Ticker

6/recent/ticker-posts

(Kualitas) Obrolan Pemuda

Foto: pribadi

SETIAP kali mendekati hari raya Idulfitri, masyarakat di negara kita begitu antusias menjalankan sebuah tradisi yang barangkali jarang dijumpai di negara lain. Mudik atau pulang kampung, bahkan lebih dari sekadar tradisi rutinan tiap lebaran, melainkan sudah menjadi panggilan bagi para perantau, orang-orang yang berjuang dan bertaruh keringat di tanah asing. Ini juga menunjukkan, bahwa sejauh apa pun kita pergi, kampung dan keluarga ialah tempat yang paling merindukan kehadiran kita kembali. 

Pada tahun ini, antuasiasme mudik lebaran meningkat setelah dua tahun sebelumnya ruang gerak dan kegiatan fisik masyarakat dibatasi dengan adanya kebijakan pandemi covid-19. Sehingga banyak yang tertahan di tanah perantauan, hanya bisa melakukan halal bi halal dengan menatap wajah keluarga dari layar gawai. Sedangkan di tahun ini berbeda, wajah-wajah yang menahan rindu itu, kini tidak sabar ingin menginjakkan kaki di kampung halaman masing-masing. 

Saya juga melakukan hal sama, meninggalkan Kota Semarang dan pulang ke rumah, di suatu desa di Kecamatan Sukolilo, Pati, untuk merayakan lebaran bersama keluarga. Sama pula seperti perantau lainnya, kerinduan akan keluarga dan kampung halaman tentu menjadi alasan. Namun, alasan yang lebih kuat untuk mudik ialah untuk menghormati tradisi dan orang tua yang selalu menanyakan kapan saya akan pulang ke rumah untuk merayakan momen Idulfitri bersama. 

Selain sebagai ajang silaturahmi dengan keluarga, Idulfitri kali ini juga mendesak saya bertemu dengan kawan-kawan lama. Dan itu membuat saya teringat dengan kisah masa kecil bersama mereka, saat di mana tidak ada beban dalam hidup kecuali tugas IPA dan Matematika di SD yang membingungkan seluruh kelas. Kisah masa kecil yang mengasyikkan; bermain layang-layang, memancing dan mandi di sungai, menangkap jangkring di sawah, serta aktivitas mengesankan lain yang di era internet kini mahal dimiliki dan jarang dilakukan anak-anak zaman sekarang. 

Dunia terus bergerak maju, waktu begitu cepat berlalu. Kini teman-teman masa kecil saya tadi sudah menjadi pemuda desa. Sebagian besar terlibat dalam aktivitas masyarakat, karena memang mereka memiliki waktu dan kesempatan lebih banyak berinteraksi lantaran menetap di sana. Berbeda dengan saya yang hidup di tempat lain, dan hanya berada di desa ini ketika waktu liburan saja. 

Selama satu minggu di rumah, saya merasa memiliki satu kesamaan dengan teman-teman. Kita sama-sama suka nongkrong, berkumpul. Pepatah Jawa yang mengatakan "Mangan ora mangan sing penting kumpul," agaknya melekat dalam diri kami. Saat itulah wajah-wajah saling menatap dan cerita demi cerita ditukarkan. Sesekali ejekan dan canda terlontar dari satu mulut untuk menambah kerekatan. Menyimak dan menanggapi setiap obrolan sampai larut malam ditemani secangkir kopi dan beberapa batang rokok. 

Tidak hanya di rumah bersama kawan lama, nongkrong atau kumpul (bersosial), juga sudah menjadi rutinitas setiap hari yang saya lakukan di Semarang. Akan tetapi, pada poin ini, ada perbedaannya. Setiap tongkrongan yang di dalamnya selalu ada topik pembicaraan, yang di mana beberapa pemuda melebur menjadi satu, tidak bisa dianggap sama. Lalu apa yang membedakannya? 

