Ticker

6/recent/ticker-posts

Karakter Orang Jawa dalam Film Yowis Ben

Saben wengi aku/ gak iso turu/ gak iso turu/ mikirno awakmu 

Saben wengi aku/ gak iso turu/ gak iso turu/ kelingan awakmu 

Begitu lagu “Gak Iso Turu” yang ditampilkan grup Yo wis Ben dalam sebuah audisi musik. Lagu yang menggunakan bahasa Jawa itu mengundang teriakan seluruh penonton. Mata dewan juri terpana, tidak bisa berpaling dari panggung. Alunan nada menyatu dengan tepuk tangan, bergema menggetarkan gedung studio. Dengan lagu itu, Yowis Ben berhasil meraih penghargaan juara I. 

Cerita perjalanan grup band Yowis Ben telah saya tonton dalam film “Yowis Ben 1” dan “Yowis Ben 2”. Film garapan Bayu Skak dan Fajar Nugros tersebut berkisah tentang perjalanan empat remaja SMA di Kota Malang yang tergabung dalam sebuah band. Empat personil Yowis Ben antara lain Bayu (Bayu Skak), Doni (Joshua Suherman), Nando (Brandon Salim) dan Yayan (Tutus Thomson). Mereka hidup penuh dengan kebimbangan dan kegelisahan.  

Awal pembentukan Yowis Ben diinisiasi oleh Bayu. Ia geram dengan perlakuan teman-temannya di sekolah yang selalu mengolok-olok dan menganggapnya remeh. Pasalnya ia adalah seorang anak penjual nasi pecel. Ia juga membantu ibunya (Tri Yudiman) berjualan pecel di sekolah. Karena itu teman-teman sekolah menyebutnya sebagai “Pecel Boy”. 

Julukan “Pecel Boy” membuat Bayu kesulitan untuk mendekati perempuan. Pernah ia suka kepada Stevia (Devina Aureel), tetapi bertepuk sebelah tangan. Stevia justru mencintai Nando, seorang laki-laki berwajah putih berambut pendek yang terkenal di SMA mereka. Bayu pun sadar kalau tidak bisa mendapatkan Stevia.   

Kemudian Bayu tertarik kepada Susan (Cut Meyriska). Kali ini Sang Pecel Boy benar-benar berambisi untuk mendapatkan cinta Susan. Namun dengan kondisi sekarang, rasanya Bayu sangat sulit mendekati Susan. Apalagi Susan sudah memiliki pacar yang handal bermain gitar, bernama  Roy (Indra Widjaya). 

Bayu sadar ia harus mengubah dirinya untuk menarik perhatian Susan. Akhirnya Bayu mengajak Doni, Nando, dan Yayan untuk membentuk sebuah band. Selain itu Bayu juga menggandeng pamannya, Cak Jon (Arif Didu) sebagai tempat untuk konsultasi sekaligus sebagai manager. 

Yowis Ben menjadi ajang pembuktian bagi keempat personil. Mereka memiliki ambisi yang berbeda-beda. Bayu ingin menarik perhatian Susan. Doni mau menunjukkan kepada orang tuanya kalau ia akan sukses dengan bermusik. Nando tidak ingin terkenal karena wajah tampannya, melainkan dari skill yang ia punya. Sementara itu, Yayan seorang religius yang pernah menjadi penabuh beduk di masjid bertekad untuk terus mengembangkan bakatnyanya dengan menjadi drummer.

Perjalanan Yowis Ben tidaklah mulus, penuh lika-liku. Mendapatkan penggemar dan mencari nama masih sulit. Malahan sering dipermalukan saat tampil. Namun mereka tidak putus asa. Dengan latihan secara rutin dan juga strategi publikasi di media sosial, Yowis Ben perlahan-lahan mulai memiliki penggemar. 

Harapan Bayu pun terwujud. Susan berhasil takluk padanya karena karir Yowis Ben yang mulai melejit. Mereka sering menghabiskan waktu berdua. Bahkan Bayu sering sembunyi-sembunyi mengambil jadwal latihan untuk bertemu dengan Susan. 

Kedekatan Bayu dengan Susan menjadi ujian bagi Yowis Ben. Fokus Bayu di Yowis Ben kacau. Ia sering absen saat latihan, kumpul dengan teman-temannya juga jarang. Doni dan Nando muak dengan sikap Bayu. Mereka beranggapan kalau ia mendirikan Yowis Ben tidak lain hanya untuk menggaet Susan, setelah itu dibiarkan begitu saja. Perdebatan pun terjadi. Namun dengan sikap keterbukaan dan saling memahami, mereka meleburkan ambisi masing-masing dan menyatukan tekad untuk membesarkan nama Yowis  Ben. 

Babak Baru

Perpisahan sekolah menjadi hari yang tidak pernah diinginkan Bayu. Pasalnya perpisahan sekolah juga memisahkan hubungannya dengan Susan. Rencana untuk melanjutkan kuliah bersama-sama pupus sudah. Susan memilih untuk melanjutkan kuliah di luar negeri bersama Roy dan meninggalkan Bayu. 

