![]() |
Ilustrasi hermeneutika |
SECARA BAHASA, hermeneutika berhubungan dengan Hermes, seorang kurir dalam mitologi Yunani yang bertugas menyampaikan wahyu dari para dewa (sender) kepada manusia (receiver). Hermeneutika menekankan pada kemampuan yang dimiliki Hermes dalam memahami sebuah gagasan dari para dewa dan mengartikulasikan pemahamannya kepada manusia dengan waktu dan tempat yang berbeda.Â
Kemampuan yang sama juga harus dimiliki para penafsir kitab suci yang harus memahami pesan tuhan yang bersifat konstan dan universal lalu menerjemahkan pemahamannya dengan jelas kepada umat yang ada pada tempat, waktu dan memiliki konteks sosial yang berbeda pula.Â
Hermeneutika menekankan pada usaha seorang pembaca dalam memahami sebuah teks yang sebelumnya dianggap sangat asing. David Linge (1976) menyebutkan, hermeneutika seringkali digunakan sebagai jembatan untuk menghubungkan dunia pemahaman kita dengan hal baru yang belum kita tahu maknanya dan susah disatukan dalam cara pandang dunia kita.Â
Untuk memahami sebuah teks, kita diharuskan membaca teks yang dibuat dalam suatu tempat dan waktu dan menghubungkannya dengan ensiklopedia personal atau khazanah sosial kita dalam tempat dan waktu yang berbeda pula. Jadi pemahaman kita akan sebuah gagasan tersusun dari peleburan teks yang asing dengan konteksnya di zaman sekarang.Â
Salah satu tokoh penting dalam hermeneutika, Wilhelm Dilthey, memandang bahwa pemahaman komunikasi dalam konteks hermeneutika memiliki arah yang berbeda dari rezim transmisi. Sebagai seorang filsuf psikologi, Dilthey tertarik menggunakan konsep keadaan mental sebagai sarana untuk memahami manusia.Â
Menurutnya, psikologi menjadi pedoman ilmu untuk seluruh teori tentang ilmu manusia. Psikologi bukanlah untuk memahami apa yang terjadi dalam otak, namun lebih jauh lagi untuk memahami bagaimana pemikiran dapat merealisasikan diri dengan kehidupan sosial, budaya, seni, dan sastra.Â
Menurut Dilthey, kemampuan mental tidak hanya terdiri dari kekuatan-kekuatan yang membentuk di belakang sistem-sistem sosial namun kehidupan sosial yang dihasilkan juga memungkinkan dan membatasi kemampuan pikiran. Dilthey mengusulkan bahwa individu yang baik akan membentuk dan dibentuk dari budaya dan lingkungan di mana mereka hidup. Kondisi mental tidak dapat beroperasi dalam ruang hampa. Kondisi mental selalu ditentukan oleh konteks kultural.Â
Sementara untuk memahami esensi dari komunikasi, kita harus memahami dengan siapa kita berbicara, kapan waktu yang tepat, dan pengalaman apa yang sebelumnya terjadi ketika melakukan komunikasi serupa. Sender yang mengirim pesan, bukan semata-mata mengirim pesan, namun ada proses pengolahan kondisi mental yang sesuai dengan konteks kultural tempat ia tinggal, dan receiver juga akan menerima pesan dengan cara diolah sesuai dengan kondisi mentalnya.Â
Dilthey memiliki definisi baru terhadap pengalaman, makna, dan pemahaman mengenai pengalaman tersebut. Pengalaman manusia menjadi sejarah hidup yang dipahami secara luas dan menyeluruh. Dengan metode sejarah, Dilthey mencoba memberikan pemahaman baru dalam menginterpretasi rangkaian pengalaman manusia baik itu berupa teks, biografi, dan lain sebagainya.Â
Dilthey menegaskan, apa yang sebenarnya kita alami adalah hidup dengan penuh pengalaman dan variasinya. Segala pengalaman merupakan awal realita. Untuk menjawab masalah empiris, Dilthey menyatakan bahwa hidup bukan kumpulan fakta yang terpisah, hidup merupakan sesuatu yang sudah teratur, diinterpretasi dan penuh dengan makna.
Pengalaman dalam keadaan mental kita mengandung keterkaitan antara pengalaman yang satu dengan lainnya. Hal ini bukan hanya pemikiran individu, ucapan, atau pengalaman penting lainnya, namun bagaimana semua ini menjadi satu kesatuan dalam pola pengalaman.Â
Bagi Dilthey, pengalaman yang masuk akal dan memiliki makna, terjadi hanya jika memiliki satu pengalaman memiliki keterkaitan dengan pengalaman yang lainnya. Dilthey mendukung bentuk autobiografi sebagai makna tertinggi dan makna yang paling instruktif dalam memahami ucapan dan momen yang terjadi dalam kehidupan.
