Ticker

6/recent/ticker-posts

[Cerpen] Malam Kesaksian

Seorang wanita terduduk di trotoar jalan raya bersandar angin malam. Ia merengkuh dua lututnya dengan kedua tangannya. Kepalanya tertunduk menatap kosong jari-jari kaki tanpa alas yang menyentuh aspal dingin. Napasnya tersengal-sengal menahan tekanan air dari bola matanya agar berhenti mengalir lagi di pipi yang sudah telanjur basah.

Dilihat dari perawakannya, wanita itu baru mulai memasuki usia kepala tiga. Tubuhnya tinggi dan ramping dengan punggung agak membungkuk. Sementara wajahnya tampak muram dan penat seperti sedang mendapatkan tugas mengangkat karung beras berton-ton. Wanita berbadan ringkih itu, hanya sendirian di sana, termenung di depan gerobak yang sudah tidak berbentuk lagi. Sebuah musibah baru saja menimpanya. 

Malam itu menjadi tangis yang kedua setelah suaminya meninggal dunia satu bulan lalu akibat wabah. Ia tidak tahu kronologi yang menyebabkan suaminya bisa sampai tertular virus corona. Waktu itu sehari sepulang kerja, saat bangun tidur, tiba-tiba saja demam, batuk-batuk, tidak dapat mencium bau masakan. Karena tidak punya cukup biaya, suaminya dibawa ke rumah sakit dengan harapan mendapat layanan kesehatan terbaik. Tapi belum genap dua minggu dirawat, pihak rumah sakit mengabarkan kalau suaminya sudah tidak bernyawa. 

Selepas kepergian lelaki yang dicintainya itu, ia hampir putus asa. Beban di pundak terasa berat seolah tertimpa pohon beringin besar yang rubuh. Tidak tahu dari mana akan mendapatkan pundi-pundi rupiah paska meninggalnya kepala keluarga yang selama ini menghidupinya. Juga seorang anak yang saat ini duduk di bangku kelas lima SD, seorang anak yang harus mendapatkan pendidikan dan pengetahuan demi masa depan yang cerah. 

“Ibu jangan sedih, ya. Nanti ayah juga sedih. Ibu harus ikhlas biar ayah tenang di sisi Tuhan,” kata si kecil pada hari ketujuh sepeninggal sang suami. Sungguh bergetar hatinya mendengar kalimat itu. Anak ini justru jauh lebih mengerti daripada dirinya. Ia pun menyeka matanya yang sembab dan memeluk harta terindah yang pernah diberikan Tuhan.
 
Kata-kata yang terucap dari bibir anaknya bagaikan sumber energi yang memberinya kekuatan. Wanita itu sadar jika hanya berdiam diri di rumah dan meratapi nasib tidak akan menyelesaikan masalah. Harus segera bangkit memperjuangkan hidup, masa depan sang anak adalah tanggung jawab seorang ibu. Ia mulai berpikir bagaimana caranya bertahan hidup, mencari uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dua hari setelah itu ia mulai membuka usaha laundry pada siang hari dan berjualan gorengan di malam harinya. 

Namun malam ini, setelah empat minggu berhasil mencukupi kebutuhan dari bisnisnya sendiri, wanita tersebut mendapatkan musibah. Dagangannya kocar-kacir, gerobaknya menjadi serpihan kaca dan kepingan kayu. Tidak kuasa melihat barang jualannya yang berserakan di tanah. Sambil menanah isak tangis, terbayang senyum anaknya yang tergantikan dengan wajah suram.

Wanita itu masih terduduk di trotoar jalan raya bersandar angin malam. Selang sekian detik sebuah mobil avanza hitam berhenti tepat di depannya. Pintunya terbuka lalu mengeluarkan seorang pria berpakaian rapi lengkap dengan sepatu dan dasi. Seketika ia bangkit saat menyadari pemilik avanza itu melangkah mendekatinya. 

