Ticker

6/recent/ticker-posts

Yang Melayang-layang



Kebiasaan yang selalu kulakukan setiap malam adalah memikirkan dirimu. Jujur saja, sebelum aku terlelap, aku tak bisa meninggalkan kebiasaan itu. Saat memikirkanmu, aku tiba-tiba tersenyum-senyum geli sendiri. Tersipu-sipu malu sendiri. Terkadang aku juga terisak-isak sedih sendiri. Tersedu-sedu lirih sendiri. Hingga akhirnya aku tertidur sendiri lepas jam dua belas malam.

Seperti halnya malam ini. Aku sedang asyik-asyiknya memikirkanmu. Di langit-langit kamar, yang terlihat hanyalah lukisan wajahmu dengan senyum merekah yang indah. Kamar yang semula pengap seolah menjadi taman yang dipenuhi bunga-bunga penuh warna. Sedangkan di tengah taman itu ada meja makan yang berhias lilin dan balon. Dan aku membayangkan duduk bersamamu di meja makan itu. Sungguh bayangan yang sangat indah.

Aku menggigit bantal tidurku. Gemas. Ternyata asyik sekali memikirkanmu. Di luar, kendaraan berseru menderu. Angin berlari kencang menabrak kaca jendela rumahku. Sesekali kilat menyala, membentuk akar serabut terang di langit yang hitam. Guntur dan petir menyalak garang, membuncah semesta alam. Berisik, sungguh mengusik. Hujan di atas genting mengikis tubuhku. Dingin. Kuambil selimut dan aku menyembunyikan tubuhku di balik selimut itu. Lalu aku kembali memikirkanmu.  Aku harap kali ini tidak ada yang mengganggu. 

Tok! Tok! Tok! Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kamarku. Aku mengumpat dalam hati. Mengganggu saja, batinku. Aku pun segera beranjak dari tempat tidur, lalu membuka pintu.

"Ada apa, Bi?” ternyata yang mengetuk pintu adalah pembantuku, Bi Sari.

"Ini, Den, kopinya,” Bi Sari memberiku segelas kopi, lantas aku menerimanya. “Bibi pamit dulu, ya, Den,” Bi Sari berbalik badan dan menjauh dari kamar tidurku.

"Terima kasih ya, Bi,” aku segera menutup pintu.

Aku tersenyum ketika melihat segelas kopi yang ada di tanganku. Tepat sekali. Kopi adalah salah satu minuman yang menyebabkan seseorang sulit tidur. Baiklah. Aku tidak akan tidur malam ini. Aku ingin menghabiskan malam ini hanya untuk memikirkanmu.

\Aku menyeruput sedikit kopi yang masih hangat ini. Sungguh nikmat sekali. Setelah itu aku menaruhnya di atas meja. Aku kembali merebahkan tubuhku di tempat tidur. Aku kembali bersembunyi di balik selimut. Aku kembali memikirkanmu. Aku kembali membayangkan suatu peristiwa tentang dirimu. Lalu kita kembali mengulang kisah yang pernah kita lakukan.

***
            
Waktu itu sore hari. Taman Kota dipenuhi pasangan kekasih yang saling becengkerama. Aku duduk sendiri di bangku taman. Aku iri sekali dengan pasangan-pasangan itu. Namun yang bisa kulakukan sekarang hanya memandang mereka yang menjalin cinta dengan mesranya.  
            
Aku melirik ke kanan dan ke kiri. Tak ada perubahan. Aku melihat ke arah jalan raya. Tetap saja. Aku  memegang arlojiku yang mulai memainkan jarum-jarumnya. Sekarang jarum pendek menempati angka lima dan jarum panjang berada pada angka dua belas. Sementara jarum merah yang paling panjang berputar seperti roda sepeda motor. 
            
Sudah sejam aku duduk termangu di bangku ini. Sejak saat itu, tak ada yang kulakukan selain melihat jalan raya, melirik ke kiri-kanan, dan memegang arloji di tanganku. Aku mengumpat, memaki-maki dalam hati. Harus berapa lama lagi aku menunggunya? 
            
Hari semakin senja saja. Mentari malu-malu menyembunyikan diri di balik kerudung cakrawala. Awan menyapu langit yang bersih tanpa noda. Burung kutilang hinggap di pohon mangga. Dedaunan menari dengan kompaknya. Angin berembus menelisik telinga. Sampai saat ini, tak ada tanda-tanda akan kehadirannya. 
            
