Ticker

6/recent/ticker-posts

Gaya Hidup Pandemi Bekal Hadapi Perubahan Iklim

Ilustrasi: Pinterest

TIDAK TERASA, tahun 2021 telah berakhir dan kini kita tengah menjalani awal tahun baru 2022. Apresiasi perlu disampaikan kepada setiap insan yang mampu bertahan atau survive mengarungi tahun 2020 dan 2021.  Pasalnya itu menjadi tahun yang sangat berat karena imbas pandemi yang cukup mempora-porandakan berbagai sektor kehidupan. 

Kita tentu ingat masa terberat yang kita hadapi pada pertengahan 2021 lalu. Ketika gelombang kedua Covid-19 melanda dunia mencatatkan angka penularan dan kematian yang sangat tinggi. Di Indonesia sendiri sempat tertimpa hantaman gelombang ke 2 tersebut. Hingga pemerintah memberlakukan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) untuk Jawa-Bali pada Juli 2021 hingga saat ini dengan level yang diturunkan.

Memasuki akhir 2021, para ahli dan sejumlah lembaga kesehatan global, termasuk WHO, mengemukakan pendapat yang cukup meberikan harapan bagi kita, yakni prediksi akhir pandemi di tahun 2022. Direktur WHO Regional Eropa, Hans Klunge memprediksi pandemi COVID-19 akan berakhir pada awal tahun 2022. Dia optimistis pada saat itu pembatasan sosial tidak diperlukan lagi, (Kumparan). 

Baca Juga: Bersatu Melawan Pandemi Covid-19

Meskipun pada saat yang sama pula, dunia kembali dikejutkan dengan temuan varian baru bernama Omicron yang muncul di daratan Afrika, yang memiliki penularan lebih cepat daripada varian lainnya. Meskipun demikian tingkat gejala yang tidak separah dan seganas dengan varian sebelumnya. Meskipun begitu, optimisme akan berakhirnya pandemi di tahun 2022 ini tetap mengemuka. Tentunya hal ini didasarkan pada upaya vaksinasi yang terus ditingkatkan kecepatannya dengan target 75 persen warga dunia akan mendapatkan vaksinasi di tahun 2022 ini.

Kita mungkin boleh optimis dan sedikit lega dengan kabar prediksi berakhirnya Pandemi Covid-19 tersebut. Namun kita perlu menyadari bahwa di tahun 2022 ini juga diprediksi sebagai awal potensi ancaman baru bagi kehidupan di muka bumi, yakni pemanasan global dan perubahan iklim. Bill Gate menyatakan bahwa ancaman yang bisa lebih buruk dari pandemi Covid-19 adalah perubahan iklim. "Seburuk apapun pandemi ini, perubahan iklim bisa lebih buruk," ujarnya dalam artikel berjudul "COVID-19 is awful. Climate change could be worse" di blog pribadinya. 

Senada dengan bos besar Microsoft itu, hal sama juga disampaikan oleh Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani. Dalam acara peluncuman buku "25 Tahun Kontan; Melintasi 3 Krisis Multidimensi", Sri Mulyani  menyatakan bahwa perubahan iklim dan distrupsi digital menjadi ancaman yang mengintai masa depan kehidupan bangsa-bangsa di dunia setelah Pandemi, (Kontan TV). Hal diatas tampaknya sudah cukup untuk menggambarkan betapa perubahan iklim perlu menjadi perhatian bangsa-bangsa di dunia yang juga perlu disadari dan dimitigasi seserius mungkin. 

Indikasi Peningkatan Ekstrime Pata Suhu Bumi di Akhir 2021

Dilansir dari BBC.com, suhu di Pulau Kodiak melonjak hingga mencapai 19,4 derajat Celsius—hampir tujuh derajat lebih hangat dari rekor sebelumnya di Alaska. Akan tetapi, suhu di area lain di Alaska, justru anjlok ke taraf yang belum pernah tercapai sebelumnya. Di Kota Ketchikan, bagian tenggara Alaska, suhu turun hingga minus 18 derajat Celsius pada 25 Desember—salah satu suhu terdingin di kota itu pada saat Natal selama seabad terakhir. Curah hujan dan salju juga membuat jalan-jalan tertutup es sekeras semen. Rangkaian cuaca ekstrem ini mendorong aparat setempat untuk mencuatkan peringatan "Icemageddon" atau "kiamat es", (Bbc.com, 26/12). 