“Mau apa, kau? Jangan ganggu aku! Pergi dari sini!” tegas wanita itu dengan jari menujuk ke arah kanan.

“Tenang, tenangkan diri dulu, Buk,” jawab sang pria berdasi sambil mundur satu langkah. “Bukan bermaksud mau mencampuri urusan Ibu, saya hanya ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa malam-malam begini kau belum pulang?”

“Tidak usah sok peduli. Siapa pun kau, aku ingin kau menjauh dariku!” bentaknya. 

“Baik, aku pasti akan pergi setelah ibu menceritakan apa yang membuat ibu masih di sini,” kata pria itu sembari mengayun-ayunkan telapak tangannya. 

Wanita itu menghela napas. Aku harus bisa menahan emosiku, siapa tahu dia memang baik dan berniat menolongku, gumamnya dalam hati. Lantas ia duduk dan dibiarkannya pria berdasi tadi menghadapnya. Sambil beleleran air mata, wanita kurus itu pun memulai ceritanya.

***

Penjualanku malam ini kurang beruntung. Tiga nampan gorengan yang tersisa sejak aku membuka lapak pukul empat sore tadi terbilang banyak. Sementara waktu menunjukkan pukul sepuluh. Para penjual lain di sebelahku, seperti nasi goreng, seblak, martabak, jagung rebus, mulai memberesi dagangannya. Ini terjadi sejak pemerintah menetapkan kebijakan pembatasan kegiatan masyarakat, bahwa para pedagang maksimal berjualan sampai pukul sepuluh malam. 

Kebijakan di tengah wabah ini memang menyulitkan para pekerja lapangan sepertiku. Teman-temanku selalu mengeluhkan hal sama, tentang jualan yang sepi pembeli, penghasilan yang tak cukup untuk ditabung, dana bantuan yang habis dalam waktu enam hari. Tetapi bagiku mengeluh tidak ada gunanya. Aku harus bergantung kepada kerja kerasku dan tetap bersandar kepada Tuhan.

Di tempat ini hanya menyisakan aku seorang diri. Para penjual lainnya mungkin sudah sampai di rumah. Aku masih bimbang karena gorengan yang kujual masih tersisa banyak. Hari ini hanya mendapatkan sekitar Rp. 150.000. Tidak seperti biasanya yang memperoleh empat kali lebihnya. Akhirnya kuputuskan tidak beranjak dari sini, terpaksa melanggar aturan yang entah ke berapa kalinya. 

Selama dua puluh menit, lima pembeli mampir ke lapakku. Dan semakin malam begini biasanya semakin banyak orang yang membeli gorenganku. Meskipun kota ini berada dalam serangan wabah, rupanya masih banyak orang yang berkeliaran malam-malam. Atau mungkin di daerahku hanya sedikit saja orang yang terkena. 

Namun senyum yang sempat merekah di wajah segera berganti menjadi cemas saat dua pria mengenakan seragam hijau dengan tanda melingkar di lengan kiri turun dari motor dan berjalan menghampiriku. Aku mengenali dua orang itu sebagai aparat keamanan. Seketika aku takut dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Yang kutahu ialah aku telah melanggar peraturan yang kesekian kalinya. Mereka pasti akan membikin perhitungan terhadapku. 

Salah satu aparat membuka maskernya dan menatapku tajam. “Ini sudah jam berapa, kok masih jualan? Tahu peraturannya nggak?” nada tinggi muncul dari bibirnya yang dibaluti kumis. 

“Eh… eh…” aku gugup tidak tahu menjawab apa. “Maaf, Pak, saya kira masih jam sembilan.”

“Jam sembilan bagaimana? Memangnya ibu tidak lihat apa, penjual lainnya sudah pada tutup,” aparat satunya, yang memkai kaca mata ikut menimpali.

Aku terdiam tidak menjawab apa pun. 