Taman Kota mulai sepi. Beberapa pasangan kekasih meninggalkan tempat ini. Jumlah pengunjung pun perlahan berkurang. Aku tak tahu apa yang akan kulakukan. Tetap menunggunya di sini atau memilih pergi meninggalkan tempat yang terasa asing tanpa bau kehadirannya.  

Aku menghela napas panjang. Udara terasa segar. Aku menduga-duga, mengapa dia tidak datang ke Taman Kota sore ini. Aku tak menyangka dia mengingkari janji yang telah kita buat kemarin. Tapi tidak. Aku tidak mau menuduhnya terlebih dahulu. Aku membuang jauh-jauh pikiran itu. Boleh jadi dia lupa. Atau bisa jadi juga dia ada kegiatan mendesak yang sifatnya lebih penting daripada sekadar menemui seseorang yang bukan siapa-siapanya. 
            
Aku memejamkan mata sekejap. Mungkin dia tidak akan datang menemuiku. Baiklah. Aku lebih baik pulang saja. Tidak ada gunanya juga aku menunggu seseorang yang tak pasti. 

Aku beranjak dari bangku yang kududuki. Bunga mawar yang baru saja kubeli berbaring di sebelahku. Lebih tepatnya, kubiarkan bunga mawar itu tergeletak tanpa ada yang memilikinya. Padahal bunga mawar itu cukup menawan. Warna merah seakan melambangkan keberanian seseorang dalam memperjuangkan cintanya. Namun di sisi lain, duri-duri tajam menjadi halangan dan rintanngan yang harus dilalui demi melawan rasa sakit akibat cinta yang lama dipendamnya. 
            
Aku melangkahkan kakiku menjauhi bangku tempatku duduk tadi. Bangku yang kosong tanpa kehadiran seseorang yang kutunggu. Rasanya memang berat sekali. Perjanjian yang telah kuikrarkan tempo hari akhirnya diingkari. Perasaan cinta yang telah lama kupendam berakhir hampa. Semuanya sia-sia. Padahal hari ini adalah hari yang kunanti-nanti. Tapi sudahlah, tidak ada gunanya memikirkan hal itu lagi. 
            
Aku pergi ke tempat ini untuk mencari cinta. Namun aku pulang dari tempat ini membawa kecewa. Cahaya senja yang terpancar dari langit membungkus bumi. Angin berteriak keras memaki daun. 

***

Suara Guntur kembali membuncah bumi, memekakkan telinga. Hujan semakin kelam menyelami dunia. Bukan hujan. Lebih tepat jika aku menyebutnya badai. Pasukan air berdatangan menabrak kaca jendela kamarku dengan keras. Angin bergelut dengan pepohonan, atap rumah, serta apa saja yang dilaluinya. Petir menyala, menyengat malam dengan kejamnya. Setelah itu guntur kembali berteriak di sela-sela lamunanku. 
            
Aku tersadar. Pikiranku tadi sungguh kacau. Bayanganku tadi sangat berantakan. Sial. Aku memikirkan sesuatu yang aneh. Bodoh. Bagaimana bisa aku tadi membayangkan kejadian seperti itu. Ah, mengapa? Mengapa? Mengapa? 
            
Padahal aku berharap bisa membayangkan momen yang indah tentang dirimu. Kita bergandengan tangan dengan mesra. Mataku menatap matamu penuh tatapan cinta. Bibirmu berbisik padaku tentang kasih sayang. 
           
Aku harap tadi aku bisa membayangkan kita berjalan bersama menyisir pantai. Saling tertawa melempar air. Mengukir nama kita di pasir. Lantas membentuk lambang hati yang membungkus nama kita. Melihat matahari terbenam ditelan bumi. Menyaksikan senja yang indah membentang angkasa.  
            
Ah, tapi mengapa tadi aku membayangkan kejadian yang sangat buruk seperti itu. Sepertinya bayanganku sangat bodoh sekali. Lamunanku membawaku ke dalam padang pasir tandus yang kering akan tetesan cintamu. Sungguh aku menyesal sekali.
            
Aku keluar dari selimut yang mengafani tubuhku. Kulihat jam di dinding. Sekarang pukul satu dinihari. Aku ingin tidur saja. Aku tidak ingin bayangan buruk itu kembali kulamunkan lagi. Aku tidak ingin memikirkan bayangan itu lagi. 
            
Hujan sedikit mereda. Aku kembali tenggelam dalam selimut yang merangkul tubuhku. Hei, bukankah yang aku bayangkan di Taman Kota tadi sebuah peristiwa nyata yang pernah kau lakukan padaku? 
 
Semarang, Mei 2018


Reactions

Post a Comment

0 Comments