Ticker

6/recent/ticker-posts

Perempuan dalam Konstruksi Wacana Kecantikan

MEDIA SOSIAL hari ini tidak hanya sebatas medium komunikasi massa, melainkan sudah menjadi arena pertarungan wacana. Tingginya intensitas penggunaan media sosial membuat produksi wacana yang paling masif mampu menempati ruang khusus yang dapat menggiring opini publik. Pola informasi yang ramai dan menjadi tren dapat menyebabkan penggunanya terpengaruh lantas mengafirmasi wacana yang berkembang sebagai kebenaran yang harus diikuti.

Salah satu wacana di media sosial yang berhasil merebut persepsi publik yaitu perihal kecantikan perempuan. Kita dapat menyaksikan sendiri potret perempuan ‘cantik’ yang selalu muncul dan menyesaki beranda ruang maya. Di sanalah tempat perempuan menunjukkan citra visual melalui foto-foto yang menarik. Identitas diri dan simbol kecantikan yang ditampilkan berupa wajah cerah, kulit putih, tubuh tinggi dan langsing, serta rambut lurus dan panjang.

Tidak dapat dipungkiri bahwa citra semacam ini telah berhasil membentuk konstruksi kecantikan perempuan di mata publik. Tampilan fisik dan keindahan visual menjadi tolok ukur atau standar ideal kecantikan yang berlaku dalam masyarakat. Cantik seolah-olah hanya diukur dari karakter tubuh dan fisik yang hanya dinilai menggunakan mata. Sementara perempuan yang tidak berkulit putih maupun bertubuh langsing diangap tidak ideal.

Tidak tanggung-tanggung, standar kecantikan yang sudah melekat ini membuat para perempuan terus merawat tubuh fisiknya. Sedangkan perempuan yang tidak sesuai dengan konsepsi ini akan merasa insecure, sehingga melakukan berbagai treatment. Misalnya dengan diet dan olahraga ketat, rutin memakai produk kosmetik, maupun perawatan ke salon dan klinik kecantikan. Semua dilakukan agar si perempuan dapat terlihat cantik sesuai dengan standar yang berlaku. 

Produksi Wacana Kecantikan

Michel Foucault, filsuf postmodern asal Perancis menilai bahwa fenomena tersebut dipengaruhi oleh adanya relasi kuasa. Kecantikan perempuan yang sudah menjadi episteme atau kesepakatan bersama tidaklah tercipta secara alamiah. Hal ini karena media terus-menerus memproduksi wacana yang diikuti dan dipertahankan masyarakat. Kecantikan yang diukur dari indikator fisik semata tidak lain dipengaruhi sistem produksi wacana tersebut. 

Sebelum wacana ini disepakati, media massa terlebih dahulu menampilkan sosok perempuan yang menonjolkan citra visual seperti kulit putih, rambut lurus, dan tubuh langsing. Citra seperti ini terus diproduksi dan disebarkan melalui televisi, koran, maupun media digital internet. Di sini, industri media memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk persepsi publik tentang sosok perempuan ideal. Potret perempuan dalam iklan dan film menjadi konsumsi masyarakat yang selanjutnya diyakini bahwa cantik haruslah mengikuti gambaran tersebut. 

Menurut Foucault, wacana perempuan cantik yang ditentukan dari bentuk fisik dapat bertahan langgeng karena sistem disiplin yang menekan perempuan untuk mematuhi wacana tersebut. Dalam hal ini, masyarakat berperan sebagai panopticon yang dapat melanggenggkan kontrol. Ketika seseorang merasa minder setelah melihat foto temannya yang cantik di media sosial, di sinilah mekanisme panopticon bekerja. Sang perempuan seolah menjadi tahanan yang dikelilingi wacana kecantikan serta diawasi dan diperhatikan orang lain. 

Baca Juga: Disrupsi Kesehatan Mental Dampak Covid-19

Tidak hanya berhenti di situ, relasi kuasa ini akan terus berlanjut sampai si perempuan memiliki keinginan untuk mengubah bentuk tubuh dan tampilan fisiknya. Lantas melakukan berbagai macam usaha agar sesuai dengan standar kecantikan yang telah disepakati. Akhirnya para perempuan berlomba-lomba mempercantik diri dengan diet dan olahraga untuk melangsingkan tubuh, melakukan perawatan di salon dan klinik kecantikan, atau bahkan samai operasi plastik.

