Ticker

6/recent/ticker-posts

Berebut Mikrofon



Dua hari yang lalu aku sempat bertengkar dengan Rizal di masjid. Masalahnya cukup sepele. Pada saat itu kami sedang berebut mikrofon. Kami berdua memang mendapatkan tugas untuk azan setiap hari pada saat magrib dan isya. Dan berebut mikrofon seperti itu merupakan hal yang sering terjadi. 

Pada hari sebelumnya juga sama. Kami berebut mikrofon untuk mengumandangkan azan. Kami saling menarik kabel. Siapa cepat dia yang akan dapat. Saat itu pula aku yang mendapatkannya lebih cepat. Berarti aku yang mengumandangkan azan. Rizal hanya mengeluh pasrah. 

Sehari setelahnya, tepatnya hari ini, kejadian yang sama terulang kembali. Seperti biasa, kami saling tarik-menarik kabel mikrofon. Kali ini aku yang mendapatkannya lagi. Tapi Rizal tidak terima. Dia merebut lagi mikrofon yang telah kudapatkan. 

Namun aku terus memegangnya. Aku tidak akan membiarkan mikrofon ini jatuh ke tangan Rizal. Aku pegang erat dengan kedua tangan sampai dia benar-benar menyerah. Tapi dia tetap keras kepala. Dia menarik kabel yang terulur. Aku tak mau kalah. Dia mendorong tubuhku ke depan. Dalam posisi duduk, tubuhku langsung terbaring ke belakang. Lalu mikrofon itu terjatuh. Dia segera mengambilnya.             

Aku sudah bilang, aku tidak akan membiarkan mikrofon itu jatuh ke tangan Rizal. Rizal berdiri mengahadap kiblat. Aku bangkit dan menghampirinya. Dia mendekatkan benda itu ke mulutnya. Aku menarik kabel yang terhubung dengan alat sound system. Mikrofon itu jatuh lagi.             

Kami mulai memperebutkan kembali mikrofon itu. Dan kali ini kejadiaannya sungguh parah. Kami benar-benar bertengkar. Rizal mendorong tubuhku. Aku menarik lengan bajunya. Dia mencubit tanganku. Aku memukul tangannya.            

Kami benar-benar bertengkar. Hingga akhirnya mikrofon yang tetap kupegang terjatuh ke lantai tanpa alas. Mikrofon itu pun pecah. Bagian kepalanya memisahkan diri dengan badannya. Batu baterai di dalamnya keluar. Bagian-bagian kecil yang lainnya berserakan.             

“Kenapa kau menjatuhkan mikforon itu?” Rizal mengambil bagian-bagian yang tercecer. 

“Bukannya kau yang melakukannya? Padahal sudah jelas-jelas aku yang mendapatkan mikrofon itu terlebih dahulu. Jadi akulah yang berhak mengumandangkan azan,” kataku dengan nada tinggi. 

“Kau selalu egois. Kemarin kau kan sudah azan, sekarang harusnya giliranku, dong,” dia memelototkan matanya  

“Ya perjanjian kita bagaimana. Siapa cepat dia dapat,” aku terus membela diri. 

“Ya, tapi aku kan juga ingin mengumandangkan azan,” bentaknya. 

“Tapi suaramu jelek, lebih merdu suaraku. Suaramu tak pantas masuk mikrofon, tak enak didengar orang.”

“Maka dari itu aku belajar.”

“Ya kau belajar dulu saja, tak usah pakai mikrofon dulu. Nanti kalau suaramu sudah bagus, baru boleh memakai mikrofon."

“Apa kau tak ingat kata Pak Umam? Dia kan bilang kepada kita agar bergantian. Jadi kau jangan egois, dong.”   

“Kenapa kau bawa-bawa Pak Umam. Ini urusan kita berdua.” 

Benar. Kami benar-benar berkelahi. Beradu mulut. Padahal hanya berawal dari masalah sepele saja. Aku juga tak menyangka kalau Rizal akan sampai seperti ini. Terlebih, mikrofon untuk mengumandangkan azan telah tak berbentuk lagi. 