“Ibu ini memang sengaja melanggar aturan, ya? Dasar orang bandel, dibiarkan malah seenaknya gini. Padahal setiap malam kami selalu memantau ibu berjualan. Dan kami melihat ibu sering berjualan melebihi pukul sepuluh. Sengaja kan melanggar aturan?” tambah pria berkumis tebal. 

“Maaf, Pak, maafkan saya sebelumnya. Saya berjanji ini yang terakhir kalinya. Saya lagi susah, Pak, hasil penjualan gorengan ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Dagangan saya sepi. Saya harus tetap cari uang untuk kebutuhan hidup dan biaya sekolah anak,” kataku lirih.

“Oke, kami tahu Anda sedang kesusahan. Anda pikir kami juga tidak kesusahan jika kami tidak menaati perintah atasan. Setiap hari kami kena marah karena pimpinan kami mendengar laporan bahwa masih banyak pedagang yang melanggar aturan seperti Anda. Apalagi orang seperti Anda ini tidak merasa berdosa setelah melanggarnya berkali-kali” pria berkaca mata itu menunjuk-nunjuk wajahku.

Aku berkali-kali mengucapkan maaf disertai dengan isyarat tangan. Sebenarnya aku tidak sudi, terpaksa kulakukan agar segera lolos dari kawalan mereka. Aku tidak menyangka kalau selama ini kedua orang tersebut mengawasiku. Kupikir aparat hanya akan membuat kebijakan saja tanpa melakukan pemantauan. Juga kukira pelanggaranku tidak akan menjadi masalah karena paling banter melebihi batas hanya lima belas menit. Tapi ternyata dugaanku salah.

Angin mendesir merasuk tulang, membuat darah yang mengalir di tubuhku semakin dingin. Lampu-lampu ruko di sekelilingku sudah mati setengah jam lalu. Jalanan hening tanpa deru kendaraan. Sementara saat ini aku berhadapan dengan dua aparat keamanan.

Ia mengambil satu gorengan dan memasukkannya ke dalam mulut yang dirambati kumis. “Apa-apaan ini? Gak ada rasanya, sudah dingin pula.” Lalu dipukulnya gorengan itu ke tanah. 

Aku tidak terima ia berbuat seperti itu. Tapi kemarahanku dikalahkan dengan ketakutan. Aku menundukkan kepala, diam tanpa berkomentar apa-apa. 

“Kamu bisa jualan gak sih? Masa gorengan sudah dingin dan gak ada rasanya gitu dijual.”
 
“Gak guna, kasih pelajaran saja dia. Daripada menyusahkan kita mulu.” 

Dua aparat itu mengacaukan daganganku. Ia memporak-porandakan barang-barangku, termasuk tiga nampan yang berisi gorengan hingga jatuh tercecer di tanah. Tanganku terlalu mungil dan tenagaku terlalu sedikit untuk menahan pria berkumis. Saat aku berusaha melawannya, pria berkaca mata hitam mendorongku sampai terjerembab. Aku mengaduh kesakitan dan tertatih-tatih berdiri kembali. 

Namun aku tidak sempat menyelamatkan gerobakku. Dua aparat itu telah merusaknya. Kacanya pecah menjadi serpihan kecil, roda kirinya copot, badannya yang berasal dari papan hancur menjadi beberapa keping kayu. Sepertinya dua pria itu tidak ingin lagi aku berjualan. Sepertinya dua pria itu senang melihat orang miskin sepertiku menderita. Sepertinya dua pria itu tidak pernah merasakan sulitnya menjadi seorang ibu yang ditinggal suami serta harus bekerja keras mencari uang demi menghidupi diri dan anaknya. 

“Kami sarankan mulai besok tidak usah lagi berjualan. Anda tidak hanya melanggar peraturan berkali-kali. Tapi gorengan yang Anda jual juga tidak bermutu, tidak enak, tidak ada rasanya.” 

“Mending jual diri saja deh, Bu, ha ha ha.” 

