Dua hari yang lalu aku sempat bertengkar dengan Rizal di masjid. Masalahnya cukup sepele. Pada saat itu kami sedang berebut mikrofon. Kami berdua memang mendapatkan tugas untuk azan setiap hari pada saat magrib dan isya. Dan berebut mikrofon seperti itu merupakan hal yang sering terjadi.
Pada hari sebelumnya juga sama. Kami berebut mikrofon untuk mengumandangkan azan. Kami saling menarik kabel. Siapa cepat dia yang akan dapat. Saat itu pula aku yang mendapatkannya lebih cepat. Berarti aku yang mengumandangkan azan. Rizal hanya mengeluh pasrah.
Sehari setelahnya, tepatnya hari ini, kejadian yang sama terulang kembali. Seperti biasa, kami saling tarik-menarik kabel mikrofon. Kali ini aku yang mendapatkannya lagi. Tapi Rizal tidak terima. Dia merebut lagi mikrofon yang telah kudapatkan.
Namun aku terus memegangnya. Aku tidak akan membiarkan mikrofon ini jatuh ke tangan Rizal. Aku pegang erat dengan kedua tangan sampai dia benar-benar menyerah. Tapi dia tetap keras kepala. Dia menarik kabel yang terulur. Aku tak mau kalah. Dia mendorong tubuhku ke depan. Dalam posisi duduk, tubuhku langsung terbaring ke belakang. Lalu mikrofon itu terjatuh. Dia segera mengambilnya.
Aku sudah bilang, aku tidak akan membiarkan mikrofon itu jatuh ke tangan Rizal. Rizal berdiri mengahadap kiblat. Aku bangkit dan menghampirinya. Dia mendekatkan benda itu ke mulutnya. Aku menarik kabel yang terhubung dengan alat sound system. Mikrofon itu jatuh lagi.
Kami mulai memperebutkan kembali mikrofon itu. Dan kali ini kejadiaannya sungguh parah. Kami benar-benar bertengkar. Rizal mendorong tubuhku. Aku menarik lengan bajunya. Dia mencubit tanganku. Aku memukul tangannya.
Kami benar-benar bertengkar. Hingga akhirnya mikrofon yang tetap kupegang terjatuh ke lantai tanpa alas. Mikrofon itu pun pecah. Bagian kepalanya memisahkan diri dengan badannya. Batu baterai di dalamnya keluar. Bagian-bagian kecil yang lainnya berserakan.
“Kenapa kau menjatuhkan mikforon itu?” Rizal mengambil bagian-bagian yang tercecer.
“Bukannya kau yang melakukannya? Padahal sudah jelas-jelas aku yang mendapatkan mikrofon itu terlebih dahulu. Jadi akulah yang berhak mengumandangkan azan,” kataku dengan nada tinggi.
“Kau selalu egois. Kemarin kau kan sudah azan, sekarang harusnya giliranku, dong,” dia memelototkan matanya
“Ya perjanjian kita bagaimana. Siapa cepat dia dapat,” aku terus membela diri.
“Ya, tapi aku kan juga ingin mengumandangkan azan,” bentaknya.
“Tapi suaramu jelek, lebih merdu suaraku. Suaramu tak pantas masuk mikrofon, tak enak didengar orang.”
“Maka dari itu aku belajar.”
“Ya kau belajar dulu saja, tak usah pakai mikrofon dulu. Nanti kalau suaramu sudah bagus, baru boleh memakai mikrofon."
“Apa kau tak ingat kata Pak Umam? Dia kan bilang kepada kita agar bergantian. Jadi kau jangan egois, dong.”
“Kenapa kau bawa-bawa Pak Umam. Ini urusan kita berdua.”
Benar. Kami benar-benar berkelahi. Beradu mulut. Padahal hanya berawal dari masalah sepele saja. Aku juga tak menyangka kalau Rizal akan sampai seperti ini. Terlebih, mikrofon untuk mengumandangkan azan telah tak berbentuk lagi.
Kami memang tidak mau mengalah satu sama lain. Sifat kekanak-kanakan masih melekat pada diri kami. Ini merupakan suatu hal yang biasa bagi kita. Dalam bermain, jika kami merasa kalah, kami akan berusaha sebisa mungkin untuk membela diri dan tidak merasa bersalah.
“Kau harus bertanggung jawab dengan rusaknya mikrofon ini,” aku mengumpulkan bagian-bagian benda itu yang tercecer di lantai.
“Enak saja, aku tetap tidak mau.”
“Kau kan yang menjatuhkannya. Kau harus tetap tanggung jawab.”
0 Comments