ILUSTRASI: Warga mengemas daging kurban menggunakan besek yang terbuat dari anyaman bambu sebagai pengganti plastik sehingga lebih ramah lingkungan. (Foto: Antara Foto) |
HARI RAYA IDUL ADHA adalah salah satu hari raya penting dalam agama Islam yang juga dikenal sebagai Hari Raya Kurban. Idul Adha dirayakan oleh umat Islam di seluruh dunia setiap tahunnya. Idul Adha jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah, bulan terakhir dalam kalender Islam. Umat Islam memperingati pengorbanan Nabi Ibrahim (Abraham) yang bersedia mengorbankan putranya, Nabi Ismail (Ishmael), sebagai tanda ketaatan kepada Allah. Namun, dalam cerita tersebut, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba sebagai korban pengganti.
Selama Hari Raya Idul Adha, umat Islam yang mampu melaksanakan ibadah kurban mereka menyembelih hewan ternak seperti domba, sapi, atau kambing sebagai penghormatan terhadap pengorbanan Nabi Ibrahim. Daging dari hewan kurban tersebut kemudian dibagikan kepada keluarga, tetangga, dan kaum yang membutuhkan. Selain pelaksanaan ibadah kurban, Hari Raya Idul Adha juga diisi dengan kegiatan keagamaan lainnya, seperti shalat Idul Adha di masjid atau lapangan terbuka, mengunjungi keluarga dan teman, berbagi makanan, dan memberikan sumbangan kepada yang membutuhkan.
Hari Raya Idul Adha merupakan momentum penting bagi umat Islam untuk merayakan ketaatan dan pengorbanan serta memperkuat hubungan sosial dan persaudaraan antara sesama Islam dan dengan sesama manusia. Hal tersebut sudah barang tentu mengandung nilai-nilai komitmen keimanan dengan implementasi kearifan baik antara manusia dengan tuhan, maupun dengan sesama manusia.Â
Namun, ada satu kearifan ekologi antara manusia dengan lingkungan hidup yang sering kali terlewat untuk diperhatikan, mengapa demikian. Sebetulnya pertanyaan tersebut tidak hanya diperuntukan bagi perayaan Hari raya Idul Adha dan Idul Fitri yang identik dengan Umat Islam saja, melainkan juga pada setiap perayaan hari penting umat manusia dari berbagai agama dan kepercayaan lainya yang selalu identik dengan daya konsumsi atau konsumerisme.Â
Pola konsumsi manusia menjadi perhatian khusus kerena menjadi salah satu faktor penyebab kerusakan lingkungan akibat tuntutan ekploitasi dalam rangka pemenuhan hasrat konsumerisme, hingga hal ini menjadi bahasan penting dalam kesepahaman Sustainable Development Goal’s (SDGs).Â
Sustainable Development Goals (SDGs) merupakan formulasi di tingkat global terhadap tujuan yang disepakati seluruh umat manusia, yang diwakili oleh negara masing-masing, yang akan dicapai mulai awal 2016 hingga penghujung tahun 2030.Â
SDGs adalah pengganti sekaligus kelanjutan dari Millennium Development Goals (MDGs) yang berlaku selama 15 tahun hingga akhir 2015 yang lalu. Secara mendasar, SDGs bertujuan untuk mendorong adanya pembangunan global yang berkelanjutan dan bertanggung jawab oleh semua golongan, baik pemerintah, organisasi, bahkan setiap individu-nya.Â
SDGs ini terdiri dari 17 tujuan berkelanjutan. Meskipun terkesan banyak, setiap kegiatan yang diusahakan dan direkomendasikan oleh PBB untuk mendukung perjanjian ini dapat membantu capaian banyak tujuan dalam satu waktu. 17 tujuan ini digolongkan menjadi empat pilar, yaitu pilar pembangunan sosial, pilar pembangunan lingkungan, pilar pembangunan ekonomi, serta pilar pembangunan hukum dan tata kelola.Â
Sedangkan isu konsumtifisme manusia sendiri masuk dalam tujuan ke 12 SDGs, yaitu Responsible and Sustainable Consumption. Tujuan tersebut memuat isu tentang dampak luar bisa dari sifat konsumtif manusia yang cenderung berlebih hingga berpengaruh terhadap keberlangsungan sumberdaya yang ada dibumi, selain itu tujuan ke 12 ini juga konsen menyoroti limbah atau sisa dari konsumsi manusia yang saat ini menjadi cemaran utama bagi bumi.
Peningkatan daya konsumsi dan kemasan plastik sekali pakai
Makanan menjadi hal yang identik dengan Idul Adha dan hari besar lainya. Untuk mendapatkan makanan, diperlukan satu siklus yang dimulai dari kegiatan produksi, konsumsi, hingga distribusi. Pada bagian akhir siklus makanan akan menghsilkan sisa residu berupa sampah. Untuk dapat menjalankan satu siklus panjang dari makanan tersebut dibutuhkan banyak sumberdaya yang dalam penggunaanya juga menyisakan polutan salah satunya adalah emisi karbon yang kemudian dikenal sebagai emisi gas rumah kaca (GRK).Â
Sebagai biang penyebab perubahan iklim, emisi GRK saat ini menjadi momok menakutkan yang dapat mengancam kehidupan manuisa dan spesies mahluk hidup lainya di muka bumi. Indonesia sendiri masih menempati jajaran negara yang mencatatkan angka yang sangat tinggi dalam urusan sampah dan menghamburkan makanan, yakni negara peringkat tiga dalam menghasilkan sampah plastik dan peringkat delapan dalam menyisakan makanan.Â
Rentetan hari raya mulai dari Puasa Ramdhan, lebaran Idul Fitri, berlanjut Lebaran Idul Adha dan tentunya dengan perayaan hari raya keagamaan lainya ternyata selalu mencatatkan peningkatan angka konsumsi di masyarakat yang berimplikasi pada peningkatan sampah makanan dan tentunya sampah plastik sekali pakai. Saat Idul Adha, umat Islam yang mampu melaksanakan ibadah kurban dengan menyembelih hewan ternak. Ini dapat menyebabkan peningkatan konsumsi daging, terutama di komunitas yang lebih besar.
