Ticker

6/recent/ticker-posts

Kata, Kata, Kata: Esai Karya Goenawan Mohamad

Apakah yang hingar bingar dalam politik, yang membuat bising dan menggerakkan hati, yang membuat kita percaya dan tidak percaya? Kata.

Pidato, debat, janji, dusta, iklan, spanduk, poster, twitter, Facebook, pesan WA dan tulisan ini — semua dibangun dengan kata, dalam kata, dari kata.

Penyair Subagio Sastrowardojo menulis:

Asal mula adalah kata
Jagat tersusun dari kata
Di balik itu hanya
ruang kosong dan angin pagi

Bait ini tak berangkat dari Twitter. Ia datang dari kalimat Injil yang terkenal itu, “Pada mulanya adalah kata”.

“Kata” dalam kalimat itu konon terjemahan dari logos. Apa makna logos tampaknya jauh dari yang lazim kita pahami sebagai sekedar “kata”. Sebab jika kita percaya bahwa “asal mula adalah kata”, bagaimnana dengan Tuhan, yang diakui sebagai asal yang paling asal, awal yang paling awal?

Sejak Johanes menuliskan kalimat Injil itu, beratus-ratus tafsir telah ditulis; ada yang menerjemahkan bahwa Kata, atau Firman, sama dengan Tuhan; keduanya tak terpisahkan; tapi saya tak yakin saya sanggup mempersoalkannya di sini. Yang jelas, sajak Subagio memperluas pengertian dan daya kekuatan “kata” sejauh-jauhnya:

Kita takut pada momok karena kata
Kita cinta kepada bumi karena kata
Kita percaya kepada Tuhan karena kata

Nasib terperangkap dalam kata

Mungkin benar: kita mengenal diri, mengenal dunia dan yang bukan-dunia, sejak kita dengar ibu kita memanggil kita “nak” atau “sayang”, sejak kita mendengar dongeng kancil dan kuntilanak, sejak kita mengaji atau membaca doa sebelum makan. Sejak itu, bahasa membentuk kita. Bukan hanya dalam perilaku sosial, tapi juga dalam dunia kita yang paling privat — dunia di mana kita berkata-kata dalam hati, merenung atau melamun.

Pada gilirannya, kita mengikuti bahasa —bukan bahasa yang mengikuti kita. Saya bukan subyek yang dalam berbicara sepenuhnya menentukan. Membaca sajak Subagio seperti membaca kembali Heideggger. Begitu perkasanya kata, hingga “yang kita ucapkan hanya mengikuti bahasa terus menerus”. Die Sprache spricht, bahasa itulah yang berbicara.

Seseorang malah bisa menampilkan personanya atau menyembunyikan sesuatu dari dirinya di balik bahasa:

Karena itu aku
bersembunyi di belakang kata
Dan menenggelamkan
diri tanpa sisa

Tapi benarkah tak ada lagi sisa? Tak adakah yang lain dari bahasa?

Sajak Subagio mengatakan, di balik bahasa hanya ada “ruang kosong dan angin pagi”. Tapi sebenarnya ada yang lain. “Angin pagi” hadir dalam persepsi kita: terdengar desaunya oleh kuping kita, menyentuh kulit kita, mengusap rambut kita. Dan keheningan hadir karena telinga kita menangkap sesuatu yang semula ada dan kemudian tak ada. Dengan kata lain, di luar bahasa — sebelum bahasa — ada pancaindera, ada tubuh.

Ada sebuah sajak Subagio yang lain yang saya hafal:
Ah, baik diam merasakan keramahan
pada tangan yang menjabat dan mata merindu

Diam, tanpa kata, membuka kemungkinan merasakan kehadiran tubuh. Tangan berjabat, mata menatap kangen — semua itu pengalaman kongkrit yang tak diwakili kata-kata. Kita tahu, dalam hidup, ada hal-hal yang tak dapat dan tak perlu diwujudkan secara verbal.

Tapi, pada saat yang sama, yang tak terkatakan itu mau tak mau akhirnya masuk dalam dunia bahasa, meskipun tak akan utuh. Apalagi dalam pengalaman religius. Dengan kata lain, dalam kehidupan religius yang non-verbal itu pun kita tak bisa meninggalkan bahasa dan tubuh. Bahkan dalam bertapa dan bersemadi, dalam puasa dan shalat, tubuh adalah unsur yang selalu hadir, baik untuk dikendalikan maupun untuk digerakkan sebagai unsur penting dalam ritual.

Dalam Also Sprach Zarathustra, Nietzsche menggambarkan tubuh — yang sering ditampik ajaran-ajaran agama seperti oleh kalangan Calvinis dan Wahabi —- sebagai kehidupan yang tak mudah disederhanakan:

Tubuh adalah sebuah kecerdasan amat besar, sebuah kemajemukan dengan satu makna, satu perang dan damai, satu kawanan ternak dan gembala.

Dari tubuh yang komplek itu bahasa datang. Ia muncul bukan dari ego yang tak berjasad. Bunyi kata, yang menentukan artinya, dibentuk bibir, lidah, dan gigi.

Agaknya kita perlu ingat itu. Bahasa dan tubuh membentuk komunikasi — dengan kehadiran yang lengkap, dengan rengut dan senyum, dengan bunyi konsonan dan vokal dari mulut. Kita sering melupakan ini di zaman ketika kata-kata bergerak di dunia maya.

Kita pernah menyangka internet, seperti bahasa, akan mempermudah hubungan antar manusia. Kini dalam proses politik digital, justru sebaliknya yang terjadi: orang berhimpun untuk memuja atau membenci tanpa tubuh mereka yang kompleks dan nisbi, yang memungkinkan “tangan menjabat” dan “mata merindu”.

*) Artikel ini disalin dari halaman Facebook Goenawan  Mohamad

Reactions

Post a Comment

0 Comments