan mata. Sementara perempuan yang tidak berkulit putih maupun bertubuh langsing diangap tidak ideal.
Tidak tanggung-tanggung, standar kecantikan yang sudah melekat ini membuat para perempuan terus merawat tubuh fisiknya. Sedangkan perempuan yang tidak sesuai dengan konsepsi ini akan merasa insecure, sehingga melakukan berbagai treatment. Misalnya dengan diet dan olahraga ketat, rutin memakai produk kosmetik, maupun perawatan ke salon dan klinik kecantikan. Semua dilakukan agar si perempuan dapat terlihat cantik sesuai dengan standar yang berlaku.Â
Produksi Wacana Kecantikan
Michel Foucault, filsuf postmodern asal Perancis menilai bahwa fenomena tersebut dipengaruhi oleh adanya relasi kuasa. Kecantikan perempuan yang sudah menjadi episteme atau kesepakatan bersama tidaklah tercipta secara alamiah. Hal ini karena media terus-menerus memproduksi wacana yang diikuti dan dipertahankan masyarakat. Kecantikan yang diukur dari indikator fisik semata tidak lain dipengaruhi sistem produksi wacana tersebut.Â
Sebelum wacana ini disepakati, media massa terlebih dahulu menampilkan sosok perempuan yang menonjolkan citra visual seperti kulit putih, rambut lurus, dan tubuh langsing. Citra seperti ini terus diproduksi dan disebarkan melalui televisi, koran, maupun media digital internet. Di sini, industri media memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk persepsi publik tentang sosok perempuan ideal. Potret perempuan dalam iklan dan film menjadi konsumsi masyarakat yang selanjutnya diyakini bahwa cantik haruslah mengikuti gambaran tersebut.Â
Menurut Foucault, wacana perempuan cantik yang ditentukan dari bentuk fisik dapat bertahan langgeng karena sistem disiplin yang menekan perempuan untuk mematuhi wacana tersebut. Dalam hal ini, masyarakat berperan sebagai panopticon yang dapat melanggenggkan kontrol. Ketika seseorang merasa minder setelah melihat foto temannya yang cantik di media sosial, di sinilah mekanisme panopticon bekerja. Sang perempuan seolah menjadi tahanan yang dikelilingi wacana kecantikan serta diawasi dan diperhatikan orang lain.Â
Baca Juga: Disrupsi Kesehatan Mental Dampak Covid-19
Tidak hanya berhenti di situ, relasi kuasa ini akan terus berlanjut sampai si perempuan memiliki keinginan untuk mengubah bentuk tubuh dan tampilan fisiknya. Lantas melakukan berbagai macam usaha agar sesuai dengan standar kecantikan yang telah disepakati. Akhirnya para perempuan berlomba-lomba mempercantik diri dengan diet dan olahraga untuk melangsingkan tubuh, melakukan perawatan di salon dan klinik kecantikan, atau bahkan samai operasi plastik.
0 Comments