“Eh… tapi mana ada laki-laki yang mau main sama wanita kerempeng ini.”

“Ha ha ha… pasti gak ada yang mau lah. Tidak punya bokong, tidak punya susu, ha ha.”

Dua aparat itu meninggalkanku yang masih tersungkur. Aku melihat salah satu sengaja menginjak gorenganku yang jatuh di tanah. Kalimat terakhir mereka masih terngiang-ngiang di telingaku. Kini tinggal aku sendirian dengan kepala yang penat, tubuh yang lemas, dan hati yang sakit. Sementara di depanku gorengan sisa jualanku tercecer dan gerobak kerjaku hancur. Aku tidak tahu malamku akan berakhir seperti ini.

***

Di hadapanku, wanita ini menutup ceritanya dengan uraian air mata. Tidak sanggup lagi menahan bendungan yang begitu deras membanjiri pipinya. Aku tahu penjual gorengan ini pasti sangat terpukul dengan masalah yang baru dialaminya malam ini. Sampai-sampai tidak sadar sedang menumpahkan air mata di depan pria asing yang tidak dikenalnya.

Dengan keberadaanku di sini dan karena tadi aku memintanya untuk bercerita, jelas membawaku terlibat dalam masalahnya. Aku berusaha rileks meskipun sebenarnya aku sendiri juga bingung. Baru kali ini aku mengobrol empat mata langsung dan seperti merasakan sendiri kesulitan yang menimpa orang-orang di masa wabah. Aku memang membatasi pergaulan dengan orang-orang susah. Maksudku, lebih tepatnya aku memilih menyibukkan diri dengan pekerjaanku sebagai kepala sekolah dan pengusaha restoran. 

Tapi melihat wanita yang duduk sendirian di trotoar jalan malam-malam begini, aku merasa kasihan. Kurasa lebih dari sekadar itu, dia sepertinya punya semacam sihir yang berhasil menghentikan mobilku. Apalagi saat mendengar ceritanya, ia sosok pekerja keras yang berjuang demi masa depan anaknya. 

Aku ingin memegang tangannya, namun kutahan. “Tenanglah, dulu… Semua pasti ada jalan keluarnya. Jangan khawatir, aku berjanji akan membantumu,” kataku spontan mencoba mengendalikannya. 

“Bagaimana aku bisa tenang sementara sumber penghasilanku dirusak seperti ini,” ujarnya menunjuk gerobak yang sudah tidak berbentuk. 

“Kita akan segera mendapatkan jalan keluarnya,” aku meyakinkan. 

“Apa kau tidak melihat, gerobakku telah dihancurkan. Bagaimana aku bisa mendapatkan uang untuk kebutuhan dan biaya sekolah anakku. Jangan sampai ia putus sekolah hanya karena aku tidak sunggup membiayainya,” katanya menggeleng-gelengkan kepala di tengah sesenggukan.

Aku pun bertanya di mana suaminya. Wanita itu menjawab suaminya telah meninggal dunia satu bulan lalu. Jadi dialah yang menjadi tulang punggung keluarga sekaligus ibu rumah tangga. Membagi waktu antara bekerja mencari pundi-pundi rupiah, membersihkan rumah, mencuci dan melipat pakaian, memasak dan menyiapkan makanan, dan tidak lupa menjemput anak di sekolah. 

Selama lima belas menit percakapan, dia menceritakan banyak hal. Aku bertanya tentang keluarganya dan ia menjawab dengan terbuka. Baginya, anaknya adalah harta terindah yang ia miliki satu-satunya. Rasa sayangnya yang teramat dalam membuatnya memiliki perasaan bersalah karena merasa belum menjadi ibu yang baik yang mampu memberikan banyak hal. 