Bagi saya, hal yang membedakan tongkrongan di rumah maupun di Semarang cuma satu, yaitu topik pembicaraan. Sebenarnya ini berlaku untuk semua, di setiap tongkrongan. Pertanyaannya ialah, topik apa yang sedang dibicarakan? Bagaimana subtansi dan urgensi dari setiap pembicaraan? Mengapa memilih membicarakan topik tersebut? Mungkinkah dalam tongkrongan itu terjadi transfer informasi maupun transfer pengetahuan? 

Tegasnya, yang ingin saya katakan di sini ialah soal kualitas obrolan dalam setiap perkumpulan pemuda. 

Di rumah dan di Semarang, saya menyadari bahwa kualitas obrolan masih jauh berbeda. Tentu hal ini dipengaruhi oleh perbedaan lingkungan dan latar belakang, pengalaman dan pengetahuan, orientasi dan motivasi. Bahwa di rumah seringkali pembahasan ketika nongkrong bersama teman lebih banyak bercanda, cerita hal lucu, nostalgia masa lalu, serta bicara gosip, rumor, dan kejelakan orang lain. Dominasi personal dan emosional masing-masing orang dalam obrolan tersebut membuat sulit terbukanya diskursus dan pertukaran ide. 

Tentu berbeda dengan kondisi di Semarang, di mana saya berkumpul dengan teman dalam lingkungan dan kultur akademik. Dengan memiliki latar belakang sebagai mahasiswa yang punya orientasi dan tujuan khusus, tentu juga membedakan topik pembicaraan ketika nongkrong. Obrolan bersama teman rumah sebenarnya di Semarang juga sama, tetap ada bercanda, cerita lucu, ejekan, dan gosip. Namun itu tidak mendominasi, hanya sebatas selingan saja. Pembicaraan lebih banyak soal materi perkuliahan, pertukaran gagasan, pengembangan diri, eksplorasi keterampilan, pembacaan fenomena, yang di mana memungkinkan terjadinya transfer pengetahuan. 

Saya jadi teringat ucapan Socrates, manusia bijaksana dari Athena yang meninggal dengan hukuman meminum racun pada tahun 399 SM karena ketidakadilan penguasa. Sang filsuf itu pernah berujar, "Pikiran kuat membicarakan ide, pikiran rata-rata membicarakan peristiwa, pikiran lemah membicarakan orang lain." Socrates seolah ingin menegaskan, bahwa kualitas pikiran (logika dan pengetahuan) orang ditunjukkan oleh topik pembahasan yang sering diobrolkan. Subtansi obrolan (orang lain, peristiwa, ide) merepresentasikan kuatnya logika dan pengetahuan seseorang. 

Di sini, saya tidak ada niat untuk menjustifikasi atau memandang rendah pemuda di desa saya. Bukanlah itu tujuan saya menulis artikel ini. Saya ingin menunjukkan bahwa hal tersebut ialah salah satu fenomena nyata yang terjadi dan dialami oleh pemuda desa. Bahkan di kota, dalam lingkungan mahasiswa tertentu, beberapa, juga tidak jauh beda. Di setiap tongkrongan, di mana berkumpul para pemuda, kualitas topik yang diobrolkan, jika mengacu pada Socrates di atas, lebih banyak merepresentasikan pikiran lemah dan pikiran rata-rata. 

Barangkali fenomena ini menjadi faktor mengapa negara kita jauh tertinggal. Karena para generasi mudanya masih menyukai dan memiliki kecenderungan membicarakan "orang lain" dan "peristiwa". Faktor psikologis dan emosi lebih kuat mendominasi daripada logika dan pikiran. Sehingga sibuk membincangkan gosip yang berisi aib, kejelakan, dan kesalahan orang lain. Juga asyik menceritakan pengalaman pribadi yang berkesan, kejadian lucu yang tidak esensial, serta peristiwa yang mengundang perasaan. 

Lalu, masihkah tetap memilih dalam situasi seperti ini? Kapan para generasi muda kita --secara masif dan terorganisis-- dengan masing-masing keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki, saling bertukar ide dan gagasan, membicarakan pengembangan dan inovasi, hingga membuat gerakan untuk pembangunan dan kemajuan bangsa ke depan?

Mahfud AM

Reactions

Post a Comment

0 Comments