Baca Juga: Krisis Pendidikan dan Ekonomi Keluarga di Masa Pandemi    

Ancaman ini jelas mengingatkan kita tentang apa yang pernah terjadi pada zaman jurasik. Di mana spesies Dinosaurus sebagai hewan vertebrata penghuni bumi mayoritas yang akhirnya punah karena perubahan iklim bumi secara ekstrem pasca adanya peristiwa tabrakan meteorit. Pada dasarnya para ahli menyebutkan, perubahan iklimlah yang akhirnya membunuh spesies dinosurus secara massal, bukan tabrakan meteorit. Dan kini kita tengah mengulang peristiwa perubahan iklim tersebut.

Bekal Kebiasaan Hidup dari Pandemi Sebagai Solusi

Dunia sebetulnya sudah sejak lama menyadari adanya laju perubahan iklim dan melakukan berbagai upaya untuk bisa memperlambat atau bahkan menghambatnya. Upaya itu salah satunya tertuang dalam berbagai resolusi baik itu paris Agreement hingga Forum COP yang menjadi langkah efesien penggunaan sumber daya alam yang diiringi dengan langkah inovasi ekonomi yang dapat mendorong efisiensi energi. Dua hal tersebut sebetulnya setelah kita lakukan secara masif, meskipun dengan terpaksa oleh kondisi Pandemi Covid-19, paling tidak dalam dua tahun terakhir dari akhir 2019 hingga kini memasuki 2022. 

Langkah efisiensi sendiri tercermin pada upaya penghematan segala sumber daya, baik sumber daya ekonomi dan kebutuhan pangan, hingga sumber daya energi yang kita jalankan selama pandemi. Terutama saat berlangsungnya PPKM Jawa-Bali yang membatasi pergerakan manusia untuk beraktivitas dengan mobilitas yang tinggi. Meski dalam PPKM tersebut kita menerima imbas perekonomian yang betul-betul berat. 

Namun hikmahnya adalah kita dipaksa berlatih untuk berdiam, bertahan, dan berhemat. Pada masa ini jelas terjadi efisiensi yang cukup signifikan. Hal tersebut ditunjukan dari data konsumsi energi dari pelanggan PLN saat PPKM diberlakukan. Bahwa terjadi penghematan energi yang signifikan pada bulan Juli-September dengan penururan konsumsi harian rata-rata turun 1.900—2.000 megawatt [MW], (Bisnis.com).   

Baca Juga: Inovasi Pendidikan Masa Pandemi

Selain efisiensi atau penghematan, kebiasaan yang kemudian muncul saat Pandemi Covid-19 adalah sikap berinovasi. Hal ini juga imbas adanya pembatasan kegiatan ekonomi yang secara maenstream selalu identik dengan mobilitas yang tentunya menghabiskan banyak energi, mulai dari energi fosil seperti BBM hingga listrik. 

Hal tersebut praktis terhenti secara signifikan dan masyarakat mulai beralih ke upaya-upaya baru dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang lebih efisien, yakni lebih mengandalkan ruang digital yang tidak perlu membutuhkan banyak mobilitas fisik. Sehingga langkah inovasi tersebut mendorong adanya efisiensi energi yang signifikan pula.

Sayangnya kebiasaan tersebut kini mulai pudar kembali seiring PPKM mulai dilonggarkan dan kegiatan sosial ekonomi mulai berjalan sebagaimana umumnya. Masyarakat terlihat kembali gemar melakukan perjalanan dan kunjungan fisik secara beramai-ramai malah terlihat seolah balas dendam dengan berduyun-duyun melakukan perjalanan tanpa mengingat bahwa pandemi belum berakhir. Hal tersebut juga sekaligus menunjukan bahwa habituasi atau kebiasaan hidup yang efisien dan inovatif tidak begitu melekat, sehingga kembali melanjutkan tren percepatan pada perubahan iklim.

Sebagai bagian dari bumi, tentu kita hanya perlu menyadari bahwa bumi tidak memiliki duplikat, cadangan atau pengganti. Jika kita ingin bumi tetap ramah terhadap kelangsungan mahluk hidup, termasuk juga manusia, maka gaya hidup efisien dan inovatif sebagai hikmah positif pandemi harus membekas dan kita pertahankan meski nantinya Pandemi Covid-19 akan berakhir.

Penulis: Amrizarois ismail, S. Pd., M.Ling, Dosen Prodi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan UNIKA Soegijapranata Semarang, Direktur Griya Riset Indonesia

Reactions

Post a Comment

0 Comments