Ticker

6/recent/ticker-posts

Bahasa dan Negara

BAHASA digunakan manusia untuk berkomunikasi, berbagi informasi, dan bertukar cerita. Dalam situasi tertentu, bahasa dibutuhkan manusia untuk kepentingan dan orientasi lain. Dalam sistem kenegaraan, bahasa menjadi senjata bagi pemegang kekuasaan untuk memanipulasi, menghegemoni, dan mengintimidasi masyarakat dengan samar-samar.

Bahasa, kata Heidegger, adalah wadah dan sarana menuju proses ‘mengada’. Negara tidak dapat menjadi ‘negara’ tanpa perangkat bahasa. Dinamika politik di Indonesia merupakan rancangan sebuah sistem yang bahannya tersusun dari bahasa. Ia menjadi pembangun, penopang, penguat, dan bersama itu pula juga dapat menjadi penghancur.

Rezim Orde Baru mampu bertahan selama 32 tahun karena permainan bahasa. Negara menciptakan istilah-istilah baru yang mereduksi makna asli, dengan tujuan mengintimidasi masyarakat secara halus. Tidak ada dialektika saat itu, karena masyarakat cenderung mematuhi sistem politik yang justru mendukung jalannya hegemoni kekuasaan.

Salah satu istilah yang dikenalkan rezim Orde Baru yang masih populer hingga saat ini yaitu “kritik yang membangun”. Hal itu dimaksudkan supaya masyarakat tidak hanya sekadar mengkritik pemerintah, melainkan juga memberikan solusi terhadap suatu permasalahan. Istilah tersebut juga ingin menunjukkan bahwa negara bersikap terbuka dan tidak anti kritik. Bahkan memberikan ruang yang lebih kepada masyarakat untuk menyampaikan kritik yang solutif.

Dengan dalih pembangunan dan kemajuan negara, jika ditinjau secara radikal, istilah tersebut mengandung banyak paradoks.

Pada istilah “kritik yang membangun”, terdapat persyaratan, bagi masyarakat yang ingin menyampaikan kritik, harus menyertakan solusi. Ada penegasan di situ: jika kalian tidak punya solusi dan jawaban untuk menyelesaikan persoalan, lebih baik tidak usah mengkritik. 

Dalam hal ini tampak bahwa negara kurang membuka lahan kepada masyarakat untuk melancarkan kritik. Artinya, kritik itu dibatasi, dan kritik yang dibatasi mencerminkan tidak adanya kebebasan berpendapat: demokrasi yang macet. Atau barangkali istilah “kritik” --dengan syarat-- “yang membangun” itu memang sengaja diciptakan untuk membungkam warga negara? 

Karena secara tidak langsung, masyarakat diminta diam jika suaranya hanya sebatas protes. Kritik yang bernada protes dianggap suara sumbang yang tidak dapat memecahkan masalah. Sedangkan di masa suram itu, masyarakat yang menentang pemerintah, nasibnya akan berakhir di penjara.

Menurut Daniel Dhakidae, salah seorang intelektual tanah air, kritik haruslah menghujam tajam. Mampu menelanjangi kompleksitas bagian tubuh dan menghentak ke jantung permasalahan. Mengkritik artinya menimbang, menilai, dan menyampaikan letak kesalahan dan kekurangan. Kritik yang dibatasi hanya akan menyempitkan penilaian kritikus terhadap suatu objek. 

Sementara seseorang yang dikritik, baik itu secara personal maupun jabatannya, bukanlah objek mati dan terus mempertahankan diri. Harus terbuka dengan serangan orang lain serta punya iktikad untuk memperbaiki kesalahan dan kekurangan. Karena sikap tersebut menjadi bentuk pertanggungjawaban atas kebijakan yang telah diputuskan.

Di situlah bahasa berperan sebagai kontrol sosial. Rezim diktatorial Orde Baru itu dapat berjalan langgeng bersama produksi wacana baru yang mendistorsi makna asalnya. Padahal dalam wacana “kritik yang membangun” terdapat kontradiksi yang menjadikan maksudnya absurd dan paradoksial. Namun produksi wacana semacam itu dibutuhkan untuk “menertibkan masyarakat” supaya tidak usah protes dan patuh terhadap kebijakan negara.

Dalam relasinya dengan kekuasaan, bahasa bukan sekadar kata-kata verbal. Menurut Ferdinand de Saussure, bahasa merupakan simbol untuk membentuk sistem dan konstruksi masyarakat. Itulah yang digunakan negara untuk melancarkan dominasinya. Apalagi ia pemegang otoritas tertinggi dalam hierarki sosial. Sehingga setiap wacana yang diproduksi cenderung lebih mudah diamini masyarakat kelas bawah. 

Dalam produksi wacana tersebut, ada permainan tanda di dalamnya. Penanda (signifier) melangkah terlalu jauh melebihi petanda (signified). Hal ini karena penanda –citra, wacana, bahasa-- dimanipulasi sedemikian rupa untuk mengaburkan petanda –konsep, makna, realitas yang sebenarnya. Adapun objek yang dimanipulasi hanya berhenti saat membaca penanda. Sehingga petanda yang tidak dibaca dan dibongkar, mengakibatkan pengetahuan menjadi bias. 

Sampai kapan pun negara akan selalu membutuhkan bahasa sebagai alat hegemoni masyarakat agar menjadi warga yang patuh, disiplin, dan tidak banyak protes. Sementara masyarakat yang tidak kritis, meminjam istilah Nietzsche, akan selamanya menjadi “budak yang sukarela”.

Penulis: Mahfud Al- Buchori
Reactions

Post a Comment

0 Comments