Tidak hanya itu, masalah lain juga datang menghampiri Bayu. Kali ini kondisi ekonomi keluarga. Ibunya tidak punya uang untuk membayar sewa kontrakan yang sudah jatuh tempo. Di saat kondisi seperti itu, Bayu bertemu dengan Cak Jim (Timo Scheuneman) di jalan. , seseorang yang mengaku sebagai manager terkenal. Cak Jim yang mengaku sebagai manager musik terkenal mengenali Bayu sebagai pemain musik. Ia pun memberi tawaran kepada Bayu, mengajak  Yowis Ben pergi ke Bandung untuk produksi musik dan melanjutkan karir.  

Hal ini menjadi babak baru bagi Yowis Ben. Mereka bertekad untuk membuat band itu semakin terkenal dan mendapatkan banyak apresiasi. Tetapi tentu ada risiko yang harus dihadapi. Bayu meninggalkan ibunya yang berjualan pecel. Begitu juga dengan ketiga sahabatnya. Konsekuensi ini harus mereka terima. Namun di saat itu pula, merekah harapan dan doa terbaik untuk kesuksesan Yowis Ben. 

Sesampainya di Bandung, Yowis Ben disambut positif dengan para penggemar. Meskipun lagu-lagunya menggunakan bahasa Jawa, nama band itu terkenal dan punya banyak penggemar. 

Tetapi siapa sangka petaka terjadi. Proses produksi yang dilakukan tidak mencerminkan ciri khas Yowis Ben yang bergenre pop-rock. Cak Jim malah menginginkan Hip-hop. Peran Yowis Ben juga tidaklah banyak dalam setiap penampilan panggung. Hanya sebagai pengiring atau band sampingan saja. Selain itu, berbagai janji yang dikatakan Cak Jim sebelum berangkat ke Bandung, seperti mobil, apartemen mewah, dan alat musik yang memadai hanyalah omong kosong. 

Anak buah Cak Jim yang benama Marion (Laura Theux) merasa empati dengan keadaan Yowis Ben. Ia melaporkan Cak Jim kepada polisi. Yowis Ben telah ditipu. Kondisi ini membuat para personil sentimen. Perdebatan terjadi. Mereka keras kepala dan saling menyalahkan satu sama lain. 

Namun berkat dialog, sikap keterbukaan, dan rasa saling memahami, Bayu, Doni, Nando, dan Yayan meleburkan emosinya. Mereka memutuskan untuk meninggalkan Bandung dan kembali ke Malang. Sesampainya di Malang, mereka meminta maaf kepada orang tua masing-masing dan juga Cak Jon. 

Marion yang melihat Yowis Ben memiliki talenta bermaksud untuk mengembangkan band itu. Dalam film ini, Marion berperan sebagai anak seorang manager musik yang kaya raya. Kemudian menemui Yowis Ben di Malang untuk menawarkan rekaman dan menjanjikan uang yang banyak. Malah ia memberikan uang muka terlebih dahulu yang nantinya digunakan Bayu untuk membayar biaya sewa kontrakan ibunya. Yowis Ben telah berhasil melewati masa-masa sulit dan mendapatkan sebuah pelajaran berharga, bahwa menjadi terkenal dan terbaik harus melewati perjuangan dan rintangan yang sulit. 

Identitas dan Karakter Masyarakat Jawa 

Menonton film Yowis Ben 1 dan Yowis Ben 2 berarti kita diajak untuk berbangga diri dengan identitas kita sebagai orang Jawa. Bahwa segala hal yang kita punya menjadi warisan nenek moyang yang tidak ternilai harganya. 

Di luar konflik cerita, poin penting yang saya soroti adalah dialog tokoh. 80 persen dialog dalam film Yowis Ben 1 menggunakan bahasa Jawa khas Jawa Timur-an. Tampaknya Bayu Skak berusaha untuk menanamkan rasa kecintaan kita terhadap bahasa daerah yang digunakan dalam percakapan sehari-hari. 

Bahasa Jawa menjadi salah satu kebudayaan yang patut kita apresiasi. Pasalnya tidak hanya orang Jawa atau Indonesia saja yang menggunakan. Bahasa Jawa memiliki penutur di lima negara luar. Antara lain Suriname, Singapura, Malaysia, Belanda, dan Kaledonia. Bahkan di tahun 2013, bahasa Jawa menjadi bahasa dengan penutur nomor 10 terbanyak di dunia. 

Data itu mengisyaratkan bahwa orang luar negeri tidak menutup diri untuk belajar bahasa Jawa. Hal tersebut juga tergambar dalam film Yowis Ben 2. Ketika Cak Jim yang notabenenya seorang bule berbicara menggunakan bahasa Jawa dengan fasih dan lancar. 