Menggugat Standar Kecantikan

Makna kecantikan yang direduksi hanya sebatas fisik semata telah membelenggu kebebasan perempuan. Produksi dan konstruksi wacana di media massa membuatnya berada dalam kontrol, sehingga menekan dirinya untuk mengikuti standar yang berlaku. Kondisi ini sejatinya telah menyubordinasikan perempuan sebagai objek yang dieksploitasi, yang dalam impresinya dapat mengeluarkan banyak biaya perawatan demi mendapatkan legitimasi sebagai perempuan cantik.

Cara berpikir dan pola perilaku perempuan seperti inilah yang digugat Simon De Beauvoir, filsuf feminis-eksistensialis asal Perancis. Ia menegaskan bahwa apabila perempuan masih memegang standar kecantikan hasil konstruksi media, maka akan selamanya menjadi objek pasif yang terus dikontrol dan dieksploitasi demi kepentingan bisnis pemilik media maupun perusahaan kosmetik. Padahal perempuan memiliki kebebasan untuk memilih, termasuk tidak mengikuti standar kecantikan yang sudah disepakati tanpa mengetahui esensinya. 

Dalam posisi seperti ini, langkah yang harus dilakukan perempuan yaitu membebaskan pikiran dari kontrol media dan masyarakat dengan tidak mudah mengafirmasi wacana kecantikan yang direduksi hanya sebatas tubuh dan fisik semata. Agar mampu terbebas dari objektivikasi ini, perempuan juga harus menyadari makna tubuhnya. Karena tubuh ialah elemen dasar yang membentuk eksistensi diri seorang perempuan.


Kesadaran akan makna tubuh dapat diwujudkan melalui proses berpikir rasional sebagai wujud eksistensi manusia. Karena pola pikirlah yang menjadi landasan seorang perempuan agar tidak tunduk dengan segala dominasi sehingga mampu terbebas dari belenggu. Beauvoir mengatakan, tubuh perempuan bukanlah benda, melainkan sebuah situasi. Bukanlah realitas yang stagnan dan statis, melainkan pembentuk eksistensi yang dinamis.

Dalam konteks demikian, standar kecantikan yang dinilai dari faktor fisik semata terjadi karena objektivikasi yang muncul akibat tubuh perempuan hanya diposisikan sebagai benda. Menurut Beauvior, perempuan harus dibebaskan untuk menjadi subjek yang aktif dan autentik yang dapat mengaktualisasikan eksistensinya. Mampu menyadari bahwa pada dasarnya mereka tidak terikat dengan segala stereotipe, termasuk standar kecantikan yang sudah menjadi common sense.


Namun hal yang menyebabkan perempuan terjebak dalam mitos kecantikan ini ialah, ketundukan terhadap produksi wacana tanpa mempertanyakan makna dan esensinya. Secara normatif menilai bahwa standar kecantikan perempuan harus sesuai dengan citra visual yang digambarkan media. Padahal jika mampu mengenali karakter dirinya sendiri dan memaknai bagaimana idealnya seorang perempuan, pastinya tidak terpengaruh dengan standar yang membelenggunya.
 
Hal terpenting yang dapat membuat perempuan tidak mudah tunduk terhadap wacana di media yaitu dengan menerima kekurangan dan kelebihan sebagai jalan pembebasan. Tidak mudah terpengaruh dengan citra dari luar sehingga lebih menghargai identitasnya dalam kondisi apa pun tanpa membandingkannya dengan perempuan lain. Selain itu menyadari bahwa ada yang lebih agung dari sekadar mempercantik tubuh, yaitu meningkatkan karakter dan pengetahuan. 

Namun pada dasarnya semua ini kembali menjadi pilihan masing-masing. Memilih mengikuti konstruksi kecantikan yang justru membelenggu, ataukah menentukan sendiri makna kecantikan sesuai dengan karakter yang dimiliki. Tapi ada satu hal yang pasti, perempuan juga mahluk yang memiliki kuasa atas tubuhnya, bebas berkehendak sesuai dengan nalurinya, serta berhak menentukan pilihannya masing-masing tanpa intervensi dari pihak manapun. 

Mahfud Al-Buchori

*) Artikel ini pernah dipublikasikan di Omong-omong
Reactions

Post a Comment

0 Comments