Ilustrasi: istimewa |
Hidup terdiri dari bermacam-macam kesendirian. Masing-masing kita sesekali punya, (atau ingin punya, atau sebaliknya takut untuk punya), ruang isolasi.
Dalam hikayat dan sejarah, ada orang-orang yang bersunyi diri untuk memperoleh sesuatu yang lebih bernilai dari yang selama ini ada pada dirinya, di sebuah hening yang total. Dikisahkan tentang Panembahan Senapati di abad ke-17 dalam Serat Wedhatama, “lelana lalading sepi/Ngingsep sepuhing supana’: mengembara ke tempat-tempat yang sunyi, untuk merenung dan mendapatkan kearifan tentang hidup. Atau, seperti Airlangga di Kerajaan Kediri di abad ke-12 yang turun tahta dan masuk hutan untuk “menyepi” sampai ia wafat. Isolasinya adalah sejenis penyucian diri dari najis yang selalu menempel kekuasaan.
Agama-agama memuliakan pilihan keheningan seperti itu — dan kita dibawa untuk percaya ada hubungan kesunyian dengan kesucian. Iman dibangun dengan sejumlah aikon meditasi: Gua Hira menjelang Muhammad menjadi Rasul; ladang gurun tempat Yesus berpuasa dan menolak Kerajaan Dunia; pohon Bodhi di Bihar, tempat Siddahrta Gautama bersemadi setelah meninggalkan kehidupan seorang pangeran.
Dalam zaman yang bising kini agaknya Thomas Merton, seorang rahib Trappis, penyair, mistikus, dan filosof, yang masuk kembali ke dalam hidup pertapaan sebagai sesuatu yang jauh tapi sekaligus dekat dengan sekitar. Tulisnya: “Menyendiri,” (saya temukan dalam “A Year with Thomas Merton: Daily Meditations from His Journals”) “bukanlah semata-mata sebuah hubungan negatif.”
Baginya, menyendiri adalah “berpartisipasi dalam kesendirian Tuhan, yang ada di segala hal.”
Umum diketahui, dalam pertapaan Orde Trappis, para rahib hampir sepenuhnya hidup tanpa percakapan. Mereka hanya menggunakan kata-kata seperlunya, di celah-celah jam-jam panjang berdoa, kemudian jam-jam panjang bekerja, di ladang mereka yang selalu diolah. Dan dalam hal Merton: juga menulis. Salah satu catatan hariannya, 4 Januari 1950, mengungkapkan rasa berbahagia: “Kini aku tahu, aku memasuki hari di mana aku akan dapat hidup tanpa kata-kata.”
Thomas Merton tentu tak menafikan bahasa; ia seorang yang telah menulis sekitar 50 buku. Tapi baginya bahasa mempunyai “daerah-tak-bertuan” yang tak secara sungguh-sungguh menggabungkan dirinya dengan orang lain.
Dari catatan harian 18 Januari, kita bisa bayangkan ia di luar pertapaan, mendengarkan dari tepi hutan lonceng berbunyi, dan merasakan keheningan dan kesendirian justru sebagai “bagian semesta — sepenuhnya pas ke dalam lingkungan pepohonan, kebisuan dan kedamaian.” Apa saja yang kau lakukan, tulisnya, jadi sebuah kesatuan dan sebuah doa. “Diamku adalah bagian dari diamnya seluruh dunia…membangun candi Tuhan tanpa suara palu bertalu-talu”.
Dari catatan itu kita segera tahu, pertapaan Thomas Merton bukan sebuah isolasi. Bahkan sebaliknya. “Kesendirian dan kesunyian mengajarku untuk mencintai saudara-saudaraku sebagaimana mereka adanya, bukan sebagaimana kata-kata mereka.”
Isolasi Merton bukan kesendirian Chairil Anwar: Ini sepi terus ada. Menanti.
Mungkin itu yang membedakan jarak fisik dengan jarak sosial: dalam ribuan kilometer ketika tubuh kita berpisah, keakraban bukan mustahil; demikian juga sebaliknya, kedekatan fisik tak membuat orang mau saling menyapa. Maka ada yang melihat isolasi — terutama di masa wabah —hanya sebagai cara penyelamatan diri, atau, kalau tidak, cara mengunggulkan diri di atas yang lain yang rata-rata tak tahan.
Saya ingat Henry David Thoreau. Pada 4 Juli 1845, ia, seorang penulis berumur 28 tahun, mulai berdiam di sebuah pondok kayu kecil yang ia bangun sendiri di hutan sekitar Kolam Walden, tak jauh dari Concord, Massachusetts, di Amerika Serikat bagian timur. Thoreau, yang tak pernah menikah, hidup menyendiri di gubuk itu selama dua tahun. Catatannya tentang kehidupan sunyi itu ia terbitkan dalam sebuah buku yang kemudian termashur dalam sastra Amerika, “Walden, or Life in the Woods” — separuh memoar dan separuh rekaman renungan tentang manusia dan alam.
Buku itu, dalam kata-kata John Updike, novelis yang juga penulis kritik, “sebuah totem bagi semangat ‘kembali-ke-alam’”, ia bisa dianggap pemberi ilham bagi kaum pencinta lingkungan — meskipun mungkin Walden, seperti kata Updike, punya risiko “akan dikagumi dan tidak dibaca — seperti Injil”.
Tak dapat dipungkiri Walden ditulis seorang yang tekun merekam hampir tiap gerak alam di kesunyian itu. Tapi ketika saya membacanya (setelah mendengar pujian bertubi-tubi), saya temukan di dalamnya sebuah isolasi yang tanpa kompromi. Walden membuat jarak fisik jadi jarak sosial sekaligus. “Berada bersama orang lain, bahkan dengan yang terbaik, segera akan meletihkan dan menguras tenaga. Aku suka bersendiri. Aku tak pernah menemukan teman bersama yang asyik selain kesendirian. Bagi Thoreau dalam Walden, masyarakat umumnya “terlalu murahan”, commonly too cheap. Nilai manusia “bukan dalam kulitnya hingga kita harus menyentuhnya.”
Yang ditampik Walden adalah kenyataan bahwa manusia adalah kulit, jangat, darah, syaraf. Pendek kata, tubuh, bukan hanya roh; gairah, bukan hanya pikiran.
Itu sebabnya manusia membentuk peradaban dengan karnaval, jemaat, nonton bola bersama, menari cak yang riuh dan rapat, bergoyang bareng dalam dangdut pantura, membuat flashmob berdansa di sudut jalan dengan Waltz No. 2 Shostakovich.
Apa boleh buat. Hari-hari ini saya cemas: dalam hidup bersama Covid-19, kita akan kehilangan yang bareng dan yang gayeng itu.
*) Artikel ini disalin dari halaman Facebook Goenawan Mohamad
0 Comments