Adapun autobiografi yang dimaaksud adalah tentang bagaimana kita berusaha memahami seseorang dan makna yang terjadi pada momen-momen dalam kehidupan seseorang. Selain itu, kita juga jadi memahami mengapa kita melakukan hal ini, atau mengapa kita mengatakan hal itu, karena catatan-catatan tertulis yang pernah kita lalui sebelumnya. Autobiografi lebih baik dari biografi, karena orang yang menulis autobiografi adalah orang yang melalui kehidupan yang ditulisnya sendiri.Â
Dalam hal ini, Dilthey ingin menjelaskan, pengalaman manusia merupakan kehidupan manusia itu sendiri. Pengalaman merupakan bagian dari sejarah hidup yang kemudian menjadi obyek refleksi dari interpretasi. Manusia itu sendiri adalah makluk hermeneutika, bersama-sama dalam interprestasi pada sejarah, sebagai pewaris sejarah yang konstan dan aktif dalam keseluruhan tindakan dan keputusannya.Â
Dilthey mengenalkan autobiografi sebagai sarana seseorang dalam memahami makna dan peristiwa kehidupan. Komunikasi dalam pertimbangan Dilthey tentang bagaimana kita memahami tindakan orang lain, termasuk tindakan komunikatif mereka. Untuk beralih ke model rezim non transmisi, tindakan dan ucapan orang lain harus kita pahami dengan mengacu pada keadaan mental yang mendasari pemahaman tanda. Tetapi tidak dapat mengetahui keadaan mental ini secara langsung. Kita hanya bisa mengetahui kehidupan batin orang lain melalui dampak dari gerak tubuh mereka, suara, dan bertindak berdasarkan indera kita.Â
Dilthey mengatakan, untuk memahami ucapan orang lain mengikuti logika yang sama seperti orang yang memahami suatu peristiwa dalam autobiografi mereka sendiri. Ketika pembaca menelusuri teks ini untuk pertama kalinya, konteks untuk interpretasi terus tumbuh dan berubah. Sangat mungkin pada konteks ini akan bergeser, kembangkan, dan kembangkan dengan cara-cara yang pembaca dan tidak mempunyai prediksi. Untuk mendapatkan makna lengkap dari teks ini, kita harus membacanya dua kali; pertama kali untuk memperoleh konteks penuh dari teks dan yang kedua untuk membacanya dalam totalitas aliran pengalaman.
Umberto Eco dan Arthur Schopenhauer menyadari bahwa akhir dari teks dibuat bermakna dalam konteks teks yang ada sebelumnya. Namun keduanya menyatakan, permulaan suatu teks dibuat bermakna hanya dalam konteks autobiografi dengan menghormati pemahaman orang lain.Â
Esensi komunikasi yaitu memahami apa yang dilakukan dan dikatakan orang lain, adalah interpretasi dan evaluasi transmisi ide dari satu pikiran ke yang lain ke aliran percakapan dan biografis di mana itu terjadi. Apa yang perlu kita gambarkan dan pahami bukanlah operasi pikiran yang menghasilkan ucapan, tetapi aliran sementara ucapan yang mengikatnya, baik di masa lalu dan di masa depan. Gagasan ini berbicara tentang komunikasi dalam hal konteks percakapan yang bertentangan dengan proses transmisi dijelaskan lebih lengkap dalam hermeneutika Hans-Georg Gadamer.Â
Model komunikasi yang diusulkan oleh Gadamer adalah satu yang kita semua sangat kenal, yaitu percakapan spontan. Menurutnya, percakapan yang murni tidak pernah menjadi pembicaraan yang ingin kita lakukan. Sebaliknya, pada umumnya lebih tepat untuk mengatakan bahwa kita jatuh ke dalam percakapan, atau bahkan bahwa kita terlibat di dalamnya. Cara satu kata mengikuti yang lain, dengan percakapan mengambil tikungannya sendiri dan mencapai kesimpulannya sendiri, mungkin dilakukan dengan cara tertentu. Tetapi mitra yang berbicara jauh lebih sedikit daripada pemimpin yang dipimpin.Â
Gadamer menegaskan bahwa suatu percakapan memiliki semangatnya sendiri, dan bahasa yang digunakannya mengandung kebenarannya sendiri di dalamnya bahwa itu memungkinkan sesuatu untuk "muncul" yang untuk seterusnya ada. Metafora yang lebih baik untuk percakapan murni adalah permainan yang dimainkan oleh dua pemain yang benar-benar terserap dalam gerakan bolak-balik yang terus-menerus. Permainan bukanlah tindakan subjektivitas, yaitu apa yang terjadi di dalam pikiran.Â