Peningkatan konsumsi daging selama Idul Adha dapat berdampak pada peningkatan permintaan kemasan, termasuk penggunaan plastik sekali pakai. Dalam beberapa tradisi, daging dari hewan kurban dibagikan kepada keluarga, tetangga, dan yang membutuhkan. Proses pembagian ini mungkin melibatkan penggunaan kantong plastik atau wadah sekali pakai untuk membungkus dan mengemas daging.Â
Mengenai persoalan plastik, Indonesia sendiri tengah menhadapi hal yang serius dengan predikatnya sabagai salah satu negara penghasil sampah plastik terbesar di dunia. Pada tahun 2020, Indonesia diproyeksikan menjadi produsen sampah plastik terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok.Â
Pada tahun yang sama, total produksi sampah plastik di Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 6,8 juta ton per tahun. Hal tersebut tentunya menjadi perhatian penting bagi masyarakat untuk dapat mengendalikan hasrat konsumtifnya agar tidak berlebihan, dan secara langsung dapat menimbulkan buangan Emisi GRK yang turut mempengaruhi perubahan iklim.
Penerapan prinsip 3R sebagai upaya mengendalikan daya konsumtif
Dalam kajian ekonomi lingkungan, manajeman efisiensi dalam pemenuhan kebutuhan menjadi sarana penting yang dapat menentukan keberlanjutan. Untuk hal tersebut, Para ahli ekonomi lingkungan telah seringkali mengemukakan beberapa langkah tentang bagaimana mengelola kebutuhan agar menjadikan diri kita dapat secara bijak menggunakan sumberdaya secara efisien.Â
Dalam konteks hari raya, selain efisiensi kebutuhan yang dapat dilakukan dengan penentuan skala prioritas konsumsi, efisiensi juga perlu dilakukan dalam segi pemilihan kemasan makananan, bahan makanan, hingga kemasan makanan. Yang terakhir ini dapat diimplementasikan prinsip 3R yaitu reduced (mengurangi penggunaan plastik), reuse (menggunakan kemasan ulang), dan recycle (melakukan daur ulang).
Tentu kita sudah lama mendengan dan mengenal prinsip 3R tersebut, hanya saja pertanyaanya, mampukah kita menerapkanya dan mengurangi ketergantungan terhadap bahan kemasan yang tidak ramah lingkungan. Membayangkanya tentu sulit, namun bukan hal yang mustahil untuk dilakukan.Â
Ditjen PSLB3 KLHK mencatat pada pelaksanaan Idul Adha tahun 2022, beberapa provinsi cukup berhasil dalam upaya pencegahan penggunaan plastik, di antaranya provinsi Jawa Barat sebesar 974,28 Kg plastik, DKI Jakarta sebesar 464,67 Kg plastik, Jambi sebesar 296,7 Kg plastik, Jawa timur sebesar 139,608 Kg plastik, dan Sumatra Selatan sebesar 127,85 Kg plastik.Â
Beberapa langkah yang dilakukan Provinsi tersebut dalam mencegah penggunaan plastik sekali pakai adalah mengganti plastik sekali pakai dengan pembungkus organik mulai dari daun pisang, daun jati, besek bambu, besek daun kelapa dan pandan, hingga mewajibkan warganya menggunakan wadah yang dapat digunakan berulangkali secara mandiri dalam mengambil jatah daging kurban.
Langkah tersebut tentu bukan hal yang mustahil untuk ditiru dan dijadikan satu habitus baru oleh provinsi lain juga kita secara individual apabila kita faham seberapa besar urgensi menyelamatkan Bumi dan lingkungan hidup sebagai satu-satunya rumah bagi kita hidup. Apa lagi bagi kita yang turut gegap gembita merayakan setiap perayaan hari besar keagamaan, sebagai manusia yang beriman yang sudah tentu setiap agama menyeru kapada kita untuk Ber-etika terhadap lingkungan.Â
Sebagaimana pendapat Alexander Sony Keraf, seorang pakar filsafat lingkungan, yang mana wacana ini dimaksudkan mendorong seseorang untuk memahami alam sebagai ciptaan tuhan yang tentu sejajar kedudukannya dengan keberadaan manusia, sehingga manusia juga harus menghormati dan menjaganya sebagai mana dirinya sendiri.Â
Dengan menerapkan langkah dan prinsip tersebut, memungkinkan untuk kita dapat mengendalikan pola konsumtif yang berlebihan dan meminimalisir dosa ekologi akibat ketidak bijaksanaan kita dalam menjalankan siklus konsumsi sebagaimana bahasan Responsible Consumption di atas.
Penulis: Amrizarois Ismail, S. Pd., M. Ling, Dosen Prodi Rekayasa Infrastruktur dan Lingkungan UNIKA Soegijapranata Semarang dan Direktur Griya Riset Indonesaia
Daftar Pustaka
Sony Keraf, A. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Jakarta, Kompas.
Databoks.id. Daftar Negara G20 yang Suka Buang Makanan, Indonesia Peringkat Berapa?. Diakses dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/02/10/daftar-negara-g20-yang-suka-buang-makanan-indonesia-peringkat-berapa
0 Comments