Ticker

6/recent/ticker-posts

Akankah Mahkamah Konstitusi Mendiskualfikasi Prabowo-Gibran?

Diskusi online “Akankah Mahkamah Konstitusi Mendiskualfikasi Prabowo-Gibran?” yang diadakan oleh Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PANDEKHA FH UGM) pada 3 April 2024

AKANKAH MAHKAMAH KONSTITUSI MENDISKUALIFIKASI PRABOWO-GIBRAN?
Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia FH UGM Bersama Departemen Hukum Tata Negara FH UGM 

DARUS.ID - Pasca Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilu 2024 pada 20 Maret lalu, pasangan calon presiden, Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud mengajukan Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden ke MK dengan nomor perkara 1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan 2/PHPU.PRES-XXII/2024. 

Para pemohon meminta MK mendiskualifikasi Prabowo-Gibran sebagai peserta Pilpres 2024 serta dilakukannya pemungutan suara ulang Pilpres tanpa Prabowo-Gibran. Saat ini MK sedang melakukan sidang pemeriksaan dan dijawadwalkan akan diputus sebelum 22 April 2024. Dengan melihat dinamika sidang pemeriksaan yang dijadwalkan hingga 18 April mendatang, akankah MK mendiskualifikasi Prabowo-Gibran?

Untuk mencari jawaban atas pertanyaan tersebut, Pusat Kajian Demokrasi, Konstitusi, dan Hak Asasi Manusia Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (PANDEKHA FH UGM) mengadakan diskusi online pada 3 April 2024 bertajuk “Akankah Mahkamah Konstitusi Mendiskualfikasi Prabowo-Gibran?”. Diskusi yang dipandu oleh Pinky Eskah Prayoga ini menghadirkan lima akademisi dari Departemen Hukum Tata Negara FH UGM dan peneliti PANDEKHA. 

Di antaranya adalah Dr. Herlambang P. Wiratraman, S.H., M.A., Dr. Zainal Arifin Mochtar sekaligus Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, Dr. Dian Agung Wicaksono, S.H., LL.M., Dr. Mahaarum Kusuma Pertiwi, S.H., M.A., M.Phil., serta Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A. yang juga merupakan Ketua PANDEKHA.

Diskusi diawali dengan pemaparan materi oleh Herlambang P. Wiratraman. Narasumber dalam pemaparan awalnya merefleksi keterkaitan antara hukum dengan etika, pengadilan dengan kekuasaan, serta hukum dengan kepentingan politik sebagai variabel dan gambaran besar kondisi hukum Indonesia dimana salah satu dampaknya adalah persoalan mainstream yang muncul di seputar Pemilu 2024. 

Menurutnya, MK hari ini dihadapkan pada kritik yang begitu luas karena posisi putusannya seringkali bertentangan dengan perlindungan HAM. Beberapa putusan misalnya putusan MK yang manjadi karpet merah Gibran Rakabuming Raka dan putusan terkait UU Ciptaker yang berdampak luas bisa dikatakan sebagai gejala penunggangan politik terhadap peradilan (politicization of judiciary). Narasumber juga menyoroti persoalan demokrasi seperti political abusive yang menggunakan sarana hukum, nihilnya nilai dan etika dalam proses penegakkan hukum.

Narasumber beserta akademisi di FH UGM telah menyampaikan amici curia ekepada MK dalam sengketa PHPU Pilpres yang sedang berjalan. Amici curiae tersebut hadir untuk menegaskan kepada MK untuk lebih berhati-hati bahwa penyusun meyakini situasi ini bisa dihentikan dan bisa didorong ke arah yang lebih baik hanya dengan bagaimana mengaitkan perspektif hukum secara kritis dengan nalar progresif dan melekatkan nilai etika dalam penyelenggaraan kekuasaan. Hal ini menurut narasumber harus ada dalam ruang persidangan. Dari amici curiae berjumlah 31 halaman tersebut narasumber berharap dapat membawa inspirasi bagi MK untuk menghadirkan putusan yang lebih baik.

Dalam diskusi yang berkembang, para narasumber mengungkapkan sangat mungkin MK mendiskualifikasi Paslon tertentu dalam sengketa PHPU, sebab MK dalam putusan nomor 132-135-145/PHP.BUP-XIX/2021 pernah mendiskualifikasi beberapa pasangan calon Bupati dalam sengketa Pilkada. Putusan-putusan demikian menurut Dian Agung Wicaksono dapat menjadi preseden bagi MK sebab pasca Putusan 55/PUU-XVII/2019 dan 85/PUU-XX/2022 MK menegaskan bahwa kedudukan Pilkada sebagai bagian dari rezim Pemilu. 

Demikian pula Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagai titik tolak KPU meloloskan Gibran mendampingi Prabowo dapat menjadi rujukan bagi MK bahwa menurutnya putusan a quo jika dibaca dengan jernih dengan memperhatikan dissenting dan concuring opinion pada dasarnya hanya mencakup kepala daerah tingkat provinsi yang dapat dikecualikan dari batas minimum usia Capres-Cawapres. Dengan demikian MK menrutunya memiliki pijakan hukum dan teoretis yang memadai untuk melakukan diskualifikasi.