Kami memang tidak mau mengalah satu sama lain. Sifat kekanak-kanakan masih melekat pada diri kami. Ini merupakan suatu hal yang biasa bagi kita. Dalam bermain, jika kami merasa kalah, kami akan berusaha sebisa mungkin untuk membela diri dan tidak merasa bersalah.

“Kau harus bertanggung jawab dengan rusaknya mikrofon ini,” aku mengumpulkan bagian-bagian benda itu yang tercecer di lantai.  

“Enak saja, aku tetap tidak mau.” 

“Kau kan yang menjatuhkannya. Kau harus tetap tanggung jawab.”             

“Kau yang merusuhiku. Kalau kau tidak berusaha merebutnya, mikrofon itu tidak akan jatuh.” 
            
“Hei, ada apa ini ribut-ribut,” suara orang tua terdengar dari luar. Aku kenal dengan suara itu. Astaga, itu suaranya Pak Umam. Bagaimana jika dia tahu kalau mikrofon ini hancur. 
            
Lima detik kemudian, dari balik pintu muncullah sosok yang amat disegani di kampung. Dia adalah seorang ustaz yang mengurus masjid ini. Sosok itu mendekat lagi. Amat dekat dengan kami. 
            
Mata kami terbelalak. Kami terkejut sekali. Aku hampir melompat, kaget melihat bayangan itu. Kami saling pandang satu sama lain. Aku menggelengkan kepala. Rizal pun sama. 
            
“Ada apa ini ribut-ribut? Kenapa belum ada yang mengumandangkan azan?” Tanya Pak Umam. 
            
“Itu, Pak, mikrofonnya hancur, tadi jatuh ke lantai,” jelasku kepadanya dengan gagap. 
            
“Mengapa bisa sampai jatuh? Pasti kalian berebut,” kata Pak Umam dengan suara meninggi. 
            
“Bukan aku yang menjatuhkannya, tapi Rizal, Pak,” ujarku dengan panik. 
            
“Bukan, Pak, dia merebut mikrofon itu, sehingga terjatuh, Pak,” Rizal menunjukku dengan jari telunjuknya. 
            
“Hei, sudah-sudah, jangan begitu lagi. Jangan menyalahkan teman kalian,” Pak Umam memandang wajah kami secara bergantian. “Tapi sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi. Sekarang kalian harus saling meminta maaf.” 
            
Demi menghormati Pak Umam, aku pun langsung menuruti perintahnya. Aku menjabat tangan Rizal dan kami saling bermaaf-maafan. Sebenarnya aku juga tidak suka berkelahi dengan dia. Bagaimanapun juga, dia adalah teman baikku.  Aku tidak ingin bermusuhan, begitu juga dia. Maka dari itu, kami langsung memaafkan satu sama lain. 
            
Kali ini yang mengumandangkan azan magrib bukanlah aku. Bukan juga Rizal. Melainkan Pak Umam. Dia mengumandangkan azan tanpa mikrofon.  
            
Setelah salat, Pak Umam membuang mikrofon yang rusak tadi di tempat sampah. Mikrofon itu sepertinya memang membawa dampak buruk. Sejak dipakai dua minggu lalu, banyak kejadian yang sangat merugikan.
            
Dahulu, bibir Pak Umam pernah keseterum dengan mikrofon itu. Hingga dia dirawat di rumah sakit selama tiga hari. Sejak mikrofon itu dipakai, jamaah yang datang semakin sepi. Sementara itu, pertengkaranku dengan Rizal juga termasuk dampak buruk yang ditimbulkan dari mikrofon itu.
            
Namun kali ini pembawa kerugian itu sudah tak ada lagi. Mikrofon itu sudah dibuang tanpa meninggalkan kenangan yang mengesankan. 

(A.M)
Reactions

Post a Comment

0 Comments