Bahasa Jawa mengajarkan kita untuk bisa menempatkan diri sesuai dengan tempatnya. Dalam bahasa Jawa terdapat perbedaan penggunaan diksi, disesuaikan dengan lawan bicara. Ada tiga tingkatan, yakni ngoko, kromo, kromo inggil. 

Selain bahasa Jawa, nasi pecel menjadi salah satu hal yang ditonjolkan dalam film ini. Bahkan dijadikan Yowis Ben sebagai lagu. Ketika pergi ke Bandung dengan teman personil band-nya, Bayu pun selalu merindukan masakan ibunya, yakni nasi pecel. Makanan yang menggunakan bumbu kacang sebagai bahan utama ini begitu populer di Jawa Tengah dan Jawa Timur.  

Cerita dalam film ini juga merepresentasikan karakteristik masyarakat Jawa. Buku Babad Tanah Jawi karya Soedjipti Abimayu menyebutkan tiga ciri khas atau karakter masyarakat Jawa: nerima ing pandum, gotong-royong, dan ngajeni orang yang lebih tua. Ketiga karakteristik tersebut saya temukan dalam cerita di film Yowis Ben. 

Konsep hidup nerima ing pandum tergambar dari keadaan ekonomi keluarga Bayu. Meskipun ibunya hanya sebatas penjual nasi pecel, keluarga Bayu tidak pernah merasa kekurangan dan mengeluhkan hal itu. Bayu juga tidak menyalahkan kondisi keluarganya ketika teman-teman sekolah sering mengejeknya dengan sebutan “Pecel Boy”. 

Kekompakan personil Yowis Ben dalam penyatuan visi menunjukkan sikap gotong-royong yang menjadi ciri khas orang Jawa. Berbagai konflik yang menyangkut masalah Yowis Ben selalu diselesaikan dengan pertimbangan bersama. Bahkan ketika konflik pribadi terjadi, para personil lain akan memberikan dukungan dan bantuan. 

Bayu skak adalah pribadi yang ngajeni orang tuanya. Ia amat menyayangi dan menghormati ibunya. Bayu membantu meringankan beban sang ibu dengan berjualan nasi pecel di sekolah. Ia juga berusaha mendahulukan kebutuhan ibunya daripada kebutuhan dirinya. Sikap ini menunjukkan keluhuran moral yang dijadikan prinsip orang Jawa ketika hidup dan berinteraksi dengan orang yang lebih tua. 

Tantangan Globalisasi

Dunia menyatu sejak internet hadir. Batas-batas geografis melebur. Kemajuan zaman ini memungkinkan terbukanya akses informasi kepada negara lain. Hal ini pula yang menyebabkan pertukaran budaya. Produk-produk asing dapat masuk dengan mudah dan menjadi populer di Indonesia. 

Seiring dengan berkembangnya zaman, ciri khas yang menggambarkan identitas dan kebudayaan Jawa perlahan mulai kabur. Gaya hidup masyarakat pun mulai berubah. Misalnya dalam konsumsi makanan dan penggunaan busana. Masyarakat lebih bangga memperlihatkan foto dirinya menggunakan produk luar seperti KFC, Mc Donald, dan Thai Tea di media sosial. 

Anehnya fenomena itu dianggap sebagai hal yang keren dan modern. Hanya dengan ikut-ikutan tapi tanpa melakukan pertimbangan dan memikirkan tujuan yang matang. 

Kini penggunaan bahasa Inggris pun mulai dominan. Di ruang-ruang publik kota, bahasa Inggris tampil seksi. Misalnya di mall, lembaga pemerintahan, bahkan di toilet pun masih menggunakan. Tidak perlu jauh-jauh, di rumah kita sendiri, kata “Welcome” pada handuk dan keset akan lebih banyak dijumpai daripada “Sugeng Rawuh”.  

Wacana globalisasi dan modernisasi yang diamini masyarakat Indonesia, termasuk Jawa menjadi tantangan serius. Bisa dikatakan pula sebagai ancaman bagi kelestarian warisan nenek moyang yang penuh dengan nilai-nilai luhur. 

Film Yowes Ben 1 dan Yowes 2 pada esensinya mengajak kita untuk menghargai dan mencintai khazanah kebudayaan Jawa. Tetapi saya tidak berani menjamin film ini dapat mengubah masyarakat jika tidak ada kesadaran, kebanggaan, kecintaan, dan rasa  memiliki terhadap warisan leluhur yang telah menjadi identitas determinasi kita sebagai orang Jawa.  

Apakah Anda berani menjamin diri Anda sendiri? 

Reactions

Post a Comment

2 Comments

  1. Film bagus yang menunjukkan karakter masyarakat Jawa, dikemas dengan komedi lucu yang membuat kita selalu terhibur

    ReplyDelete
  2. Kita harus bangga menjadi orang Jawa yang memiliki kekayaan budaya. Warisan nenek moyang harus kita pertahankan. Jangan sampai malah budaya asing yang menguasai kehidupan kita

    ReplyDelete