Menurut Yance Arizona, diskualifikasi sebagai konsep hukum bisa dikembangkan sebagai mekanisme untuk menyelamatkan demokrasi. Mekanisme ini dapat menjadi instrumen bagi pengadilan untuk memperbaiki kondisi demokrasi yang terpuruk. Yance mencontohkan beberapa negara yang telah mempraktikkan model diskualifikasi untuk mencegah orang-orang yang tidak memiliki komitmen terhadap demokrasi memimpin. 

Negara-negara tersebut diantaranya adalah Lituania, Ukraina, Brazil, Irak, Korea Selatan dengan kasus yang beragam baik diskualifikasi terhadap perseorangan maupun kelompok atau partai dalam proses suksesi pemerintahan. Alasan diskualifikasi menurutnya beragam, bisa karena manipulasi persyaratan atau bahkan kecurangan dalam Pemilu (election fraud) yang pernah terjadi di Brazil bahkan di Indonesia dalam beberapa perkara pilkada. 

Narasumber lain, Mahaarum Kusuma Pertiwi melihat kemungkinan lain MK dapat mendiskualifikasi dari jenis perkara yang ditangani. Menurutnya, tidak semua perkara di MK menempatkan MK sebagai court of law dalam lingkup kewenangannya menguji konstitusionalitas norma Undang-Undang, namun MK juga dapat bertindak sebagai court of justice terutama dalam sengketa PHPU sebab terdapat kasus konkret. Asas Pemilu juga seharusnya bisa menjadi rujukan bagi MK untuk menangani perkara yang sedang berjalan. 

Narasumber juga mengamini bahwa perkara-perkara dimana MK mendiskualifikasi calon Bupati di beberapa daerah sebagaimana disinggung sebelumnya juga dapat menjadi pijakan bagi MK, dengan tetap memperhatikan proses pembuktian di persidangan. Terkait putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, narasumber menganggap perlu dalam perkara PHPU ini MK melakukan judicial activism guna mengembalikan akibat yang timbul dari putusan a quo (restutio in integrum) sehingga MK benar-benar melaksanakan perannya sebagai court of justice

Zainal Arifin Mochtar, dengan persetujuannya terhadap narasumber lain menambahkan pandangan yang sedikit berbeda. Menurutnya sengketa PHPU Pilpres 2024 musti juga dilihat dari sudut padang yang lebih realistis. Meskipun kemungkinan diskualifikasi ada, dirinya mengungkapkan beberapa hal yang mempersulit kemungkinan tersebut diantaranya terbatasnya waktu persidangan yang hanya 14 hari kerja dengan proses pembuktian terbatas. Keterbatasan waktu tidak memungkinkan semua keterangan saksi dan ahli terakomodir dengan baik. Hal inilah yang menurutnya menghambat MK dalam mencari kebenaran materiil.

Jika hendak memasukkan memasukkan putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 sebagai pertimbangan, maka menurut narasumber potensi hantaman politiknya jauh lebih besar dan sulit merelasikannya dengan logika diskualifikasi kecuali bahwa hal itu dilakukan di perkara pengujian norma syarat calon Presiden-Wapres yang diajukan ke MK pasca putusan a quo. Namun menurutnya ada kemungkinan pemungutan suara ulang di beberapa tempat dengan melihat beberapa pembuktian yang menurutnya cukup menarik, tinggal keyakinan hakim MK apakah harus diulang karena jumlah suaranya signifikan untuk mengubah hasil atau tidak. 

Dalam sesi tanya-jawab peserta mengajukan pertanyaan terkait KPU yang tidak terlebih dahulu menyesuaikan PKPU dalam proses penerimaan Gibran sebagai Capres mendampingi Prabowo dan kemungkinan diskualifikasi berdasarkan kecurangan/pelanggaran TSM dalam UU Pemilu. Kaitannya dengan penyesuaian PKPU, Mahaarum menggarisbawahi bahwa prinsip erga omnes putusan MK tidak dengan sendirinya mengubah aturan pelaksana dari pasal Undang-Undang yang dibatalkan, artinya memang KPU harus mengubah PKPU terlebih dahulu. 

Terkait diskualifikasi berdasarkan UU Pemilu Zainal AM. Menanggapi bahwa jika logika hakim tekstualis (legal formal) maka akan sulit membuktikan TSM, hal demikian hanya dimungkinkan apabila hakim bersedia mengambil langkah yang lebih berani. Pertanyaan lain muncul terkait bagamana demokrasi yang ideal. 

Sementara Herlambang menanggapi bahwa demokrasi yang ideal harus memiliki keterkaitan dengan keadilan sosial, kebebasan berpendapat, serta Pemilu yang tidak menjadi kendaraan untuk melegitimasi kepentingan privat dan tidak pula melemahkan demokrasi itu sendiri. Di sisi lain aturan hukum sebagai instrumen perlindungan seharusnya tidak menjadi alat kepentingan politik dan oligarki semata sehingga proses-proses demokrasi benar-benar hidup dan melibatkan ruang publik. 

DOKUMENTASI VIDEO DISKUSI : 
Reactions

Post a Comment

0 Comments