Ticker

6/recent/ticker-posts

Gelar: Esai Goenawan Mohamad

Beberapa puluh tahun yang lalu, di sebuah rumah indekosan yang penuh di Semarang, ada dialog begini:

T: “Dik, siapa yang di kamar mandi ya? Kok lama.”

J:  “Doktorandus, Mas…”

Nama tampaknya bisa diabaikan, tapi gelar tidak. Tentu saja waktu itu gelar “doktorandus” atau “doktoranda” masih punya nilai, baik untuk cari kerja atau cari jodoh, dan sebab itu dipasang di mana-mana. Inflasi itu pelan-pelan memerosotkannya, dan bersamaan dengan itu peraturan resmi mengubahnya. Sekarang gelar lain berderet-deret di pasar; sudah inflasi juga, tapi belum secara umum disadari.  

Orang Indonesia, kata seorang kenalan yang pernah tinggal di beberapa negara di Afrika, mirip orang Nigeria: gila gelar.

Pejabat, politisi, bahkan pegawai tingkat bawah, mengharap dipanggil “Oga”.  Jika kita datang ke kantor pemerintah  atau swasta,  staf  tingkat rendah sekalipun akan tak bersikap ramah bila kita tak memanggilnya “Oga”. 

Kata ini berarti “boss”.  Karena di atas boss ada boss lain — dan itulah birokrasi — maka yang paling puncak di sebut “Oga at the Top”.

Di eselon yang lebih tinggi, tempelan pada nama Nigeria — kita lihat di meja kerja atau di kartu nama — bisa CEO, GMD, MD, GM, PS, ED, HOD, VC, PA, SA.  Kadang-kadang satu, tak jarang berjerjer. 

Ada gelar yang didapat karena prestasi yang sah di perguruan tinggi,  ada yang didapat karena beli, ada karena transaksi politik. 

Seperti di Indonesia, jual beli gelar  berlangsung secara diam-diam. Tak hanya  di dunia akademik,  juga di dalam hierarki  tradisional. Yang agaknya istimewa di Nigeria, gelar biasa ditulis di plat nomor mobil. Mobil, simbol harta dan kuasa, ditambahi simbol martabat lain, yang membuat si pengendara boleh melanggar aturan di mana perlu. Polisi gentar. Beda antara “gelar” dan “gertak” sangat tipis.

Tak mengherankan jika  gelar bukan hanya jadi komoditi, tapi juga  obyek persaingan. Orang tak cukup hanya mencantumkan tanda keunggulan kelasnya.  Mereka juga menambahkan nomor: “Ogbuokuku 1”, “Ogbuewu 1”, atau “Ogbuefi 1”. Tak ada yang nomor dua dan tiga, tentu saja.

Seperti di Indonesia, orang di Nigeria ingin dapat pengakuan di masyarakat. Hasrat yang lumrah, tapi kadang-kadang membuat orang seperti sinting, ketika   pengakuan diperjuangkan dengan usaha habis-habisan. Bahkan  rasa malu dikorbankan.   Untuk diakui sebagai “pemberani”, misalnya, seseorang lari telanjang bulat menyeberangi lapangan bola waktu sebuah pertandingan final. Untuk diakui sebagai ”ilmuwan yang pintar”, orang berpidato satu jam mengutip Derrida, Foucault, Habermas (yang tak dipahaminya) di tiap alinea.

Kata “pengakuan” dalam bahasa Inggris disebut “recognition”.  

Dalam kata recognition terkandung akar kata “cognosere”, “mengetahui”.  Yang sering dilupakan, sejauh mana orang bisa mengetahui orang lain hingga bisa mengambil kesimpulan tentang dia dan menilai prestasinya? Tidakkah dengan klaim “mengetahui” orang lain kita sering meringkus orang lain itu ke dalam perspektif kita?

Berbeda dengan recognition, kata “pengakuan” — terhadap orang lain — lebih kaya kandungannya.  Dalam “peng-aku-an” ada aku, subyek,  yang memperlakukan seorang lain juga sebagai aku, subyek. Posisi aku sebagai subyek itu penting. Jika “pengakuan” itu dipaksa, dan hasilnya adalah sederet tepuk tangan pura-pura,  yang memberi aplaus bukan subyek, melainkan obyek. Juga yang diberi aplaus palsu itu: ia diperlakukan sebagai obyek — yakni obyek penipuan.

Dengan kata lain, dalam pengakuan yang tak palsu, yang berlangsung adalah interaksi antara “aku X” dan “aku Z”. Keduanya sama-sama dihargai harkatnya. Hubungan mereka bukan hubungan antara bos dan anak buahnya. 

Pengakuan orang lain yang merdeka berpikir dan berpendapat dan jujur itulah  yang membangun kesadaran diriku sebagai “subyek”.  Pengakuan adalah proses intersubyektif. Ketika Hegel memperkenalkan kata “perjuangan untuk pengakuan”, “Kampf um Anerkennung”, orang dapat kesan ia anggap pengakuan berlangsung dengan konflik. Tapi saya kira ia tak menanggalkan sifat dialogis dalam  “Anerkennung.”

Gelar, yang dianggap simbol pengakuan, sebenarnya tak sepenuhnya bersifat dialogis. Gelar ditentukan setelah ada otoritas untuk menilai prestasi seseorang.  Perlu ada hakim yang sabdanya tak untuk diragukan:  universitas, istana, atau ketua adat.

Tapi otoritas itu membuat gelar jadi seperti ijazah yang dipigura. Wibawanya justru dalam arti yang stabil tapi mandeg. Seperti tampak dalam  gelar raja-raja Jawa:   Paku Alam, Paku Buwono, Amangkurat,  Hamengku Buwono. Semua menggaris-bawahi kecenderungan yang tegar dan yang statis.

Gelar akademis tak mirip gertak yang intimidatif seperti itu.  Jika kita setuju  ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dicari sampai ke liang lahat, gelar hanyalah ibarat halte dalam perjalanan. Bukan akhir, bukan puncak. Maka di perguruan tinggi yang mengutamakan keilmuan, para ilmuwan hanya menggunakannya sesekali.  Dan jika itu bukan menandai prestasi akademis— seperti gelar Doctor Honoris Causa — penerimaan yang paling pas adalah dengan gaya Bob Dylan.

Di tahun 1970,  Universitas Princeton memberinya gelar doktor kehormatan di bidang musik. Ia menerimanya dengan bingung. Selama upacara tak ada pidato. Bob Dylan diam. Selesai upacara ia langsung naik mobilnya, pergi. “All I can be is me – whoever that is.”

Goenawan Mohamad

Esai ini disalin dari halaman facebook Goenawan Mohamad

Reactions

Post a Comment

0 Comments