Gadamer mengatakan bahwa kita harus membebaskan diri kita dari cara berpikir umum yang mempertimbangkan sifat permainan dari sudut pandang kesadaran pemain. Menurutna, pemahaman bukanlah berdasarkan penyaluran dari orang satu ke orang, sebaliknya untuk memahami apapun ucapan yang diberikan, tidak mencari tahu ide di balik ucapan.Â
Perilaku komunikasi yang ditampilkan dalam percakapan asli bukanlah produk dari pikiran kita yang bekerja secara individual. Tindakan komunikasi diciptakan bersama oleh dua pihak yang bertindak dan bereaksi terhadap ucapan masing-masing, dengan masing-masing ucapan menciptakan kondisi untuk yang berikutnya untuk diikuti.Â
Secara umum, kajian hermeneutika memandang bahwa sebuah kalimat, apapun bentuknya, selalu mengandung tiga hal, yaitu orang yang menyampaikan atau mengatakannya, bahasa itu sendiri, dan orang yang diajak bicara, pcnerima atau pembaca. Inilah prinsip-prinsip yang ada dalam analisis hermeneutika.Â
Maka dalam hermeneutika, terdapat tiga unsur yang ikut terlibat di dalamnya, yaitu unsur author (pengarang), unsur teks dan unsur reader (pembaca). Unsur-unsur tersebut memiliki peran dan fungsi masing-masing yang tidak dapat ditinggalkan antara satu dengan lainnya. Bila satu unsur diabaikan dari lainnya, maka yang terjadi adalah penyelewengan dalam pemahaman.Â
Hermenutika terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu teori hermeneutika (hermeneutika theory), filosofi hermeneutika (hermeneutika philosophy), dan hermeneutika kritis. Hermenutika theory memuat aturan metodologis untuk mengantarkan kepada pemahaman yang diinginkan pengarang. Sasarannya ialah untuk meraih makna yang tepat dari teks.Â
Dalam hal ini, hermeneutika merupakan acuan yang mengantarkan pada pemahaman yang akurat dan proporsional. Harapannya ialah pemahaman yang komprehensif dengan mempertimbangkan konteks. Makna teks dikaji dari berbagai sisi, baik morfologis, leksiologis, dan sintaksisnya. eberadaan teks dipertanyakan asal usul, tujuan, dan kondisi yang melingkupi pengarangnya.Â
Kedua, hermeneutika philosopfhy bertujuan untuk menggali asumsi epistemologis dari pemahaman dan lebih jauh lagi ke dalam aspek sejarah, tidak sekadar pada tataran pemahaman teks, tetapi juga pengarang dan dunia pembacanya. Fokus perhatian lebih jauh dari jenis hermeneutika teoritis, yakni apa kondisi orang yang memahami teks itu, baik sisi psikologis, sosiologis, historis, filosofis dan lainnya. Kecenderungan tersebut mengarah kepada epistemologi pemahaman.Â
Hermeneutrika filosofis berpendapat dengan tegas bahwa penafsir atau pembaca telah memiliki prasangka atau pra pemahaman atas teks yang dihadapi sehingga tidak mungkin untuk menghasilkan makna yang objektif atau makna yang sesuai dengan penggagas teks. Hermeneutika tidak bertujuan untuk memeperoleh makna yang objektif sebagaimana teori hermeneutika, melainkan pada pengungkapan mengenai dassein manusia dalam temporalitas dan historikalitasnya.Â
Ketiga, hermeneutika kritis merupakan pengembangan dari kedua jenis hermeneutika meskipun kajian objek formalnya sama.Perbedaannya terletak pada penekanannya, di mana jenis ketiga ini lebih terfokus kepada determinasi-determinasi tersebut memunculkan alienasi, diskriminasi, dan hegemoni wacana termasuk di dalamnya penindasan dalam kehidupan sosial-budaya-politik akibat pemaksaan pemahaman oleh kelompok tertentu.Â
Dalam teori ini, teks dianggap medium mengusai. Kalau dilihat secara umum, sebutan kritis di sini adalah penafsiran atu hubungan-hubungan yang telah ada pada pandangan standar, yang berasal dari pengetahuan mengenai sesuatu yang lebih baik, yang telah ada sebagai potensi atau tendensi di masa kini.Â
Sumber Rujukan:Â
Fahruddin Faiz. 2005. Hermeneutika AI-Qur'an; Tema-tema Kontroversial. Yogyakarta: ELSAQ
0 Comments