Ticker

6/recent/ticker-posts

Transformasi Literasi Era Digital

Hasil survei UNESCO pada tahun 2019 menyebutkan bahwa level literasi baca Indonesia menempati peringkat ke-60 dari 61 negara di dunia. Banyak orang yang kemudian menyalahkan internet sebagai penyebab atas rendahnya literasi bangsa ini. Generasi muda zaman sekarang, atau lebih akrab disebut generasi milenial, dinilai malas membaca karena pengaruh internet. Terlebih para generasi tua yang hidup di zaman pra-internet, mereka menganggap kehadiran internet telah menjauhkan generasi milenial dari buku.

Penilaian tersebut tentu tidak lepas dari pemaknaan literasi yang hanya terbatas pada membaca buku cetak. Interpretasi seperti itu tampaknya terlalu paradoks di tengah kemajuan teknologi dan informasi seperti saat ini. Padahal medium literasi terus berkembang menyesuaikan dengan kondisi zaman. Tidak relevan lagi jika hanya dimaknai sebagai membaca buku secara konvensional. 

Jika masih menggunakan paradigma klise, maka kita tidak akan menemukan sintesis dari problematika ini. Apakah kita harus melarang generasi milenial untuk berhenti mengakses internet, lantas menyuruhnya membaca buku? Tentu hal itu bukanlah solusi yang tepat, karena inilah era mereka, yang lahir, tumbuh, dan berkembang bersamaan dengan munculnya teknologi modern. 

Baca Juga: Menggugah Minat Baca Masyarakat

Kita perlu mendekonstruksi makna literasi dengan paradigma baru. Pasalnya generasi milenial tidak bisa dilepaskan dari gawai. Riset dari Pew Researh Center menyebutkan, salah satu ciri masyarakat yang paling menonjol di era ini yakni penggunaan akses internet. Di sinilah pentingnya memahami karakteristik mereka. Dalam hal ini, literasi dapat dimaknai sebagai segala cara atau proses untuk mendapatkan pengetahuan. Entah itu menggunakan media konvensional (buku cetak) maupun media digital yang dapat berupa teks, audio, dan visual, maupun perpaduan ketiganya.  

Literasi Digital

Di era digital ini, gawai dan internet memang menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Pasalnya teknologi tersebut dapat membuat segala pekerjaan menjadi lebih mudah dan praktis. Contohnya dalam mendapatkan informasi atau pengetahuan. Dengan internet kita dapat mengetahui segala hal di mana pun dan kapan pun. Tidak lagi seperti zaman dahulu yang harus mencarinya melalui koran atau pun buku.

Kemudahan ini sesungguhnya menjadi wahana untuk meningkatkan wawasan generasi bangsa melalui literasi berbasis digital. Pasalnya segala informasi dan pengetahuan sudah tersedia di internet, hanya saja dikemas dalam bentuk yang berbeda. Banyak buku cetak yang sudah dikonversikan ke dalam bentuk digital (e-book). Bahkan Google juga bermaksud memindai 129 juta buku yang ada sebelum tahun 2020 (Pcworld.com). 


Sementara itu banyak pula isi buku yang diubah menjadi konten kreatif berupa gambar dan vidio. Di media online maupun media sosial juga banyak terdapat konten yang informatif dan edukatif. Justru generasi milenial malah lebih suka dan lebih tertarik mempelajari sesuatu melalui internet daripada harus membaca banyak buku. Selanjutnya tugas kita adalah menciptakan konten-konten yang bermanfaat dan mendidik agar bangsa ini memiliki generasi yang unggul dan berkualitas. 

Menghadapi Tantangan

Transformasi literasi dari konvensional ke digital menjadi sebuah keniscayaan. Mengingat zaman sudah semakin maju. Teknologi-teknologi modern hadir untuk memudahkan aktivitas manusia. Namun bagaimana pun juga, internet tetap seperti dua sisi mata koin. Pada satu sisi menampakkan dampak positif, sementara di sisi lain menyimpan dampak negatif. Tidak semua konten berisi informasi dan pengetahuan yang penting. Banyak pula konten dan layanan di internet yang kurang mendidik seperti pornografi, kekerasan, game online, dan lain-lain. 

Peran dari semua elemen sangat dibutuhkan dalam menghadapi tantangan ini. Langkah konkrit pertama datang dari pendidikan keluarga. Orang tua memiliki peran penting dalam membentuk karakter dan kepribadian anak. Agar tidak mengonsumsi konten-konten negatif, para orang tua harus mendampingi dan mengawasi aktivitas sang anak. Jangan sampai anak dibiarkan begitu saja ketika mengakses internet. Lebih baik jika orang tua memilihkan mana konten yang boleh diakses.


Lembaga pendidikan juga menduduki peran vital. Guru-guru di sekolah perlu menanamkan kesadaran pentingnya literasi digital. Eksplorasi pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif sangat dibutuhkan. Misalnya membuat materi dan memberikan tugas dalam bentuk desain grafis atau vidiografi yang kontennya berasal dari buku-buku mata pelajaran sekolah. Smartphone tidak lagi menjadi benda terlarang, melainkan dapat digunakan untuk membantu kegiatan belajar-mengajar.
 
Maraknya berita hoaks dan konten SARA yang masif tersebar di media online menjadi kekhawatiran tersendiri. Dalam hal ini, pemerintah dapat bertindak tegas dengan memblokir situs-situs yang menyebarkan berita hoaks dan konten SARA. Selain itu generasi milenial juga patut diberikan pengetahuan tentang cara menganalisis suatu informasi, mulai dari sumber, judul, dan isi konten. Sehingga mereka tidak mudah percaya begitu saja terhadap informasi yang diterima lantas membagikannya kepada orang lain.

Di era kemajuan teknologi dan informasi seperti saat ini, literasi tidak bisa dimaknai hanya sebatas membaca buku cetak. Karena esensi dari literasi yaitu proses untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan. Sedangkan media yang digunakan dapat bermacam-macam, menyesuaikan dengan kondisi zaman. Namun sudahkah kita membuka mata dan menyadari akan pentingnya literasi digital di tengah perubahan zaman ini?

Mahfud Al- Buchori

Reactions

Post a Comment

3 Comments

  1. Bagus Kak artikelnya, mnggunakan paradigma baru dalam memaknai literasi

    ReplyDelete
  2. Keren artikel artikel di Darus. Aku suka

    ReplyDelete
  3. Saya setuju bahwa literasi tidak hanya berarti membaca buku. Media literasi terus berkembang menyesuaikan kemajuan zaman. pada intinya adalah proses untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan

    ReplyDelete