Aku terkejut waktu ia menceritakan perihal anaknya. Ternyata anaknya orang yang sangat kukenal. Dia salah seorang muridku yang cerdas dan disiplin. Baru bulan kemarin mewakili sekolahan dalam ajang olimpiade matematika tingkat kabupaten dan berhasil meraih juara kedua. Aku tidak menyangka kalau bertemu dengan ibunya, terlebih dalam situasi seperti ini.

Hal yang membuatku terkejut lagi ialah saat wanita itu mengaku tidak menerima dana beasiswa dari sekolah. Bagaimana mungkin ini terjadi. Padahal aku sudah mengutus pegawai untuk memberikannya kepada pihak keluarga. Ternyata yang bersangkutan sampai saat ini belum mendapatkan haknya.

Kali ini aku mendapatkan dua kesimpulan. Pertama, seorang pegawai di sekolahku melakukan kesalahan yang disadari bahkan disengaja. Kedua, wanita di hadapanku ini melakukan kesalahan yang tidak disadari. Dana beasiswa yang disalahgunakan merupakan kesalahan yang fatal. Aku menduga ada oknum yang menggunakannya demi kepentingan pribadi. Sementara kesalahan ibu ini yaitu rasa bersalahnya yang teramat tinggi, padahal ia berhasil mendidik karakter sang anak menjadi pribadi yang rajin dan disiplin.

Entah mengapa aku jadi merasa bersalah atas nasib yang menimpa wanita di hadapanku ini. Sebagai pimpinan sekolah yang harus berterima kasih atas prestasi anaknya dalam menjuarai beberapa perlombaan, aku ingin menebus kesalahan yang dilakukan salah satu pegawaiku.

Malam semakin larut dan menyisakan kami berdua di jalan yang lengang ini. Ia menerima dua ketidakadilan yang membuatnya kian kesulitan di tengah cengkeraman wabah corona ini. Baru saja kehilangan gerobak sebagai sumber mata pencaharian karena tindakan represi dari dua aparat. Juga dana beasiswa yang dapat membantu meringankan beban finansial keluarga malah dikorupsi pegawai sekolahku. 

Dengan ini aku semakin bertekad membantunya. Namun kali ini bukan karena aku sebagai pimpinan sekolah yang ingin menebus kesalahan pegawaiku. Bukan pula karena merasa kasihan setelah mendapat perlakuan represif aparat keamanan lantaran melanggar aturan. Tetapi sosok dan kepribadiannya yang tabah, tangguh, pekerja keras, sayang dan peduli kepada anaknya, yang membuatku tidak tega apabila melihat wanita ini menitikkan air mata.

“Sekarang kita pulang dulu saja, ya! Sudah malam. Besok kita pasti akan bertemu lagi. Aku pasti akan membantumu menyelesaikan masalah,” bibirku menyimpul senyum. Ia balas menatapku. Aku memalingkan wajah ke langit yang bertabur bintang-bintang. Gerimis di wajahnya sudah reda meskipun masih tersisa siratan air di pipinya. 

Setelah berdiri tegak aku menawarkan tumpangan pulang kepadanya. Ia tidak bisa menolak. Lalu kami berjalan memasuki mobil. Kami berdua pun duduk berdampingan membelah jalanan yang gelap dan sunyi.

Di tengah remang-remang lampu mobil, aku melihat wajah wanita itu tampak gelisah. Namun apabila kutatap lebih dalam lagi aku menemukan ketulusan dan kecintaan yang luar biasa kepada anaknya, yang menjadi sumber energi dan kekuatan. Pada malam ini, dengan disaksikan cahaya rembulan di langit pekat serta angin yang berdesir di sepanjang jalan, aku berikrar dalam hatiku, bahwa besok setelah masa iddah-mu selesai, aku akan melamarmu, Dik. Dan kita akan memulai lembaran hidup baru dengan masa depan yang indah.

Semarang, 17 September 2021

Penulis: Mahfud Al- Buchori

*) Cerpen ini pernah diterbitkan di portal online Ideapers
Reactions

Post a Comment

0 Comments